Di kawasan Amerika Latin, Cile merupakan salah satu negara hebat di kancah sepakbola. Buktinya tersaji dengan raihan dua Copa America, masing-masing pada tahun 2015 dan 2016, serta sekali finis di peringkat ketiga Piala Dunia 1962.
Seperti tetangganya macam Argentina dan Brasil, Cile juga getol mengorbitkan banyak pemain bintang, dimulai sejak era Raul Toro hingga kini dimotori Alexis Sanchez dan kolega.
Bergeser ke ranah klub sepakbola profesional, Cile meroketkan nama-nama seperti Audax Italiano, Cobreloa, Colo-Colo, Palestino, Universidad de Chile, sampai Universidad Catolica. Dari kesemuanya, kesebelasan yang disebut keempat memiliki keunikannya tersendiri.
Dari namanya saja, kita bisa menerka-nerka bahwa ada kemiripan dengan nama sebuah negara di kawasan Timur Tengah yang begitu lekat dengan peperangan, Palestina. Usut punya usut, Palestino memang didirikan oleh para imigran Palestina pada tahun 1920 silam.
Berdasarkan data yang ada, orang-orang Palestina memulai imigrasinya ke Cile sejak tahun 1850-an saat terjadi Perang Crimea. Tatkala Perang Dunia I dan Perang Dunia II meletus, eksodus itu berlanjut.
Kabarnya, imigran dan keturunan Palestina yang ada di Cile saat ini merupakan yang terbesar di dunia (di luar rakyat Palestina yang bermigrasi ke negara-negara Arab) dengan jumlah mencapai 500 ribu orang.
Berawal dari sebuah kesebelasan amatir, Palestino yang bermarkas di ibu kota Cile, Santiago, lantas berkembang jadi kesebelasan profesional per 1952 usai mereka dimasukkan federasi sepakbola Cile (FFCh) ke divisi dua liga sepakbola profesional di Negeri Pegunungan Andes yang baru dibentuk.
Kiprah tim dengan warna kebesaran merah, hijau, dan hitam (mengacu pada bendera Palestina) ini rupanya cukup apik. Mereka sukses promosi ke divisi satu dalam waktu singkat dan merengkuh gelar juara liga di tahun 1955. Pada era tersebut, Palestino bahkan diberi julukan Millonario yang secara harfiah berarti jutawan sebab mampu mendatangkan pemain-pemain kelas wahid.
Jika membicarakan tentang periode terbaik klub, era 1970-an tentu pantas dilambungkan. Pasalnya, pada momen inilah Arabes, julukan Palestino, sukses menggenggam satu trofi liga dan sepasang Copa Cile. Akibatnya, eksistensi Palestino semakin diperhitungkan di kancah sepakbola Cile.
Usai lama mengalami paceklik gelar, lemari trofi Palestino kembali terisi pada 2018 kemarin saat memenangkan Copa Cile. Di sepasang laga final, kandang dan tandang, Luis Jimenez (eks Fiorentina dan Internazionale Milano) dan kawan-kawan selalu unggul dari lawannya, Audax.
Bicara tentang relasi Palestino dan Palestina sendiri, rasanya sulit untuk tidak menyebut motto dari kesebelasan ini yaitu Mas Que un Equipo, Todo un Pueblo. Kalimat itu kurang lebih berarti, ‘Bukan sekadar satu tim, melainkan seluruh rakyat’.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, bahkan pernah berujar kalau Palestino adalah representasi rakyat Palestina di Cile. Arabes laksana tim nasional kedua bagi orang-orang Palestina. Lebih jauh, hal ini membuat hubungan Cile dan Palestina cenderung harmonis meskipun penggawa klub bukan imigran atau orang-orang keturunan Negeri Al Quds.
Kedekatan itu pula yang membuat Palestino sempat memajang peta Palestina sebagai font nomor punggung. Peta itu sendiri dianggap sebagai pengganti angka satu. Sayangnya, langkah ini ditentang FFCh yang kemudian mendenda Palestino sebesar 1300 dolar AS.
Bagi penggemar sepakbola Indonesia, khususnya fans PSIS, rasanya nama Palestino tak terlalu asing sebab salah seorang penggawanya, Jonathan Cantillana, merupakan eks pemain Arabes dan andalan tim nasional Palestina.
Universalitas sepakbola membuatnya tak mengenal agama, ras, maupun etnis dari insan manusia. Siapa saja boleh memainkan atau menyaksikan pertandingan sepakbola. Hal ini juga yang mendorong sejumlah pihak menjadikan sepakbola sebagai alat untuk menyatukan dunia. Eksistensi Palestino yang tahun ini merayakan hari jadinya yang ke-100 adalah gambaran sejati dari hal tersebut.
#VamosPalestino #SubuteAlCamello.