Anfield dan Aura Magisnya yang Lenyap bagi Liverpool

Merseyside tampak buruk rupa kala Manchester bersolek ria. Pelabuhan baru di kawasan North-West bikin pelabuhan-pelabuhan di Liverpool lemas terkulai seolah tak dibutuhkan. Persaingan industri terjadi dan merambah ke berbagai lini, tak terkecuali sepakbola.

Kesebelasan tersukses di Inggris, Manchester United, terlibat persaingan sengit dengan klub Inggris berprestasi paling mentereng di Eropa, Liverpool.

Hari ini, tak ada hujan yang membasahi Stadion Anfield. Badai pun tak terlihat di sana. Namun kilat terus menyambar-nyambar dengan mengerikan seusai Liverpool karam di tangan tamunya, Fulham.

Sebaliknya, United sedang tertawa bahagia dan kini sah menjadi penguasa kota Manchester setelah menumpas perlawanan sang tetangga berisik, Manchester City, dalam partai derbi.

United dan Liverpool adalah rival tradisional yang abadi di tanah Britania. Namun keduanya acap punya perbedaan nasib yang mencolok.

Sedekade lalu, The Red Devils tak henti-henti menertawakan The Reds yang semenjana. Namun dua musim pamungkas, giliran Liverpool yang membungkam mulut besar United.

Musim ini, roda nasib sepertinya berputar laju lagi. Liverpool, sekali lagi jadi pihak yang mesti menanggung malu. Ada apa denganmu, The Reds?

Bahkan dukun Merseyside saja tak sudi mengencingi rerumputan hijau di Anfield lagi, begitu guyonan yang terjadi setelah Liverpool terkapar melawan Fulham di kandang sendiri dengan skor 0-1 via gol Mario Lemina pada pengujung babak pertama.

Antagonis di kubu Anfield bukan hanya Lemina dan The Cottagers saja. Berdiri pula Burnley, Brighton & Hove Albion, City, Everton, dan Chelsea di sana dalam kurun dua bulan terakhir.

Saya tidak sedang melakukan presensi kehadiran layaknya dosen kepada mahasiswa atau guru kepada muridnya.

Saya, dengan perasaan berat hati memang harus menyebut nama-nama kesebelasan yang selama enam partai kandang pamungkas di Premier League, sanggup mempermalukan Liverpool.

Bagi Liverpool dan fansnya, enam kekalahan beruntun di Anfield adalah petaka. Terakhir kali mereka mengalaminya adalah musim 1953/1954. Waktu di mana saya dan mungkin mayoritas pembaca belum ada dalam ‘rencana dan usaha’ ayah-bunda.

Saat itu, The Reds terjerembab di posisi terbawah klasemen dan akhirnya menghadiahi diri dengan relegasi ke kasta kedua.

Rentetan kekalahan di Anfield bikin pendukung Liverpool gundah gulana. Makan tak enak, tidur tak nyenyak.

BACA JUGA:  Blessing in Disguise: Berkah dari Bencana Luke Shaw

Syukur-syukur oksigen masih dapat dihirup walau senantiasa diliputi ketakutan terperosok ke papan tengah klasemen guna menemani Arsenal.

Liverpool asuhan Jurgen Klopp musim ini tak ubahnya seekor keledai yang berjalan pincang dengan membawa beban berat di punggungnya.

Salah satu beban utamanya dan amat mempengaruhi stabilitas tim adalah badai cedera yang tak kunjung usai.

Dilansir dari Sky Sports, sebelum laga kontra Fulham, Liverpool dipaksa merumput selama 1029 tanpa kehadiran pemain utama mereka yang absen akibat cedera atau justru terjangkit virus Covid-19.

Meski demikian, hal itu tak boleh dijadikan alasan oleh The Reds. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa kemerosotan ini akibat kesalahan Klopp sendiri dalam meramu strategi.

Di tengah keterbatasan amunisi, pria asal Jerman itu masih ngotot memeragakan permainan yang mengandalkan garis pertahanan tinggi yang andai sukses dieliminasi lawan, akan sangat berbahaya untuk Liverpool sendiri.

Kesuksesan Liverpool dua tahun ke belakang dalam memainkan skema ini disinyalir karena mereka punya Joe Gomez dan Virgil van Dijk yang lihai melindungi area pertahanan. Selain itu, Klopp juga memiliki pelapis dalam wujud Fabinho, Dejan Lovren, dan Joel Matip.

