Enam Sosok Penting Bagi Tottenham Hotspur Musim 2015/2016

Sebagai penggemar Arsenal, menulis analisis tentang mengapa Tottenham Hotspurs begitu menarik musim ini adalah hal yang cukup aneh.

Bukan tanpa alasan kenapa St. Totteringham’s Day yang sudah dirayakan bertahun-tahun secara beruntun sejak rezim Arsene Wenger begitu menarik bagi Gooner. Dari 1996 sampai akhir musim lalu, Arsenal tidak pernah sekalipun gagal finis di klasemen liga di bawah Tottenham.

Tapi musim ini berbeda. Tottenham bukan lagi lelucon yang lucu untuk Gooner dan semua pendukung klub Inggris di luar Arsenal. Tottenham menjelma menjadi salah satu poros kekuatan di luar klub-klub tradisional semisal Manchester United dan Liverpool.

Permainan mereka menghibur. Sepak bola mereka cepat, berlari dengan konstan dan menerapkan pressing tinggi yang begitu menarik untuk ditonton. Di titik ini, saya sepakat dengan Eduardo Galeano bahwa ketika sepak bola yang menarik terjadi di lapangan, saya berterima kasih untuk itu dan tidak peduli tim mana pun yang berlaga saat itu. Bahkan ketika tim itu Tottenham sekalipun.

Ada beberapa pemain yang begitu bersinar sekali musim ini bersama Tottenham. Mari kesampingkan euforia akan stabilitas Leicester City yang masih berada di papan atas saat bulan Januari sudah separuh jalan. Kesampingkan pula Arsenal yang digadang-gadang akan mampu juara liga musim ini.

Tottenham membangun komposisi tim dengan skuat yang merata. Kedalaman skuat mereka terjamin. Beberapa pemain tak layak pakai mereka singkirkan, sebutlah Si Raja Togo, Emmanuel Adebayor.

Anak-anak muda pun diorbitkan, seperti Tom Carroll dan salah satu bintang timnas Inggris U-21, Alex Pritchard. Tentu tak lupa untuk menyebut Dele Ali. Kebijakan transfer pun cukup tepat dengan masuknya Son-Heung Min dan Toby Alderweireld.

Ini beberapa sosok kunci kenapa Tottenham (harusnya) layak dimasukkan menjadi penantang untuk perebutan gelar Liga di sisa musim ini :

Mauricio Pochettino

Sebagai salah satu penggemar Marcelo Bielsa, nama Pochettino sudah familiar betul bagi saya sejak ia masih di Espanyol. Dia dengan bangga mendaku diri sebagai murid Bielsa sejak menekuni karier kepelatihan.

Mengawali karier bermain di Newell’s Old Boy, Pochettino sudah terikat secara lahir dan batin dengan Si Gila – julukan Bielsa. Gaya bermain menekan dan cepat memang identik dengan apa yang Pochettino lakukan dengan Tottenham musim ini.

Sekilas, gaya yang tampak dengan apa yang Bielsa pernah lakukan di Athletic Bilbao dulu. Bilbao-nya Bielsa pula yang sempat mempermalukan Manchester United asuhan Sir Alex Ferguson di Europa League beberapa tahun silam.

Pochettino bukan nama yang benar-benar baru di Liga Inggris. Datang pada 2013 di pesisir Southampton, nama pria Argentina ini sudah menarik banyak atensi dari publik. Yang paling menonjol tentu gaya main dan pendekatan taktikalnya yang terlihat segar untuk ukuran Liga Inggris yang masih lambat mengadopsi taktik sepak bola modern.

Murid Bielsa ini juga memiliki pendekatan yang unik dalam pemilihan komposisi pemainnya. Mengutamakan pemain yang memiliki kecepatan dan stamina yang bagus.

Di Tottenham pun, hal ini menjadi senjata utama mereka musim ini. Pressing mereka luar biasa. Lini belakang mereka sangat amat solid. Para gelandang mereka kerapkali melakukan trackback ke belakang untuk membantu menjaga area vital di pertahanan. Ketika naik menyerang pun mereka sangat sporadis, bisa lima hingga enam pemain akan maju ke depan saat transisi menyerang dimulai.

Pochettino benar-benar mengubah Tottenham yang bertahun-tahun sebelumnya membosankan dan kerapkali fluktuatif, menjadi benar-benar stabil dan konsisten, setidaknya musim ini.

Bukan tanpa alasan mereka mampu berada di atas Liverpool dan Manchester United musim ini. Skema permainan mereka makin matang dengan kebijakan transfer yang tepat. Pochettino mulai paham apa yang dibutuhkan timnya dan bagaimana menggunakan bursa transfer hanya untuk mendatangkan pemain yang benar-benar dibutuhkan tim dan skema taktikalnya.

Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld

Catatan kebobolan Tottenham Hotspurs sampai pekan ke-22 ini adalah 18 gol. Jumlah paling sedikit kemasukan gol yang juga menjadi bukti kenapa dua nama bek tengah di atas patut diberi apresiasi yang tinggi. Apabila Leicester City begitu eksplosif di lini depan mereka dengan kontribusi Riyad Mahrez dan Jamie Vardy, Tottenham jauh lebih seimbang.

BACA JUGA:  Pep Guardiola, Fragmen Keindahan dalam Bingkai Sepak Bola

Mereka memiliki banyak sumber untuk mencetak gol. Skema 4-2-3-1 yang kerap dimainkan pun membantu betul para gelandang mereka untuk menyumbangkan gol. Ada nama Nacer Chadli, Moussa Dembele dan Christian Eriksen yang mampu menjadi solusi gol kapan pun dibutuhkan.

Selain tajam dalam menyerang, mereka cukup disiplin dalam bertahan. Duo Belgia yang menjadi palang pintu adalah jaminan mutu kenapa gawang Hugo Lloris begitu sedikit kebobolan.

Memang, mereka sempat kecolongan dua gol saat kalah dari Newcastle dan satu gol saat kalah dari Leicester. Namun itu sulit untuk menghapus fakta mutlak bahwa pertahanan yang digalang poros Belgia ini adalah salah satu yang terbaik di Liga Inggris saat ini.

Tanpa mengesampingkan peran sang kapten, Hugo Lloris, duo bek tengah ini adalah garansi kenapa Danny Rose dan Kyle Walker atau Kieran Trippier begitu rajin naik ke atas untuk membantu serangan. Datangnya Alderweireld adalah kepingan yang dibutuhkan The Lilywhites untuk mencari tandem terbaik bagi Vertonghen.

Duo sentral di palang pintu adalah salah satu kunci bagi sebuah tim untuk bisa stabil dan konsisten. United pernah punya Nemanja Vidic dan Rio Ferdinand. Chelsea ketika juara musim lalu dikomandoi duo Inggris, John Terry dan Gary Cahill. Arsenal pun memiliki duet Per Mertesacker dan Laurent Koscielny.

Tottenham musim ini mampu menemukan duo bek tengah yang bisa dihandalkan. Harusnya, jalan menuju konsistensi penampilan bisa diganjar dengan posisi yang cukup tinggi pada akhir musim nanti.

Eric Dier dan Delle Ali

Satu yang menarik dan patut diapresiasi dari Tottenham dan Pochettino musim ini adalah banyaknya talenta Inggris di skuat mereka. Di tengah arus pemain asing yang berkuasa di Inggris beberapa tahun belakangan, seakan menjadi justifikasi kenapa prestasi timnas mereka terkesan stagnan dan tidak progresif.

Selain Eric Dier dan Dele Alli, di Tottenham ada bercokol duo bek sayap Inggris, Danny Rose dan Kyle Walker, juga Kieran Trippier. Di sektor gelandang masih ada nama Ryan Mason dan Tom Carroll, nama terakhir bahkan tampil gemilang di tiga laga terakhir bersama Tottenham.

Saya mulai dari Eric Dier. Ini nama yang cukup unik latar belakangnya. Dia mengawali karier di tanah Iberia, jauh dari Britania apalagi kampung halamannya di Cheltenham. Merantau sejak usia muda di akademi Sporting Lisbon membuat Dier memiliki mentalitas yang lua biasa. Mengingat, baru dua hari lalu Dier resmi berusia 22 tahun.

Kemampuan unik Dier adalah bakatnya untuk bermain di banyak posisi. Arsene Wenger pernah berujar bahwa intelegensia pemain ada di titik terbaik kala ia mampu bermain di berbagai posisi dengan sama baiknya.

Dier fasih bermain di bek tengah dan bek kanan. Wajar, karena selama di Sporting pun, ia adalah bek tengah yang dapat diandalkan. Juga di timnas U-21 Inggris. Yang menjadi fenomenal adalah dipanggilnya Dier ke timnas senior Inggris justru karena penampilan konsistennya bersama Dele Alli di posisi pivot Tottenham musim ini.

Pochettino mengubah Dier menjadi gelandang sentral karena melimpahnya stok bek kanan saat itu dengan kedatangan Kieran Trippier. Juga di bek tengah yang sudah ada pelapis semisal Federico Fazio dan Kevin Wimmer.

Dier pun dicoba dimainkan bersama Alli di posisi poros tengah dan konsistensinya sejauh ini membuahkan satu debut di timnas senior Inggris. Fakta uniknya, federasi sepak bola Portugal pernah menawari Dier untuk bermain bagi timnas senior mereka.

Berikutnya, the most teenage sensation in England football this season, Dele Alli. Bocah asli Milton Keynes ini menjadi perbincangan karena dia dianggap tidak cukup siap secara mental dan teknis untuk bermain di Liga Primer bersama Tottenham. Wajar, karena ia berasal dari MK Dons, tim League One, dua tingkat di bawah Premier League.

Keputusan jitu dan berani Pochettino untuk memainkan Dele Alli adalah bukti nyata kenapa pemain muda Inggris hanya butuh kepercayaan dan komitmen pelatih, bukan gembar-gembor media tentang bakat dan mahalnya harga mereka.

Dele Alli hanya berharga lima juta poundsterling. Sangat amat murah, untuk standar pemain Inggris yang terkenal overpriced. Anda masih ingat bukan banderol Raheem Sterling saat hijrah ke Manchester City?

