Semifinal AFF 2016: Secuil Surga Untuk Rakyat Indonesia

“We celebrate the win against Singapore like we won the cup. And you know what, we don’t care.”

Itu isi surat elektronik singkat yang saya kirim ke seorang kawan sedari sekolah dasar yang sedang menempuh pendidikan S2 di Australia.

Sebelum Piala AFF 2016 bergulir, ia sempat mengirimi satu surel yang isinya cukup sarkastik. Ia bilang, bila negara asal Tim Cahill tersebut ikut berkompetisi di AFF, Indonesia hanya punya 0,01 persen peluang lolos ke semifinal.

Ucapan yang sadis, mengingat ia putra asli Indonesia. Lahir di sebuah rumah sakit daerah di Bandung dan besar di pinggiran Dago, bukan di Sydney, atau Perth.

Ucapan kawan saya si X, sebut saja begitu, tidak ada salahnya. Satu-satunya optimisme kita tiap menyongsong sebuah pagelaran atau turnamen bergengsi yang diikuti timnas barangkali sudah lenyap di Bukit Jalil tahun 2010 lalu.

Apalagi, kita baru saja lepas dari sanksi selama satu setengah tahun FIFA. Masih juga ditambahi aturan dua pemain per klub yang dibuat federasi untuk timnas. Itulah kenapa kemenangan atas Singapura Jumat malam (25/11) adalah euforia kecil yang harus dirayakan.

Peduli setan dengan sinisme orang yang mencibir bahwa kita merayakan lolos semifinal seperti merayakan juara. San Marino merayakan gol tandang seolah mereka memenangi Piala Dunia.

Arsene Wenger merayakan finis di posisi 4 seperti Arsenal berhasil memenangkan trofi Si Kuping Lebar. Lalu kenapa saya tak berhak merayakan lolos ke semifinal dengan gegap gempita laiknya Indonesia memenangi AFF?

Perayaan ini penting karena dua hal. Pertama, ini bukti bahwa meski kita datang dengan status underdog, nyatanya kita bisa lolos ke semifinal walau dengan catatan yang kurang impresif. Satu kali kalah, satu kali imbang, dan satu kali menang.

Faktanya, secara taktikal, menurut subjektivitas saya pribadi, kita hanya buruk di 20 menit awal kontra Thailand, 20 menit akhir kontra Filipina, dan 45 menit pertama saat melawan Singapura. Selebihnya, kita baik-baik saja.

Alfred Riedl memang bukan Pep Guardiola, tapi kita perlu ingat, skuat timnas ini berangkat dengan segala keterbatasan dan waktu persiapan yang lagi-lagi tidak memadai seperti biasanya.

Kedua, ini kado penting untuk masyarakat Indonesia. Jangan sepelekan satu kemenangan penting yang diraih negaramu kalau itu menyoal tentang sepak bola.

BACA JUGA:  Mengayuh Sepeda, Demi Persija

Saya sudah bilang di atas, San Marino bisa dengan gegap gempita merayakan satu gol tandang kendati dihajar 4-1 oleh lawannya. Itulah kenapa kemenangan atas Singapura dan kepastian lolos semifinal adalah secuil surga kecil untuk masyarakat kita yang selama berbulan-bulan belakangan ini dijejali isu sosial, politik, agama, dan banyak hal bebal lainnya.

Jelang semifinal, apa yang harus dilakukan?

Secara pribadi, skuat Riedl ini sudah cermin terbaik dari apa yang bisa ia kumpulkan di tengah segala keterbatasan dan kisruh di federasi dan internal yang tak henti-hentinya itu.

Selain harus segera memastikan timnas harus berlaga di stadion dan kota mana, Indonesia perlu bersiap diri karena beberapa pemain akan absen di laga pertama semifinal kontra juara Grup B yang kemungkinan besar akan ditempati Vietnam, sobat karib kita di laga uji coba lalu.

Yang pasti, dua bek tengah akan absen dan itu bisa menjadi pekerjaan rumah yang berat. Rudolof Yanto Basna dan Fachrudin Aryanto, di tengah segala catatan negatif yaitu banyaknya gol yang bersarang, adalah duo bek tengah terbaik saat ini.

