Apa Kabar, Di Matteo?

Hai, Di Matteo,

Bagaimana kabarmu ? Semoga baik-baik saja bersama keluarga di tengah pandemi Corona ini. Mungkin banyak yang lupa padamu karena sedang cemas dengan suasana yang tidak kondusif, bahkan membuat kompetisi sepakbola di penjuru dunia harus dihentikan.

Mungkin juga para penggila sepakbola, terutama fans Chelsea sedang menikmati bulan periode kepelatihan Frank Lampard, salah satu bekas anak didikmu, yang menonjolkan para pemain muda. Walau demikian, suporter The Blues pasti memahami bahwa jasa-jasamu untuk klub asal London Barat itu sangatlah besar. Baik sebagai pemain maupun dengan status pelatih.

Di Matteo,

Khusus untuk jabatan pelatih, namamu sulit sekali dilepaskan dari sejarah yang berhasil diukir Chelsea. Semuanya bermula di musim 2011/2012. Kala itu, dirimu duduk sebagai asisten dari sang kepala pelatih berusia muda asal Portugal yang sebelumnya sukses menorehkan tinta emas bersama FC Porto, Andre Villas-Boas.

Roman Abramovich sebagai pemilik klub, kembali menaruh ekspektasi besar kepada para pelatih The Blues. Villas-Boas dituntut mengantar Didier Drogba dan kawan-kawan mengangkat trofi Liga Champions, gelar yang selama ini amat diimpikan Abramovich.

Apa lacur, semuanya tak berjalan lancar. Berbagai hasil buruk yang didapat Drogba dan kawan-kawan bikin mereka kesulitan bersaing memperebutkan titel Liga Primer Inggris. Bahkan di ajang Piala Liga, Chelsea harus angkat koper lebih awal gara-gara takluk dari Liverpool pada babak perempatfinal.

Catatan tak memuaskan itu membuat hati Abramovich kecewa. Tanpa tedeng aling-aling, sang taipan asal Rusia akhirnya memberhentikan Villas-Boas pada Maret 2012. Namun sulitnya mencari sosok pelatih berkualitas guna menggantikan Villas-Boas memaksa manajemen buat menempatkanmu sebagai caretaker.

Kariermu sebagai caretaker tim sekelas Chelsea dimulai tanpa harapan muluk. Membawa Drogba beserta kolega tampil apik di sisa kompetisi Liga Primer Inggris merupakan satu-satunya keharusan. Pun dengan kiprah mereka di ajang Piala FA serta Liga Champions. Lakoni saja, hasil bukan lagi sorotan utama mengingat pergantian pelatih di tengah musim acap mendatangkan kesulitan tersendiri bagi sebuah klub.

Akan tetapi, sentuhanmu justru menjungkirbalikkan semua dugaan. Di Liga Primer Inggris, Chelsea hanya nangkring di peringkat enam klasemen akhir. Namun siapa sangka jika dirimu berhasil mengawinkan trofi Piala FA dan Liga Champions usai memenangkan sepasang final, masing-masing kontra Liverpool dan Bayern Muenchen.

Di Matteo,

Performa Chelsea besutanmu hingga menjejak final sungguh impresif. Tim-tim sekelas Leicester City dan Tottenham Hotspur mampu digunduli. The Foxes keok 2-5 di perempatfinal sedangkan The Lilywhites dicukur 5-1 pada babak semifinal.

Pertandingan final melawan The Reds menjadi klimaksnya. Walau kalah penguasaan bola dari tim asuhan Kenny Dalglish, dua gol yang dibukukan Ramires dan Drogba sudah cukup untuk menyudahi usaha sang lawan yang cuma menggelontorkan sebiji gol via Andy Carroll. Kegembiraan fans Chelsea pun pecah di Stadion Wembley, arena final. Dirimu sanggup mengantar The Blues mendaratkan Piala FA ketujuh sepanjang sejarah klub di Stadion Stamford Bridge.

BACA JUGA:  Satu Kaki Hazard yang Tertinggal

Di Matteo,

Kisah fantastismu belum selesai sampai di situ. Di ajang Liga Champions, binarmu justru semakin terang. Nasib Chelsea ada di ujung tanduk setelah tumbang 1-3 di tangan Napoli pada leg pertama fase 16 besar. Membalikkan keadaan bukan urusan sepele. Pasalnya, Drogba dan kolega mesti menang dengan selisih tiga gol atau lebih.

Magismu malah meletup di momen itu. Leg kedua yang dimainkan di kandang sendiri, sanggup dimaksimalkan. Drogba, John Terry, dan Lampard mencetak tiga gol buat Chelsea pada waktu normal. Sementara I Partenopei melakukannya via Gokhan Inler. Skor agregat pun sama kuat 4-4 sehingga memaksa wasit Felix Brych melanjutkan ke babak perpanjangan waktu.

Lewat persiapan yang lebih matang plus bantuan Dewi Fortuna, Chelsea sukses menambah pundi-pundi golnya melalui aksi Branislav Ivanovic di menit ke-105. Selepas gol itu, tak ada jala gawang yang bergetar. Secara dramatis, klub asuhanmu melangkah ke perempatfinal.

Benfica yang sudah menanti, mampu timmu kangkangi dengan kedudukan agregat 3-1 dan meloloskan diri ke semifinal. Jawara bertahan, Barcelona, adalah klub yang mesti Drogba dan kawan-kawan hempaskan demi selembar tiket final.

