Sepak Bola Arab Saudi dan Iran Di Tengah Persimpangan

Idealnya politik dan sepak bola tidak disatukan, meski begitu dua hal tersebut kerap bersimpangan jalan. Seperti yang tengah terjadi dengan sepak bola Arab Saudi dan Iran.

Di luar lapangan hijau Saudi dan Iran memang bukan dua negara yang ramah satu sama lain. Walau memang harus diakui tidak selamanya kedua negara saling bersikap dingin terlebih semasa pemerintahan Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud dan Shah Mohammad Reza Pahlevi tapi perbedaan ideologis jadi pemisah yang sulit dijembatani sehingga berpuluh-puluh tahun hubungan Saudi-Iran mengalami pasang surut.

Keduanya merupakan negara Islam. Namun, Saudi berpandangan Sunni, yang juga dianut oleh sekitar 90% populasi muslim dunia, sementara Iran sudah dianggap sebagai wakil terbesar penganut Syiah di mata dunia terlebih lagi setelah Revolusi Islam 1979.

Kedekatan keluarga Kerajaan Saudi dengan Amerika Serikat dan negara barat, serta  fakta bahwa Saudi memberikan dukungan finansial terhadap Irak ketika berperang melawan Iran pada 1980-an pun menjadi salah satu alasan buruknya hubungan kedua pihak. Inilah yang membuat keduanya sulit mengiyakan satu sama lain dan tidak heran kerap menciptakan ketegangan pada hubungan bilateral Saudi-Iran.

Sederhananya, mereka bahkan tidak bisa sepakat soal penggunaan nama “Teluk Persia” yang berlokasi terapit antara dua negara itu. Sementara Iran lebih suka versi tersebut, Saudi lebih senang dengan nama “Teluk Arab”.

Kemudian, tindakan Saudi pada awal 2016, tepatnya 2 Januari, ketika mengeksekusi ulama Syiah, Nimr al-Nimr, beserta 46 orang lainnya dengan alasan tindakan terorisme membuka babak baru perseteruan kedua negara.

Sebagai balasan, Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran jadi sasaran protes massa Iran yang berujung perusakan. Akibatnya untuk pertama kali sejak 1991, hubungan diplomatis politik Saudi-Iran kembali putus.

Bicara soal sepak bola, Saudi dan Iran sama-sama mendominasi peta kekuatan Timur Tengah. Di Piala Asia, keduanya punya gelar juara sama banyak (tiga trofi) dan hanya kalah dari Jepang (empat trofi). Mereka juga punya pengalaman tampil di putaran final Piala Dunia sama baiknya sebanyak empat kali.

BACA JUGA:  Optimisme Italia di Piala Eropa 2020

Lalu, pada level klub, kedua negara memiliki wakil yang memimpin raihan gelar juara Liga Champions Asia terbanyak di Asia Barat. Al-Hilal dan Al-Ittihad dengan total empat kali juara bagi Saudi serta Esteghal dan PAS Teheran mempersembahkan tiga piala untuk Iran.

Sejak 2014 Liga Champions Asia memiliki format kompetisi dua zona sebelum mempertemukan tim terbaik Asia Barat menghadapi wakil Asia Timur di partai puncak. Maka tim-tim Saudi dan Iran yang berhak atas tiga tiket langsung lolos ke putaran final dan satu melalui penyisihan dipastikan saling berhadapan paling tidak di fase grup.

Hal inilah yang kemudian pada 2016 dikhawatirkan oleh empat klub negara yang menjadi tujuan ibadah haji itu dengan alasan kondisi keamanan tim yang bertandang tidak terjamin.

Dari jadwal yang sudah dirilis Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) untuk kalender kompetisi yang dimulai pada akhir Februari memperlihatkan Al-Nassr dan Al-Hilal akan melawat ke Iran. Bahkan apabila Al-Ittihad dan Naft Teheran lolos dari penyisihan babak ketiga maka Grup A hingga D memuat pertemuan wakil dari Saudi dan Iran.

Gelaran pertandingan itu dianggap layaknya menyiram bensin ke api dalam situasi seperti ini karena tribun suporter juga tidak kalah panas. Kekhawatiran akan terjadinya keributan timbul mengingat pertemuan pada level internasional sering memperlihatkan atmosfer pertandingan selalu dipenuhi kedua kubu pendukung saling mencela lagu kebangsaan, merendahkan negara lawan, dan mengeluarkan seruan-seruan yang tidak pantas. Komplain soal buruknya fasilitas latihan dan tempat menginap dari tim tamu pun sudah jadi hal yang rutin.

Mantan Presiden Al-Hilal, Abdulrahman Bin Musaad, dalam cuitan di Twitter menjadi salah satu yang mempertanyakan keamanan dalam bertandang dan menambahkan: “Kami tidak ingin ke sana dan kami tidak ingin mereka ke sini.”

BACA JUGA:  Carlos Queiroz: Pelatih Iran yang Nyaris Jadi Suksesor Sir Alex Ferguson

Sejauh ini surat sudah diajukan empat klub Saudi mencoba mendorong Federasi Sepak Bola Arab Saudi (SAFF) untuk melobi AFC agar laga saat menghadapi tim-tim Iran digelar di tempat netral. Meski demikian, kubu seberang punya pendapatnya sendiri dan (sudah dapat ditebak) menganggap permintaan seperti itu sebagai langkah berlebihan.

Presiden Liga Sepak Bola Iran, Mehdi Taj, merasa permintaan tim-tim Saudi itu sebagai usulan yang berat sebelah dan mengajak seluruh pihak melihat statuta AFC artikel 3. Di mana dinyatakan diskriminisasi dalam segala bentuk terhadap negara, individu, atau sekelompok orang terkait etnis, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau alasan lain dengan tegas dilarang dan dapat berujung hukuman melalui penangguhan atau pelarangan bermain.

“Kepentingan politik seharusnya tidak dibawa ke dalam ranah olahraga,” ujar Taj dikutip dari presstv.ir. Ia juga menambahkan sikap seperti ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh tim-tim Saudi, “Ofisial Al-Hilal pernah menuduh penonton Iran mengeluarkan slogan rasis di pertandingan melawan Persepolis di stadion Azadi. Di kesempatan lain, mereka mengaku botol air yang diberikan di stadion Foolad Shahr (kandang klub Isfahan) dicurangi sehingga membuat kehebohan.”

Perang komentar di media hanyalah awalan sampai AFC benar-benar mengambil sikap. Bila sudah begini harapan Nelson Mandela bahwa olahraga itu “punya kekuatan menyatukan orang-orang dengan cara sulit dilakukan hal lain” perlahan semakin memudar akibat tergeser oleh sirkus politik yang saling menuding pihak bersalah demi membenarkan diri sendiri.

Pahitnya lagi kita di sini tahu betul bagaimana rasanya kisruh politik hanya berujung pada naas dalam sepak bola itu sendiri.

 

Komentar
Pecandu FPL yang juga gemar mengikuti kabar sepak bola Asia. Pernah berkecimpung di beberapa media olahraga. Seringnya ngetweet lewat @adilpradipta.