Dunia Kebalikan Messi dan Ronaldo

Apa yang terlintas di kepala Anda tatkala mendengar kata UFO (Unidentified Flying Object)? Bila jawabannya makhluk asing, alien atau adanya kehidupan di luar Bumi, maka silakan memberi applause untuk saya sebab tebakan saya sama sekali tidak salah. Terima kasih.

Bicara tentang alien, sudah cukup lama manusia mendedikasikan diri untuk menyingkap tabir rahasia yang satu ini. Para ilmuwan bekerja siang dan malam demi mencari tahu apakah alien benar-benar ada atau imajinasi belaka. Riset ilmiah yang dilakukan bahkan mengharuskan mereka untuk menyelidiki apa saja yang ada dan terjadi di alam semesta.

Berkebalikan dengan para ilmuwan yang belum sepenuhnya dapat membuktikan apakah alien eksis di dunia ini, para sineas justru telah berulangkali “menghidupkan” sosok-sosok alien dalam film yang mereka buat sejak puluhan tahun silam.

Bila dihitung, barangkali ada puluhan atau ratusan film dengan genre semacam ini. Disadari atau tidak, keberadaan alien di alam semesta memang sanggup mencuri atensi umat manusia. Mengenai hal ini, para ilmuwan dan sineas bagaikan melangkah di dunia kebalikannya sendiri.

Namun alien tak hanya eksis di kalangan ilmuwan dan sineas saja sebab bidang sepak bola pun mengenal sosok yang satu ini. Selama satu dekade terakhir, para pencinta sepak bola telah kenyang dengan pemberitaan menyoal dua sosok pesepak bola dengan level diatas rata-rata sehingga mendapat nickname alien.

Berlebihan? Mungkin saja namun manusia mana yang tidak geleng-geleng kepala melihat aksi-aksi menawan mereka di era sepak bola modern macam sekarang. Tentu mudah untuk menebak siapa alien tersebut, bukan? Ya, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Bila ditotal, keduanya punya koleksi 45 gelar untuk klub. Dengan rincian Messi menyumbang 28 silverware bagi Barcelona dan Ronaldo menghadiahkan 17 trofi untuk Manchester United serta Real Madrid.

Ini belum ditambah dengan prestasi individu keduanya yang bejibun banyaknya. Maka jangan heran bila puja-puji bagi keduanya akan terus mengalir dari siapa saja, mulai dari sesama pesepak bola, pensiunan lapangan hijau, juru taktik, presiden suatu negara hingga penonton setia via layar kaca macam kita.

“Messi adalah alien yang mendedikasikan dirinya untuk bermain sepak bola bersama manusia,” puji kiper tim nasional Italia, Gianluigi Buffon.

“Ronaldo adalah alien yang datang dari planet lain. Segala sesuatu yang dilakukannya sungguh unik dan ajaib,” terang legenda hidup timnas Prancis, Zinedine Zidane.

Sial bagi dua sosok ini, gelimang prestasi individu dan bersama klub yang mereka bela belumlah cukup untuk dijadikan patokan tentang siapa yang terbaik di antara kedua alien ini. Publik bertingkah lebih kejam. Pasalnya, predikat siapa yang terbaik dikerucutkan dan ditentukan pada apa yang sanggup mereka berikan untuk negaranya.

BACA JUGA:  Mason Greenwood, Phil Foden, dan Proses Kedewasaan Pemain Muda

Kebetulan selama sebulan terakhir, dua tokoh ini sedang berjuang bersama timnasnya masing-masing. Messi dan Argentina di Copa America Centenario sedangkan Ronaldo dan Portugal di Euro 2016. Maka sulit untuk menghindari komparasi yang melibatkan keduanya bersama timnas masing-masing.

1. Messi dan Argentina

Tampil di ajang Copa America Centenario, Argentina didapuk sebagai salah satu kandidat juara. Modal Argentina untuk merengkuh trofi perdananya dalam 23 tahun terakhir jelas lebih dari cukup karena punya barisan pemain-pemain mengkilap. Mulai dari Sergio Romero, Javier Mascherano, Angel Di Maria, Sergio Aguero dan tentu saja, Messi.

Bergabung di grup D bareng Cile, Panama dan Bolivia, kubu Albiceleste tampil sempurna. Tiga laga disapu bersih lewat kemenangan 2-1, 5-0 dan 3-0.

Messi yang tak pernah main sejak menit pertama di tiga partai itu bahkan masih sanggup mencetak hattrick saat bersua Panama. Anak asuh Gerardo Martino merengkuh satu slot babak knockout. Sementara publik terus membanjiri performa brilian Messi dan Argentina lewat serangkaian puja-puji.

Performa jempolan tersebut berlanjut saat jumpa Venezuela di fase perempat final. Salomon Rondon dkk. mereka lindas dengan skor mencolok 1-4. Messi kembali menyumbang sebiji gol di laga ini. Argentina pun lolos ke babak selanjutnya.

