Ruhe in Frieden: Gawang Kosong Robert Enke

Matahari sedikit condong ke barat ketika udara dingin mulai turun di bulan November. Neustadt am Rubenberg, kota kecil dekat Hannover menjadi saksi bagaimana sebuah prolog sebuah elegi mulai ditulis.

Jalanan terasa lengang sore itu, lalu-lalang kendaraan sudah mulai berkurang. Seorang lak-laki berjalan dengan tatapan kosong. Kedua bola matanya berisi gurat kekecewaan dan kegelisahan seumur hidup. Dengung pikuk dunia berkumandang di gendang telinganya. Robert Enke, berjalan pelan menuju peraduan terakhir.

Rel kereta di depannya berwarna hitam legam, tanda gesekan dua logam berat terlihat di atas pori-pori. Sepi, tak ada gemuruh yang terasa di bawah telapak kaki. Nampaknya, belum akan ada kereta yang akan lewat.

Enke berjalan dalam diam dan menunduk memandangi aspal di tepi jalan jalur kereta. Dia diam, namun kepalanya dipenuhi dengung kisah kelam.

Dengung yang berat, tegas, dan sahut-menyahut. Bagai lebah berburu madu, dengung tersebut makin memburu, mengajak detak jantungnya untuk berlari lebih cepat. Deras jantungnya terpacu, nadi-nadinya berdenyut-denyut, emosi dan kekecewaan membelenggu hatinya.

“Terbuat dari apakah hatiku? Kenapa Tuhan merengkuh jantung hatiku? Kembalikan Lara-ku, yang engkau renggut tiga tahun lalu,” gumam Enke dalam setiap tarikan nafasnya.

Namun langit bergeming. Sudah tiga tahun sejak putrinya, buah hatinya, Lara, dijemput Tuhan untuk pesiar di Firdaus. Kelainan hati menggerogoti gairah hidup Lara. Dengan sempurna, Lara menutup mata dan meninggalkan Enke dalam duka.

Jatuh, jatuh sedemikian dalam. Enke tenggelam dalam kekecewaan. Peristiwa itu menghantam nuraninya dengan telak. Merenggut niat hidupnya untuk menjadi penjaga gawang negara di gelaran Piala Dunia kelak.

Jatuh dalam depresi, sebuah memori buruk di Spanyol ikut berkecamuk. Timbul tenggelam dan menghujam seperti onak dalam relung batinnya. Kepindahannya ke Barcelona (2002/2003) bukan pilihan yang tepat.

Ia kesulitan beradaptasi dengan mau manajer asal Belanda. Enke tak gampang melepaskan ciri Jerman dalam pekerjaannya. Bentuk sweaper-keeper tidak mudah ia pahat dalam corak sarung tangannya. Tekanan demi tekanan dan keharusan tampil dalam bentuk terbaik memberi beban pahit dalam kesehariannya.

BACA JUGA:  Sadio Mane: Malaikat dari Senegal

Puncaknya, ketika sebuah kesalahan membuahkan kekalahan bagi Barcelona. Berlaga melawan Novelda, klub divisi tiga Spanyol, nama Enke tercantum dalam daftar pemain yang akan berlaga.

“Ini debutku. Aku tak boleh membuat kesalahan,” renung Enke di ruang ganti Barcelona saat itu. Blaugrana bermain sesuai filosofi yang Louis van Gaal tanamkan. Sayang, Enke tidak berkembang dengan ranum sesuai pola tanam Van Gaal.

Jarak yang jauh antara dirinya dengan barisan bek terasa asing. Maka, pergelaran yang seharusnya dapat dilangkahi Barca dengan mudah berujung tragedi. Sebuah tragedi untuk raksasa Catalan dan meninggalkan luka di bilik jantung Enke. Barca tersungkur 3-2, Frank de Boer berteriak kesal dari tengah lapangan, dan semua ujung jari mengarah ke muka Enke.

Dark mood yang menguasai Enke menempel seperti parasit. Teresa, istri Enke dan sang agen Jorg Neblung berusaha keras untuk menepis dark mood tersebut. Usaha mereka sia-sia. Pribadi Enke terhisap dalam relung hitam yang semakin kuat menyaru dalam batinnya. Menutup diri dan terasing secara batin, Enke merasa semakin kecil. Mentalnya jatuh, kepercayaan dirinya runtuh.