Di Matteo,

Barangkali tak banyak yang menduga jika dirimu bisa membuat penggemar Los Cules menangis. Unggul 1-0 di leg pertama babak semifinal, penampilan tak kalah elok juga timmu suguhkan di leg kedua. Secara dramatis, The Blues jadi kubu yang melaju ke final setelah bermain imbang 2-2. Agregat akhir pun menjadi 3-2 untuk keunggulan klub asuhanmu.

Jelang mentas di final versus Bayern, keadaan tak sepenuhnya memihak klub besutanmu. Kapten tim, Terry, mesti absen gara-gara akumulasi kartu. Minus Terry, Gary Cahill dan David Luiz yang dirimu mainkan sebagai duo bek tengah buat mematikan pergerakan Mario Gomez maupun Thomas Mueller.

Sayangnya, The Blues kecolongan oleh aksi Mueller di menit ke-83. Pemain berperawakan ceking itu mampu membawa Bayern unggul 1-0 lewat gol yang ia ciptakan. Ada dalam posisi kritis karena waktu tak tersisa banyak, anak asuhmu mampu menyamakan skor di menit-menit akhir laga via sundulan Drogba.

Laga berlanjut ke babak perpanjangan waktu, tapi tak ada gol yang tercipta. Adu penalti jadi satu-satunya cara buat mencari pemenang laga. Di momen ini, Chelsea lebih baik ketimbang Bayern. Empat dari lima algojo pilihanmu sukses menjalankan tugasnya. Sementara dari lima eksekutor Die Bayern, hanya tiga yang mampu menunaikan kewajibannya. Tim asuhanmu pun jadi pihak yang tertawa paling akhir di Stadion Allianz, venue partai puncak yang sebetulnya juga kandang dari Bayern.

Di Matteo,

BACA JUGA:  Satu Jiwa Persis, Tonggak Awal Anthem Klub Indonesia

Di tengah puja-puji yang menghampiri, ada banyak kritikan yang menerpa. Tidak lain tentang permainan sepakbola Chelsea yang defensif hingga dilabeli dengan julukan ‘parkir bus’. Bagaimana mungkin tim dengan materi pemain kelas dunia yang dimiliki Chelsea bisa bermain dengan gaya yang dianggap membosankan itu. Namun peduli setan, atas prestasimu, Abramovich menghadiahi status kepala pelatih permanen dengan kontrak selama dua tahun.

Tetapi nasibmu berubah di musim selanjutnya. Performa Chelsea mengalami penurun walau kedatangan Cesar Azpilicueta, Eden Hazard, dan Oscar. Sepertinya, kepergian Jose Bosingwa, Drogba, dan Salomon Kalou memberi dampak yang cukup buruk. Selain tentu pilihan taktikmu yang kurang jitu.

Di Liga Primer Inggris, Chelsea memang sanggup menghuni tiga besar hingga pertengahan November. Namun rapormu di fase penyisihan grup Liga Champions merah. Kekalahan dari Juventus di matchday kelima bikin perjalananmu sebagai kepala pelatih The Blues berakhir. Apalagi sebelumnya timmu juga ambyar di Community Shield serta Piala Super Eropa gara-gara keok dari Manchester City dan Atletico Madrid.

Di Matteo,

Usai dari Chelsea, karier kepelatihanmu berlanjut ke Schalke 04 di Jerman. Dirimu didapuk sebagai pengganti Jens Keller saat Die Koenigsblauen terseok-seok. Meski tak kelewat spektakuler, kinerjamu cukup oke dengan membawa Schalke finis di peringkat enam klasemen akhir Bundesliga musim 2014/2015 sekaligus mengunci satu jatah ke Liga Europa.

Bersamaan dengan itu, nama-nama seperti Julian Draxler, Leon Goretzka, dan Max Meyer tampak semakin mengilap di bawah asuhanmu. Namun ironis, adanya perbedaan visi dengan manajemen bikin dirimu memutuskan buat mengundurkan diri sebagai pelatih. Stadion Veltins Arena pun resmi dirimu tinggalkan pada Mei 2015.

Di Matteo,

Setelah petualangan di Schalke, jabatan sebagai pelatih baru dirimu dapatkan lagi pada musim 2016/2017. Adalah klub Inggris yang bermain di divisi Championship, Aston Villa, yang memberimu kepercayaan. Apes, nasib The Villans di tanganmu justru memburuk. Alih-alih bersaing guna kembali ke Liga Primer Inggris, mereka malah jarang menang dan tertahan di papan bawah hingga bulan September 2016.

Kekalahan dari Preston North End pada 1 Oktober 2016 jadi kulminasi perjalananmu di Stadion Villa Park. Manajemen memilih untuk memecatmu dari kursi pelatih. Dirimu dianggap bukan sosok yang tepat guna menjalankan ambisi klub buat naik kasta kendati sudah menggelontorkan uang senilai 50 juta Paun sepanjang bursa transfer musim panas.

Di Matteo,

Kini di tahun 2020, belum ada kabar dirimu kembali melatih. Apakah kapasitasmu sebagai pelatih kurang apik di mata manajemen klub sepakbola? Sebab namamu seolah makin tenggelam di tengah derasnya arus pergantian pelatih yang acap muncul dari sejumlah kompetisi elite. Apakah pencapaian bersama Chelsea dahulu hanyalah kebetulan belaka?

Semoga masa depan menjadi lebih baik bagimu Di Matteo. Ciao.

Komentar
Seorang desainer grafis asal Yogyakarta yang menggemari sepakbola, buku, dan berkhayal. Suka berimajinasi dan menuangkannya melalui karya visual maupun karya tulis. Bisa dihubungi melalui Twitter di akun @pradipta_ale dan Instagram di akun @pradiptale untuk melihat karyanya.