BACA JUGA:  Kepak Sayap Kebangkitan Rafael Leao

Datang pada awal musim ini, walau sudah dibeli sejak Februari tahun lalu, Alli langsung menjadi pilihan utama di posisi sentral Tottenham. Menggeser duo Ryan Mason dan Nabil Bentaleb. Juga “memaksa” Moussa Dembele kembali ke posisi gelandang serang.

Kemampuan Alli yang sama baiknya untuk bermain di gelandang tengah atau gelandang serang menjadi nilai lebih. Alli memiliki daya jelajah tinggi dan sangat tenang. Sebagai sosok yang mengaku mengidolai Steven Gerrard, Alli jauh lebih kalem dibanding idolanya ketika berumur 19 tahun.

Beberapa kali saya mengkhianati nurani ketika mengunjungi Spurs TV di Youtube demi menyaksikan lebih dekat pribadi Dele Alli. Pembawaannya tenang. Karakternya santai dan hangat. Untuk ukuran pemain muda, Alli sangat matang dan dewasa. Sosok Alli lebih mirip Mesut Ozil. Kalem dan tenang, bahkan sedikit pemalu.

Dia pernah berujar bahwa terkadang ia sungkan saat harus berteriak ke pemain senior saat berada di pertandingan. Ia juga mengaku bergetar lututnya saat harus bermain bersama Wayne Rooney di timnas Inggris.

Dan Dele Alli sudah memiliki rekening gol bersama timnas senior. Tepat saat cannoball-nya menembus gawang sang kapten di Tottenham, Hugo Lloris, saat Inggris berlatih tanding dengan Prancis di stadion Wembley akhir tahun lalu. Sebuah gol megah dari pemuda 19 tahun di stadion yang sakral bagi publik sepak bola Inggris.

Harry “Hurricane” Kane

Ketika ada jajak pendapat di forum suporter Arsenal, nama Harry Kane sempat diapungkan bersama penyerang semisal Pierre-Emerick Aubameyang dan Edinson Cavani agar didatangkan ke Emirates. Bukan tanpa alasan Gooner menginginkan Kane. Dari dua pertemuan terakhir, tiga gol Harry Kane berhasil membuat Arsenal gagal dan kesulitan mengalahkan Tottenham.

Sempat menempa ilmu di akademi Arsenal pada 2001/2002, Kane kemudian dilepas dan berpindah-pindah akademi sebelum akhirnya berlabuh di akademi Tottenham pada 2004. Arsene Wenger jelas bukan Tuhan ketika begitu saja membiarkan akademi melepaskan Harry Kane. Tidak ada yang tahu Kane akan semengkilap saat ini.

Dua belas gol pada musim ini dan 21 gol musim lalu adalah bukti sahih, setidaknya hingga tengah musim ini, bahwa Harry Kane bukan one season wonder laiknya Michu. Untuk pemain berusia belum genap 23 tahun, Kane sudah mengoleksi 50 gol bersama Tottenham. Catatan nyata kenapa publik Inggris berharap Kane bisa menjadi tombak utama Inggris di Euro tahun ini.

Dibanding beberapa penyerang Inggris lainnya, Kane unggul jauh. Sebutlah Daniel Sturridge atau Danny Welbeck, hingga Wayne Rooney sekalipun, adakah jumlah gol mereka mampu mendekati rekening gol Kane? Maka jangan heran bahwa desas-desus bahwa Real Madrid menginginkan Harry Kane sebenarnya adalah sebuah kewajaran.

Nomor punggung 10 yang diberikan untuk Kane musim ini adalah justifikasi bahwa ia memang disiapkan menjadi sosok integral bagi Tottenham. Statusnya sebagai wakil kapten ketiga setelah Lloris dan Vertonghen pun juga mencerminkan hal itu.

Dipimpin Harry Kane, jumlah selisih gol Tottenham hanya kalah oleh Manchester City. Bahkan masih jauh di atas Manchester United, Liverpool dan Chelsea.

Tottenham begitu seimbang dalam bertahan dan menyerang, salah satunya terbantu dengan stabilitaslini belakang yang solid dan performa krusial Harry Kane di depan gawang yang masih mumpuni.

Dengan usia masih 22 tahun, Harry Kane tentu bisa diharapkan menjadi tulang punggung utama bagi timnas dan bagi Tottenham sendiri. Setidaknya, hingga nanti sebelum ia ditebus Florentino Perez untuk bergabung bersama kawan almamaternya, Luka Modric dan Gareth Bale.

Tottenham jelas sangat menarik musim ini. Permainan mereka dan dimensi taktik Pochettino menghasilkan generasi terbaik dari Tottenham Hotspurs dalam satu dekade terakhir.

Tottenham begitu cepat, taktis dan kuat. Mereka berlari dan berlari. Menekan lawan. Bertahan dengan solid. Menyerang dengan sporadis. Dan mampu merepotkan banyak tim tradisional yang kuat. Andai-mampu stabil hingga akhir musim, impian untuk bisa juara boleh diapungkan dari sekarang.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.