Ketika hantaman cedera terjadi, Klopp sebetulnya sudah melakukan banyak eksperimen guna menutup lubang yang menganga.

Namun seiring waktu, hal itu bisa dibaca dan dieksploitasi lawan. Tajamnya sektor depan tak diimbangi dengan kokohnya lini pertahanan.

Klopp tak sendirian jadi kambing hitam. Ada Fenway Sports Group (FSG) yang dinilai pelit lantaran enggan menginvestasikan dananya buat memperkokoh armada tempur.

Konsorsium yang memiliki klub itu justru santai saja melego pemain tanpa mencari penggantinya. Contoh paling riil adalah dilepasnya Lovren tanpa merekrut pengganti.

Saat-saat menyenangkan mendukung Liverpool bak rollercoaster yang perlahan berubah menjadi saat-saat paling kelam. Memang mereka telah melalui fase Balotelli-Borini-Lambert dan menyepuhnya jadi Firmino-Mane-Salah.

Dua musim ke belakang, pendukung Liverpool tentu akan mencium mesra dengan lamat-lamat tim kesayangan mereka. Namun musim ini, berbagai umpatan juga dilontarkan dengan begitu fasih.

Dinginnya kota Liverpool tak serta-merta bikin hati para pendukungnya itu kebal akan rasa sakit, dan beku walau disakiti. Pada momen tertentu, ia bisa saja mati di atas peti bernama harapan yang menyingsing di Anfield.

BACA JUGA:  Arsenal dan Narasi Tentang Krisis Identitas

Kesialan dalam hidup memang perkara menunggu giliran saja. Kadang Arsenal, Chelsea, City, atau United. Namun seringnya, ya, menimpa Liverpool.

Entah terbiasa atau sudah tidak punya urat malu, suporter The Reds menghadapi pekan ini dengan ala kadarnya sembari berpura-pura bahagia.

Ada yang mengatakan, “Ah, sudah terbiasa patah hati.”

Ada pula yang mengumpat penuh tanpa henti lantaran kesal bukan main. Hari-hari mereka akan tetap berjalan seperti biasa dengan rutinitas yang mungkin itu-itu saja.

Akan tetapi, di tengah-tengah pergumulan dengan rasa sebal, mereka coba mendengarkan The Beatles untuk mendapatkan serotonin.

Ada yang membaca buku Fyodor Dostoyevsky dalam tajuk Orang-orang Malang. Tujuannya satu, melupakan kekalahan beruntun di Anfield yang begitu menjengkelkan.

Bohong jika pendukung Liverpool tak menganggap Anfield sebagai pusat peradaban dan keyakinan bagi hati mereka. Atau sederhananya, Anfield adalah rumah yang belum pernah mereka singgahi.

Kala ada tamu yang sesuka hati menginjak-injak halaman rumput hijau yang selama ini kita rawat, tentu melonjak-lonjak perasaan murka nan luar biasa, bukan?

Anfield adalah anugerah bagi mereka yang merayakan kemegahannya. 68 laga tak terkalahkan sejak 2017 dengan rincian 55 kemenangan dan 13 hasil imbang menjadi bukti hebatnya Liverpool di bawah asuhan Klopp.

Anfield selalu dianggap sebagai istana mewah yang alasnya keropos dimakan problematika. Klopp bak salah total meletakkan bidak caturnya di papan pressing kolektif luhur bernama Gegenpressing.

Anfield menyimpan senjata berupa manusia. Bukan kuda, bukan mesin. Manusia yang selalu punya batasan.

Manusia yang mempunyai titik celah dan kebetulan saja para pemberontak yang masuk ke halaman megah Anfield, tahu bagaimana caranya menang dengan hormat. Sedang Liverpool bersalin rupa layaknya keledai yang lupa arah jalan pulang.

Kini, segalanya bergantung kepada The Reds sendiri. Apakah mereka mau terus-menerus seperti ini? Atau ingin mengubah sesuatu agar kemenangan di Anfield tak lagi musykil didapat.

Mungkin, tak ada Anfield hari ini. Namun besok dan seterusnya, ia bakal kembali. Kembali sebagai rumah yang menyenangkan bagi Liverpool.

Komentar
Penggemar sepakbola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepakbola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa