Gebrakan Torabika Soccer Championship yang Mengecewakan

Pertama, tak ada niat hati memojokkan dambaan kita semua, Ratu Tisha, sebagai pemangku jabatan PT. Gelora Trisula Semesta, operator turnamen. Mana mungkin abang berani menyalahkan keputusan Kak Tisha. Bisa digebuk semua suporter se-Indonesia. Sirajudin Hasbi, CEO Fandom, pun pasti akan memarahi saya

Saya yakin, Kak Tisha tidak ikut campur perihal perumusan jadwal turnamen Torabika Soccer Championship (TSC) 2016. Kalaupun terlibat, saya akan menganggap Kak Tisha tak terlibat. Cewek tak pernah boleh disalah-salahkan.

Jadi begini, jadwal TSC sungguh memuakkan. Alasannya, jadwal membuat keuangan tim menjadi membengkak. Selain itu, keputusan PT. GTS yang menjadwalkan pertandingan pada saat bulan Ramadan adalah sebuah blunder besar. Plus, setelah Ramadan, jadwal bukannya membaik, malah masih saja buruk.

Gebrakan PT. Gelora Trisula Semesta

Kita patut berterima kasih kepada PT. GTS yang dengan susah payah mengadakan turnamen sepak bola pasca gelaran Indonesia Super League (ISL) mandek di awal kompetisi.

Setelah ISL mandek, turnamen-turnamen berdurasi pendek diadakan oleh banyak operator. Dan TSC adalah turnamen pramusim rasa kompetisi diadakan selama semusim penuh untuk memuaskan nafsu berahi pencinta sepak bola.

Kedatangan TSC disambut suka cita. Stadion mana yang sepi saat TSC berlangsung? Kecuali PS TNI dan Bhayangkara Surabaya United, semua stadion peserta TSC penuh sesak.

Bahkan Persiba Balikpapan dan Persegres Gresik United yang berada di papan bawah pun, stadionnya masih ramai. Mereka masih rindu sepak bola. Rindu harumnya bau rumput. Rindu nikmatnya makanan ringan khas stadion.

Untuk menambahkan sensasi orgasme pencinta sepak bola, PT. GTS melakukan perubahan. Yang paling mencolok adalah adanya pertandingan di jam yang seharusnya tidak pernah terjadi sebelumnya. Jam 9 malam.

Entah apa motifnya. Yang pasti, selama 12 pekan berlangsung (saat artikel ini ditulis), ada banyak pertandingan yang diadakan jam 9 malam. Bahkan, saat Ramadan, pertandingan diadakan jam setengah 10 malam. Pocong, kuntilanak, dan genderuwo menjadi suporter paling rajin yang datang ke stadion.

Selain gebrakan untuk menambahkan waktu pertandingan menjadi jam 9 malam, PT. GTS juga melakukan gebrakan dalam pengaturan jadwal. Kalau dalam gelaran ISL, pertandingan dilakukan dengan format dua kali home dan dua kali away, maka kali ini formatnya diubah. Sekali home dan sekali away.

Format seperti tadi identik dengan pertandingan liga-liga di Eropa. Di Eropa, pertandingan diadakan setiap weekend. Untuk beberapa kasus (misalnya ada agenda timnas dan laga di kompetisi Eropa), pertandingan diadakan saat weekdays.

Di Eropa, khususnya Serie A, mayoritas pertandingan memang dimulai pada hari Sabtu dini hari sampai Senin dini hari waktu Indonesia. Mungkin, keinginan untuk meniru sepak bola Eropa adalah alasan dari PT. GTS.

BACA JUGA:  Akhir dari Liga Primer Rusia Musim 2015/2016: Dongeng FC Rostov dan Kutukan Beria

GTS juga mengadakan pertandingan saat Ramadan. Hal yang selama ini belum pernah diadakan oleh operator lain di Indonesia. Terhitung, 4 pertandingan harus dilakoni oleh semua klub selama bulan puasa. Jangan dibayangkan bagaimana capeknya para pemain.

Efek Gebrakan TSC

Banyak pihak yang merespons gebrakan baru PT. GTS. Umuh Muhtar, manajer Persib Bandung, mengeluhkan jadwal Persib Bandung.