Opsi tersisa ada pada bek muda, Hansamu Yama Pranata, dan bek Persija Jakarta, Gunawan Dwi Cahyo. Ingatan saya tentang dua bek tengah ini tidak baik-baik amat.

Performa Hansamu sedikit menurun dibandingkan semasa masih di timnas U-19 berduet dengan Shahrul Kurniawan. Sedangkan Gunawan, satu yang saya ingat dari suami Okie Agustina ini adalah golnya ke gawang Malaysia di final Sea Games 2011 lalu yang seperti biasa, tidak cukup membuat kita membawa pulang medali emas.

Isu lainnya adalah komposisi pemain tengah ala Riedl. Saat meladeni Singapura, alasan buruknya penampilan timnas di babak pertama, menurut saya pribadi, ada di skema 4-2-3-1 yang dimainkan sejak menit pertama. Riedl mungkin khilaf dan menganggap pemain kita memiliki adaptasi taktik yang brilian khas pemain Eropa dan Amerika Latin, tapi sayangnya, itu hanya ilusi.

Semasa uji coba dan dua pertandingan pertama timnas di AFF 2016, Riedl setia dengan 4-4-2 dan memainkan sepak bola menekan yang walau tak bagus-bagus sekali. Skema  4-4-2 harus kembali digunakan dan dimatangkan dengan baik di sesi latihan.

Kalau boleh memberi solusi, saya suka sekali melihat timnas menggunakan dua pemain tengah berisi Bayu Pradana dan Stefano Lilipaly. Satu pemain bertipikal pengatur tempo dan bisa stay back di belakang untuk menjaga kedalaman, dan satu lagi, si brewok dari SC Telstar itu, bisa fokus naik ke depan sebagai gelandang serang.

BACA JUGA:  Manchester United Menatap Masa Depan

Memasang Lilipaly dengan Evan Dimas bukan ide brilian walau mubazir tentunya gelandang sekelas Evan dan Lilipaly tidak bisa bermain bersama. Mengingat hal ini, saya jadi ingat dilematisnya Sven-Goran Eriksson dan Fabio Capello kala mereka diharuskan memilih untuk memainkan siapa di antara Steven Gerrard dan Frank Lampard.

Evan Dimas sangat bagus secara teknik dan taktikal, tapi ia tak cukup bagus bermain sebagai gelandang jangkar ala Bayu Pradana yang ajaibnya, tampil cukup lugas di laga lawan Singapura kemarin.

Untuk lini serang, Rizky Pora di kiri dan Andik Vermansyah di kanan sudah cukup ideal. Yang menjadi tugas tambahan, mencari tandem yang pas bagi Boaz Solossa di depan. Walau sudah menyumbang satu gol, Lerby akan lebih bagus untuk dimasukkan di babak kedua untuk menaikkan intensitas serangan.

Ia punya fisik yang baik dan duel udara yang mumpuni. Selepas menit 75, bek-bek lawan akan cukup kelelahan dan ini bisa dimanfaatkan Lerby untuk berduel udara. Ditambah lagi, kita disuguhi fakta menarik bahwa crossing timnas cukup apik berkat kontribusi Rizky Pora di kiri dengan dua asisnya. Dan Benny Wahyudi di kanan, yang punya catatan satu asis untuk Lerby di laga kontra Thailand. Dan mengacu pada hal itu, akan sangat menarik membayangkan Indonesia turun dengan 4-4-2 sejak menit pertama dan Boaz berduet dengan Ferdinand Sinaga sejak menit pertama.

Apa pun itu, kita hanya berharap Riedl tahu apa yang ia harus persiapkan jelang semifinal. Publik sebenarnya tak begitu sadis menuntut timnas untuk menang dan juara di AFF tahun ini.

Lolosnya Indonesia di semifinal itu begitu menggembirakan sampai rasa-rasanya saya lupa bahwa peringkat FIFA kita turun jauh dibanding setahun lalu. Dan ketika saya ditanya apa harapan terbesar untuk timnas di AFF 2016, saya akan menjawab sambil terkekeh dan sedikit meminjam ucapan Claudio Ranieri musim lalu:

“You can talk bla-bla-bla but hey man, we’re now in semifinal, man, dilly-ding, dilly-dong.”

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.