Bahaya Euforia

Sepp Blatter mundur! Setelah 17 tahun menjadi tiran di FIFA, pria 79 tahun tersebut memutuskan untuk meletakkan jabatan sebagai presiden induk organisasi sepak bola sedunia tersebut. Padahal, baru empat hari yang lalu Blatter mengalahkan Pangeran Ali dari Yordania dalam pemilihan presiden sekaligus memperpanjang masa jabatannya menjadi lima periode.

Blatter mengumumkan pengunduran dirinya dalam sebuah konferensi pers impromptu yang digelar semalam (2/6) waktu Indonesia. Kata-kata yang dikeluarkan Blatter pada pidato tersebut – terlepas dari siapa dan bagaimana dirinya – terdengar cukup menyayat hati.

“I felt compelled to stand for re-election, as I believed that this was the best thing for the organization. That election is over, but FIFA’s challenges are not. FIFA needs a profound overhaul. While I have a mandate from the membership of FIFA, I do not feel that I have a mandate from the entire world of football – the fans, the players, the clubs, the people who live, breathe and love football as much as we all do at FIFA,” demikian pernyataan Blatter tadi malam.

Apa yang diutarakan Blatter semalam memang terdengar agak aneh mengingat sebelum-sebelumnya, Blatter selalu yakin akan kepemimpinannya. Ketika 14 petinggi FIFA dicokok kepolisian Swiss di Zurich pekan lalu, ia mengatakan bahwa apa yang terjadi dengan 14 orang tersebut bukan tanggung jawabnya dan ia tak tahu menahu akan hal itu karena ia tak bisa mengawasi semua orang. Kemudian, ia juga mengatakan bahwa ia siap membenahi FIFA setelah ia terpilih (kembali) menjadi presiden.

“We don’t need revolutions. But we always need evolutions. I am being held accountable for the current storm. Okay. So be it. I will shoulder that responsibility. I want to fix Fifa, together with you and I want to do it now and tomorrow and the day after and in the weeks and months to come,” ujar Blatter usai mengalahkan Pangeran Ali.

Namun, Blatter pada akhirnya memilih untuk mundur. Entah ada kaitannya atau tidak, yang jelas, sehari sebelum pengunduran dirinya, bukti transfer sebesar 10 juta dolar dari Jerome Valcke, sekretaris jenderal (sekjen) FIFA, kepada Jack Warner, mantan ketua Concacaf, pada tahun 2008 muncul ke permukaan.

BACA JUGA:  Selamat Ulang Tahun, Becks!

Uang itu digunakan sebagai pelicin agar Afrika Selatan bisa menyelenggarakan Piala Dunia 2010. Valcke sendiri merupakan orang kepercayaan Blatter di FIFA.

Mundurnya Blatter dari pos presiden FIFA disambut hangat oleh khalayak. Tak hanya “orang biasa”, Greg Dyke, ketua FA, bahkan secara terang-terangan menyatakan kegirangannya.

Menurut Dyke, seperti dikutip oleh BBC, mundurnya Blatter tersebut merupakan “berita bagus untuk sepak bola” yang “seharusnya sudah terjadi bertahun-tahun lalu”. Terlepas dari sakit hati menahun Inggris terhadap FIFA – karena dikadali dua kali soal pemilihan tuan rumah Piala Dunia (2006 dan 2018), apa yang dikatakan Dyke memang benar. Blatter seharusnya sudah mundur bertahun-tahun lalu.

Setelah Blatter mundur, kini muncullah berbagai persoalan baru. Apa selanjutnya? Siapa yang akan menjadi pengganti Blatter? Apakah ada jaminan bahwa para calon pengganti tersebut takkan mengulangi kesalahan Blatter?

Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membersihkan FIFA secara keseluruhan? Lalu, bagaimana dengan kebaikan-kebaikan Blatter – seperti Goal Project di negara-negara dunia ketiga dan keberpihakannya pada Palestina, misalnya?

Banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi memang terdengar menakutkan. Misal, apabila UEFA dan Amerika Serikat kemudian menjadi penguasa di FIFA, apakah mereka akan peduli terhadap perkembangan sepak bola di negara-negara berkembang dan apakah mereka akan memerlakukan Palestina seperti pariah seperti yang biasa mereka lakukan?