Tanggal 21 Juli, Persib Bandung dijamu Persipura di Jayapura. Tanggal 24 Juli, Persib harus bermain ke Padang untuk menghadapi Semen Padang. Ujung timur ke ujung barat. Hasilnya, Persib terkapar di Stadion H. Agus Salim dengan skor 4-0. Jawara ISL 2014 takluk dengan skor mencolok.

Ya, gebrakan PT. GTS yang menyasar jadwal turnamen ini menimbulkan polemik. Butuh penyesuaian lebih lanjut. Khusunya terkait format baru pertandingan yang awalnya menggunakan sistem paket dua kali home dan dua kali away.

Sistem ini membuat dua tim yang berdekatan secara geografis disatukan dalam satu paket. Hal ini tentu membuat tim lawan yang bertandang ke dua klub tadi tak perlu mengeluarkan banyak biaya. Plus, stamina pemain mereka tak perlu terkuras habis.

Gambarannya begini. Persegres Gresik United dan Arema biasanya berada di satu paket yang sama. Mereka akan bertanding beriringan. Arema melawan Persipura, dan Persegres Gresik United melawan Perseru Serui.

Setelah Arema melawan Persipura, mereka akan melawan Perseru Serui. Begitu sebaliknya. Makanya, dulu muncul istilah Tur Papua, ketika menjamu dua tim asal Papua secara bergantian.

Ini jelas menguntungkan semua klub. Klub tak perlu mengeluarkan dana lebih banyak. Karena mereka hanya perlu mengeluarkan uang lebih untuk hotel.

Andaikan Arema melawan Persipura di Jayapura pada minggu ini, maka minggu depan mereka melawan Persib di Bandung. Minggu setelahnya, mereka menjamu Perseru Serui. Arema butuh dua kali perjalanan ke Papua. Lebih ekonomis mana dengan opsi yang pertama, hayo?

Selain perkara biaya, para pemain tentu tak merasa lelah sebelum bertanding. Jujur saja, perjalanan yang paling menguras tenaga adalah saat menjamu Perseru Serui.

BACA JUGA:  Ed Woodward dan Dua Sisi Mata Uang

Menurut pengakuan wasit Djumadi Effendi, dibutuhkan waktu 24 jam untuk bisa mencapai Serui. Dibutukan perjalanan laut untuk mencapai Serui. Karena memang penerbangan dari Biak ke Serui hanya ada tiga kali dalam seminggu.

Kalau alasan PT. GTS adalah untuk meniru liga-liga di Eropa, mungkin mereka lupa kalau jarak antarkota di Eropa, tak sejauh di Indonesia. Pun dengan transportasi di Indonesia tak secanggih dan semaju di Eropa. Salah siapa?

Gebrakan lain yang dikeluhkan oleh pemain adalah adanya pertandingan di Ramadhan. Suheri Daud, striker Persegres Gresik United, mengatakan bahwa bermain di bulan Ramadan itu sangat menguras tenaga.

Apalagi di Indonesia, mayoritas pemainnya beragama Islam. Kekalahan Persegres Gresik United atas Persiba Balikpapan juga disinyalir akibat kelelahan. Hari Senin (27/6), Persegres Gresik United masih bermain melawan Persib Bandung dan hari Kamis (30/6) sudah harus bermain melawan Persiba Balikpapan. Capek mana yang kau dustakan, bro.

Gebrakan itu perlu. Bahkan harus. Terus stagnan dan merasa nyaman dengan satu gebrakan itu tidak boleh terjadi. Meskipun begitu, gebrakan juga harus melihat aspek lain.

Misalnya, tidak memberatkan klub dan pemain. Operator juga seharusnya melihat sisi pemain. Jangan hanya melakukan gebrakan demi rating dan pendapatan semata. Tapi tak melihat sisi pemain.

Oh ya, Kak Tisha, dapat salam dari Gus Hasbi.

 

Komentar
Penulis adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Mencintai sepakbola seperti mencintaimu. Penikmat Sepak bola Indonesia dan Italia. Dikontrak seumur hidup oleh Gresik United dan AS Roma dengan kepimilikan bersama atau co-ownership. Yang mau diskusi tentang sepak bola ataupun curhat tentang cinta, bisa ditemui di akun twitter @alipjanic .