Sepak Bola yang Melawan Kolonialisme

Beberapa waktu lalu, ketika INSISTPress akan meluncurkan buku Henry Bernstein berjudul Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria, saya sempat menulis status Facebook tentang film Lagaan. Dalam bahasa Hindi, “Lagaan” artinya “upeti”. Film ini berkisah tentang pemerasan terhadap para petani di sebuah desa di India pada masa kolonial Inggris; tema yang kebetulan menjadi bagian dari pembahasan sejarah kapitalisme agraria di buku Bernstein. Pemerasan dilakukan oleh para elit politik lokal, yang kemudian menyerahkan upeti hasil pemaksaan kepada begundal kolonial Inggris.

Uniknya, setidaknya sebagai sebuah film, pertentangan soal upeti yang melibatkan petani dan pihak kolonial Inggris diselesaikan oleh Lagaan bukan melalui perang senjata api, atau perlawanan sehari-hari, melainkan melalui pertandingan kriket! Ya, sebuah pertandingan kriket, olahraga paling terkenal di hampir semua tanah jajahan Inggris, tak terkecuali di India.

Apakah film Lagaan sedang mengurai pertentangan kolonialisme dengan cara sedemikian sederhana? Dengan hanya kriket, maka kolonialisme yang mencengkeram sekian lamanya, runtuh? Pramoedya Ananta Toer pernah menyebut tentang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar karya Multatuli, sebagai sebuah buku yang membunuh kolonialisme. Kriket, atau olahraga, seperti halnya buku, sama-sama bisa menjadi medium yang menggerakkan orang-orang.

Dari Lagaan, kita mendapati sebuah pertandingan yang digelar bukan semata sebagai pertandingan olahraga biasa, melainkan juga pertaruhan harga diri atas nama bangsa. Dikomando oleh Aamir Khan sebagai pemeran utama film, orang-orang India menolak untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum penjajah Inggris. Bukan pekerjaan mudah untuk mengubah cara pikir orang-orang yang sudah sekian lama ditindas oleh penjajahan dan oleh ketidakmungkinan akan sebuah harapan. Khan menunjukkan bahwa kemungkinan untuk itu bukan tidak ada. Ia tidak rela diperas melalui upeti yang semakin mencekik dan bersama warga satu desanya memilih untuk bertaruh dengan orang-orang Inggris melalui sebuah pertandingan kriket.

Ilham cerita dari film yang keluar pada 2001 itu, saya lupa, berdasarkan kisah nyata atau tidak. Tapi, kalau kita mau menggeser perhatian sedikit saja, yakni dari kriket ke sepak bola—dengan latar tempat tetap di India, sebuah pertaruhan harga diri kebangsaan kaum terjajah atas kaum penjajah melalui sepak bola, sebagai sebuah olahraga, dapat kita temui dari sebuah kisah nyata.

BACA JUGA:  Melihat Jack Wilshere sebagai Anti-Hero

Tahun 1911, sebuah klub sepak bola di India bernama Mohun Bagan menjadi klub yang merepresentasikan bangsa Bengal. Tahun itu, klub tersebut terus-menerus mendulang kemenangan dalam kompetisi. Kompetisi sepak bola di India adalah kompetisi antarklub keempat tertua di dunia; mulai dihelat pada 1893. Mohun Bagan masuk dalam laga final kompetisi, dan—tak ubahnya sebuah skenario film—klub yang dihadapi adalah klubnya orang Inggris.

Sebuah pertandingan yang digelar di negeri terjajah, pada masa itu, tentu saja adalah pertandingan ala kadarnya. Untuk membayangkan sebarapa ala kadar, kita hanya perlu membayangkan bagaimana pertandingan turnamen antarkampung (tarkam) di Indonesia digelar. Pemain boleh bersepatu, boleh juga tidak. Pemain boleh pakai kostum, bertelanjang dada juga tidak dilarang. Dan, para pemain Mohun Bagan saat itu memang hanya nyeker.