Kemudian, apakah ada jaminan bahwa FIFA di bawah mereka takkan menjadi evil empire berikutnya?

Perlu diketahui bahwa Michel Platini, presiden UEFA, pernah menjadi sekutu dekat Blatter dan ia merupakan salah satu orang yang bertanggungjawab atas Piala Dunia Qatar 2022 [selengkapnya baca di sini]. Platini pula lah yang kemarin menjadi salah satu orang yang paling getol mendesak Blatter untuk mundur.

Ia bahkan sempat mengancam akan memberontak dengan memboikot Piala Dunia (2018 & 2022) serta keluar dari FIFA, dan kini, Platini menjadi kandidat terkuat presiden FIFA pengganti Blatter. Dalam proses penggulingan rezim Blatter tersebut, Platini boleh dibilang – selain FBI dan Departemen Kehakiman Amerika Serikat – merupakan lokomotif dari aksi kudeta ini.

Dengan latar belakang seperti itu, apakah layak kita memercayakan FIFA kepada Platini? Tanpa mengurangi rasa hormat, menurut saya, Platini adalah the next Blatter. Ia memiliki potensi untuk itu. Platini adalah sosok ambisius.

BACA JUGA:  Era Baru Fandom

Kala membantu Blatter memenangi pemilihan presiden FIFA tahun 1998, ia melakukannya karena ia memiliki plot untuk menjegal Lennart Johansson di UEFA. Kini, ia tak segan-segan melancarkan kudeta terhadap Blatter, entah atas motif apa. Jangan lupa pula, Platini adalah aktor yang bertanggungjawab atas perubahan jumlah peserta Euro menjadi 24 negara – sebuah keputusan yang ditentang banyak pihak.

Agak mengesalkan rasanya menyaksikan Platini, sosok yang begitu agung kala masih menjadi pemain, kini berubah menjadi politisi culas yang rela melakukan apa pun demi mencapai tujuannya.

Bagi mereka yang sering mengatakan “sepak bola harusnya diurusi oleh mantan pemain yang mengerti betul sepak bola”, lihat saja Michel Platini. Memang tak ada jaminan pula bahwa Platini akan menjadi seperti Blatter, akan tetapi, memercayakan FIFA kepada dirinya pun rasanya sangat berisiko.

Begitu banyak pekerjaan rumah FIFA, terutama setelah (akhirnya) keluar dari perangkap kleptokrasi yang menjerat mereka lebih dari empat dekade lamanya. Inilah bagian tersulit dari sebuah revolusi, karena revolusi tak hanya soal mengganti rezim.

Revolusi adalah soal perubahan pola pikir, dan mengubah pola pikir merupakan pekerjaan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Ini adalah jalan panjang yang mau tak mau harus ditempuh demi FIFA dan sepak bola yang benar-benar bersih.

Hal serupa juga terjadi pada PSSI. Setelah dibekukan, lalu apa selanjutnya?

Hingga kini, Tim Transisi bentukan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) belum melakukan aksi nyata sama sekali. Sampai sekarang, apa yang dilakukan Tim Transisi adalah melempar berbagai wacana, mulai dari penyelenggaraan kompetisi (atau open tournament, atau apa pun namanya), sampai dengan membentuk tim investigasi. Namun, semuanya masih pepesan kosong belaka.

Disanksinya Indonesia oleh FIFA seharusnya memberi keleluasaan bagi Tim Transisi untuk membongkar semua kebusukan PSSI. Walau sebenarnya tidak perlu sampai terjadi, jatuhnya sanksi FIFA terhadap Indonesia pada akhirnya tak terhindarkan lagi akibat kebebalan PSSI sendiri.

Sekarang, semua sudah terlanjur, dan tak ada lagi alasan bagi Tim Transisi untuk tidak segera melakukan aksi nyata. Semakin cepat Tim Transisi ini bekerja, semakin cepat pula Indonesia bisa terbebas dari sanksi FIFA.

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.