Tekanan untuk mempertahankan posisinya di Barcelona dan rasa takut akan hinaan membuat Enke makin jauh dari derak kebangkitan. Dirk, ayah Enke dengan perasaan sedih menggelayuti lidahnya, menjelaskan bahwa Enke selalu berpikiran bahwa apabila ia bukan yang terbaik, maka ia pasti yang terburuk.

And that’s a fundamental aberration,” kenang Dirk. Setelah dua kali dipinjamkan ke Fenerbahce dan Tenerife, Enke pulang ke Jerman untuk memperkuat Hannover 96. Situasi yang berbeda dan dekat dengan keluarga membuat Enke sedikit terbantu lepas dari dark mood yang berkuasa.

Hidup Enke sendiri sebuah tragedi, seperti kisah pahlawan. Seperti yang Aristoteles tulis, tragedi menggambarkan seorang pahlawan yang jatuh dan menderita karena keangkuhan, takdir, dan kehendak Tuhan. Pahlawan yang tragis jatuh karena ambisi untuk mencapai tujuan, namun harus rela dihajar beragam batasan kelemahan manusia.

Aristoteles menambahkan, seorang pahlawan tidak selalu harus mati. Namun, pahlawan harus menemukan wahyu atau penemuan kembali akan takdir dan kehendak Tuhan. Penemuan kembali ini dapat dicapai dari jalan kasih sayang atau cinta kasih.

BACA JUGA:  Sofyan Amrabat: Gelandang Tangguh Andalan Maroko

Menemukan sisi pahlawan dari sosok Enke adalah usaha seumur hidup untuk bertarung menundukkan stress dan tekanan dalam diri. Sepak bola, sebagai olahraga kompetisi, memupuk jiwa manusia untuk memahami bahwa kejatuhan adalah keniscayaan. Bangkit dan menemukan level pemahaman baru akan memberi manusia label pahlawan dengan ciri tersendiri.

Jatuh, dan tenggelam, seorang pemain sepak bola akan terus tertunduk dan kehilangan cahaya. Seperti kisah The Dark Night Rises, seorang pahlawan harus mengorbankan dirinya untuk mencapai level pewahyuan.

Sayang, Robert Enke memang mencapai penemuan kembali, namun dalam kungkungan dark mood. Kejatuhan Enke terlalu dalam. Sulit bangkit dari tragedi yang menimpanya, Enke tidak pernah benar-benar lepas dari lubang kekecewaan, sebuah lubang tanpa akhir yang mengikat erat kekuatan batinnya.

Robert Enke adalah pahlawan. Seorang pahlawan yang harus jatuh karena takdir dan kelemahan diri. Fallen hero, Enke mengingatkan kita akan dinamika kehidupan. Mengingatkan kita bahwa tragedi dan kemalangan akan terus mekar. Mengingatkan kita untuk terus menjaga orang terkasih dan bersama-sama menepis cobaan.

Di sekitaran Neustadt am Rubenberg yang mulai dingin, Enke berjalan pelan menuju jalur rel yang tampak mesra. Kilasan-kilasan tragedi tak lagi membayangi.

Enke berjalan di jalur putih, yang kelak akan membawanya bersua Lara, si buah hati. Rel terasa bergetar, si Ular Besi berjalan angkuh. Enke membulatkan tekad. Disambutnya sapa cahaya lampu Ular Besi dengan keikhlasan seorang ayah.

Enke, seperti pahlawan, menyentil kita akan pedihnya kejatuhan. Di bawah naungan nuansa dingin, gawang itu nampak kosong. Gawang duka yang kini basah oleh hujan bulan November tertanggal 10. Gawang kosong Robert Enke.

Ruhe in Frieden, Enke. Bis wir uns wieder treffen

(Istirahat dalam damai, Enke. Sampai kita bertemu lagi)

 

NB: Memoar untuk mengenang Robert Enke. Penjaga gawang Jerman yang meninggal pada 10 November 2009.

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.