Malam Sendu di Tepi Barat Sungai Chao Phraya

Ketika bangun pagi dan menyadari bahwa Sabtu malam (17/12) kemarin akan dilangsungkan pertandingan leg kedua final Piala AFF 2016, perasaan saya menjadi serba tak keruan. Ada perasaan girang yang berbalut dengan harapan bahwa untuk kali pertama, setelah lima kali final, Indonesia akan kembali juara di ranah ASEAN.

Tapi beranjak petang, suasana hati mendadak menjadi seperti awan mendung yang menggelayuti Yogyakarta tiap sorenya. Terlebih beberapa menit sebelum berangkat menuju tempat menonton timnas berlaga, saya sempat membaca catatan pendek Mahfud Ikhwan tentang narasi kekalahan timnas yang beliau alami di hidupnya.

Catatan ringkas itu membuat optimisme sedari pagi menguap entah ke mana. Mendadak saya ingat satu fakta, bahwa Kiatisuk Senamuang jelas punya banyak senjata untuk membalas kekalahan memalukan di Pakansari tiga hari yang lalu.

Dahulu, ia pemain hebat. Selepas pensiun, terbukti, kualitas melatihnya pun paten. Blundernya kala meladeni Indonesia di partai tandang tentu sudah dipelajari baik-baik dan terekam jelas di benaknya. Pikiran tentang hal itu membuat perjalanan ke tempat nonton bareng sejenak terasa lama dan mencekam.

Saya membayangkan apakah Kiatisuk akan memasang Charyl Chappuis sejak menit awal atau tidak. Ataukah Kiatisuk akan tetap memakai Teerasil Dangda sebagai penyerang tunggal atau turun dengan dua penyerang seperti di laga pertama kontra Indonesia di babak penyisihan grup.

Dua hal itu menjadi teka-teki misterius yang menyeramkan. Seyakin-yakinnya saya dengan timnas Indonesia dan daya juangnya yang militan, taktik yang jitu dan gameplan yang ciamik khas tim Gajah Putih bisa membunuh mimpi juara.

Thailand: pembawa air mata

Kalau Anda seorang awam di sepak bola dan ada kawan yang bilang bahwa Thailand adalah raja sepak bola ASEAN, sebaiknya Anda percaya saja tanpa perlu membantah.

Karena yang ditunjukkan Thailand di leg kedua final AFF 2016 adalah bukti sahih, perang spartan ala Indonesia tidak berguna sama sekali di hadapan masterplan ciamik negeri Gajah Putih.

Turun dengan pakem dasar 3-4-1-2, anak asuh Kiatisuk Senamuang berhasil menguasai dua hal penting yang menjadi kunci untuk mendominasi dan memenangi laga.

BACA JUGA:  Problem Liverpool Pasca Hengkangnya Wijnaldum

Pertama, mereka menguasai bola dan mengatur tempo dengan sempurna. Hampir tidak ada skema serangan sporadis yang ditunjukkan Thailand walau kenyataannya mereka tengah mengejar defisit gol. Mereka tenang dan terstruktur.

Kedua, Thailand bermain dengan cara dan tujuan yang pasti. Saya paham bahwa ketika dua tim bertanding di final, tujuannya hanya satu, yakni menjadi juara. Masalahnya adalah, bagaimana caranya? Dan di Bangkok kemarin, Thailand benar-benar mengajari Indonesia cara bermain sepak bola yang rapi, terstruktur, dan sistematis.

Kualitas dua bek sayap, Teerathon Bunmathan dan Tristan Do, adalah salah satu faktor kunci dominasi Thailand yang sulit dibendung timnas sejak menit pertama. Gencar menyerang sisi kanan Indonesia yang dihuni Beny Wahyudi adalah taktik cerdas.

Tak hanya aktif menyerang, dua bek sayap Thailand tersebut juga tetap disiplin ketika bertahan, terutama kala Indonesia tengah memainkan pola favoritnya, melambungkan bola ke angkasa untuk menghindari medium block Thailand di tengah yang secara luar biasa, digalang sangat rapi oleh Chappuis dan Sarach Yooyen.

Thailand membawa air mata bagi jutaan penggemar sepak bola di Indonesia dengan cara yang cantik dan elegan. Mereka menang dengan mewah, megah, dan ciamik. Hati saya dongkol melihat Kiatisuk tersenyum puas usai laga. Mata saya mendadak panas menyaksikan Siroch Chattong yang berbadan kekar bak atlet binaraga sukses membuat lini belakang Indonesia seperti anak kemarin sore.

Sebagai moralis sepak bola, permainan Thailand adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Mereka tahu cara bermain cantik, juga tak lupa bahwa bermain cantik pun perlu tujuan akhir, yakni menang. Dua kombinasi sempurna dari The War Elephant. Bermain cantik dan menang.

Sekali lagi tuhan di sepak bola tahu, mana yang lebih paham cara menjadi juara, merekalah yang lebih layak mengangkat piala. Dan tuhan tahu, bahwa underdog of the year di tahun 2016 hanya milik Leicester City dan timnas Portugal.

BACA JUGA:  Bola Piala Dunia 2022 Dibuat di Indonesia, Timnasnya Kapan?

Lagipula, apa yang bisa dibanggakan dari permainan timnas kemarin malam? Secara taktikal, mereka kalah. Secara militansi, jelas kalah jauh. Jarak tempuh lapangan dua bek sayap Thailand di babak pertama saja lebih jauh dari distance covered yang diraih Zulham Zamrun dan Rizki Pora. Mereka berlari lebih banyak karena mereka tahu, mereka harus menang.

Setelah ini apa, Indonesia?

Sejenak usai peluit akhir berbunyi, saya termenung dan menatap nanar ke layar kaca dengan ekspresi yang kalian semua pasti tahu dan perasaan yang juga pasti kalian semua paham.

Untuk beberapa saat, bahkan, saya tidak tahu harus berucap apa terhadap empat kawan nobar yang cengar-cengir di samping kanan, kiri, dan depan saya.

Kalau saat itu ada seorang psikolog datang menghampiri meja kami dan membisiki saya bahwa menangis adalah wajar karena itu adalah ekspresi kultural manusia kala bersedih atau bahagia, saya tentu akan menjabat erat tangannya, memberi pelukan panjang, dan bila perlu, mengecup keningnya dengan sendu, apabila ia seorang wanita.

Sayangnya, itu semua fiktif. Tak nyata. Satu-satunya yang nyata, Indonesia kalah. Kalah segalanya dari lawan yang bermain cerdas dan cantik. Indonesia kalah tepat di saat segenap bangsa yakin bahwa final tahun ini akan lebih baik dari empat final sebelumnya yang berujung kegagalan.

Indonesia kalah tepat saat saya percaya militansi dan spirit bondo nekat ala arek-arek Suroboyo di perang 10 November bisa menjadi narasi heroik untuk trofi AFF 2016.

Yang semakin menyesakkan, dan mungkin akan menjadi realita, juga pertanyaan besar bagi kita semua tiap tahunnya, setelah ini apa, wahai PSSI?

Mimpi di Bangkok sudah pupus. Realita kejam dan banal sudah menanti sepak bola kita dengan rezim baru PSSI yang, jujur saja, saya tidak tahu apa visi misi dan arah kebijakannya ke depan.

Karena sekali lagi, hal yang saya tahu hanya satu, Indonesia kalah. Itu saja.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.