Tahu bahwa mereka hanya butuh satu langkah lagi untuk menapak babak pamungkas, Argentina turun dengan skuat terbaiknya kala berduel dengan tuan rumah Amerika Serikat di semifinal.

Albiceleste kembali tampil penuh pesona. Ezequiel Lavezzi, Gonzalo Higuain, dan Messi lagi-lagi jadi protagonis kemenangan telak empat gol tanpa balas. Satu tiket final pun resmi direngkuh Argentina.

Penampilan apik sejak fase grup sampai semifinal membuat Argentina menjadi favorit menggondol trofi Copa America Centenario meski harus berjibaku dengan juara bertahan Cile di laga pamungkas.

Tapi naas, penampilan apik yang memperoleh pujian banyak pihak itu seakan lenyap di babak penentuan. Messi kehilangan sentuhan magisnya. Usai bermain imbang tanpa gol selama 120 menit, Argentina harus mengakui keunggulan Cile di babak adu penalti. Pujian bagi Messi di sepanjang turnamen dalam sekejap melebur jadi hinaan akibat kegagalannya mengeksekusi penalti untuk Argentina di fase tos-tosan.

Mata Si Kutu berkaca-kaca, kesedihan menggelayuti dirinya yang begitu diharapkan mampu membawa Argentina menyudahi puasa tanpa gelarnya meski dalam tiga tahun terakhir selalu menjejak partai final ajang prestisius (Piala Dunia 2014, Copa America 2015 dan Copa America Centenario). Benar-benar akhir yang pahit buat Messi dan Argentina.

2. Ronaldo dan Portugal

Euro 2016 menjadi turnamen antarnegara Eropa keempat yang dijalani Ronaldo dan Portugal. Di tiga kesempatan sebelumnya Ronaldo hanya sanggup membawa Portugal jadi finalis (Euro 2004), perempatfinalis (Euro 2008), dan semifinalis (Euro 2012).

BACA JUGA:  Corona dan Sepakbola yang Tak Lagi Sama

Pada usianya yang sudah mencapai angka 31 tahun, bisa jadi ini merupakan kesempatan terbaiknya untuk meletup dan membawa Seleccao das Quinas menjadi kampiun meski Portugal bukan favorit utama.

Hanya bergabung bersama Austria, Hongaria dan Islandia di grup F, nyatanya Portugal justru tampil acakadut. Anak buah Fernando Santos tak mampu mengalahkan ketiga pesaingnya itu.

Ronaldo cs. hanya mampu meraup hasil seri sebanyak tiga kali. Sang megabintang sendiri hanya mampu membuat dua biji gol. Hal yang kemudian mengantarkan cercaan bagi Ronaldo dan kawan-kawan. Lolosnya mereka ke babak knockout sebagai salah satu tim peringkat tiga terbaik pun dinilai tak lebih dari sekadar keberuntungan belaka.

Penampilan menjemukan dan tanpa greget juga ditampakkan Portugal saat berjumpa Kroasia di perdelapan final. Laga berjalan membosankan karena tak ada gol sepanjang 90 menit.

Beruntung Ricardo Quaresma sanggup mencuri gol bagi Portugal di babak perpanjangan waktu guna memberi selembar tiket pulang kampung buat Kroasia sekaligus memastikan satu tempat di babak 8 besar bagi Portugal. Namun performa buruk Ronaldo cs. lagi-lagi mendapat ejekan.

Sumpah serapah, cacian dan kutukan terus diberikan publik buat anak asuh Santos. Selain Polandia yang memang jadi lawan mereka, publik juga seakan-akan memusuhi Portugal.

Publik merasa Portugal tak layak lolos, pantas kalah dan berharap mereka keok secepatnya. Saat Robert Lewandowski membawa Polandia unggul cepat, pencinta sepak bola berbinar karena merasa Tuhan mendengar keluh kesah mereka. Namun realitanya berkata lain, Renato Sanches sanggup menyamakan kedudukan di menit ke-33.

Skor imbang 1-1 bertahan sampai waktu normal berakhir. Kala extra time dihelat tak satupun gol yang lahir guna mengubah papan skor. Alhasil, kedua tim harus menjalani adu penalti.

Sepakan Jakub Blaszczykowski yang mampu dibendung Rui Patricio jadi momen sakral yang mengantar Portugal melaju ke semifinal. Portugal bak anomali bagi cercaan khalayak, semakin dicerca justru terus melaju.

Trofi juara memang belum terengkuh, tapi akan sangat mengejutkan sekaligus menyebalkan bila dengan performa pas-pasannya Portugal justru mampu keluar sebagai kampiun Euro 2016. Namun kemungkinan untuk itu tetap ada. Happy ending buat Portugal usai mandi cercaan?

Yang di awal beroleh pujian justru mendapat cercaan di akhir cerita. Bila kemudian yang di awal mendapat cercaan lalu mengakhiri kisah dengan pujian, barangkali dunia kebalikan itu memang nyata.

 

Komentar