Kehadiran Mohun Bagan pada pertandingan final saja, dengan menimbang bahwa klub yang dihadapi adalah klubnya orang Inggris, sudah menggugah semangat kemerdekaan orang-orang India. Kalau dalam Lagaan, bat (tongkat pemukul) yang digunakan orang-orang Inggris adalah produksi massal hasil revolusi industri, orang-orang India terima-terima saja membuat sendiri bat dari kayu dari pohon yang tumbuh di sekitar desa. Mohun Bagan, sedemikian pula. Mereka berhadapan dengan pemain bola betulan, orang-orang yang memakai sepatu dan kaos kaki.

Namun, dari wajah pertandingan ala tarkam semacam itulah sebuah bangsa terjajah mampu mengerahkan semangat berkumpulnya untuk mendukung klub yang mewakili identitas mereka. Demikianlah tensi pertandingan antara Mohun Bagan melawan East Yorkshire Regiment. Kalau Anda lihat pertandingan kriket di Lagaan, seperti itulah mungkin suasana penonton dalam pertandingan yang akhirnya dimenangi Mohun Bagan, 2-1. Di India, inilah kali pertama tim kaum terjajah mampu memenangi kompetisi. Ini monumental.

Asal tahu, pertandingan yang digelar pada 29 Juli 1911 itu dihadiri oleh orang-orang dari berbagai pelosok negeri di India. Sontak, kemenangan itu tidak hanya menjadi kemenangan dalam sepak bola, tapi bagi Inggris adalah sebuah penghinaan yang serendah-rendahnya di depan orang banyak. Mereka dikalahkan oleh orang-orang yang dijajahnya, yang makan nasi, dan mengidap malaria.

BACA JUGA:  Jejak Pemain Turki di FC Barcelona

Bukan kebetulan rasanya jika pertandingan itu berjalan secara dramatis. Sempat tertinggal 0-1, Mohun Bagan membalik papan skor—yang jelas tidak ada papan skor di lapangan itu, yang juga bukan stadion tapi hanya tanah lapang terbuka—menjadi 2-1 pada lima menit terakhir! Di titik ini, saya benar-benar tak habis pikir. Ya, memang bukan sepak bola kalau tidak menghadirkan kisah dramatis, dan mungkin dari India-lah kita bisa menemukan sejarah yang dramatis beneran sebagaimana film-film yang diproduksinya.

Steve Crashaw dan John Jackson menulis kisah Mohun Bagan tersebut dalam buku berjudul Small Acts of Resistance: How Courage, Tenacity, and a Bit of Ingenuity Can Change the World. Kedua penulis, yang kini juga mengelola situs www.smallactsofresistance.com, mengambil kisah Mohun Bagan untuk mengilustrasikan bagaimana perlawanan mengambil peluang dari olahraga. Ada banyak tindakan kecil perlawanan yang, tercatat dalam sejarah, ternyata telah berhasil membuat dunia yang kita tinggali sekarang, dalam beberapa fase yang meski teramat ringkas tempatan waktunya, pernah menerbitkan sepotong harapan.

Persis, pada 1911 itulah, yakni 12 Desember 1911, Inggris memindahkan ibukota penjajahan dari Kalkutta ke Delhi, kota yang saat ini kita kenal sebagai ibukota India merdeka. India memang baru berdiri sebagai negara berdaulat pada 15 Agustus 1947, tapi sudah puluhan tahun sebelumnya Inggris mulai menghindari acara-acara besar yang menyedot massa, seperti pertandingan monumental nan dramatis itu, lantaran takut kehilangan harga diri kolonialnya. (*)

Terjemahan buku Steve Crashaw dan John Jackson akan diterbitkan oleh INSISTPress pada Agustus 2015. Untuk artikel ini, saya baru tahu belakangan bahwa kisah Mohun Bagan versus East Yorkshire Regiment telah digarap oleh sutradara Aron Roy dalam film debutnya, Egaro: The Eleven. Film tersebut dirilis pada 2011, tepat pada perayaan 100 tahun kemenangan Mohun Bagan.

 

Komentar