Atribusi Sosial dan Hubungannya dengan Sepakbola Indonesia

Atribusi sosial adalah salah satu teori yang ada dalam disiplin ilmu psikologi. Dalam teori atribusi sosial, kita diajari tentang proses-proses untuk memahami penyebab-penyebab perilaku orang lain maupun perilaku kita sendiri. Dari hal tersebut, kemudian kita bisa mengerti tentang trait-trait menetap dan disposisinya.

Jika melihat keterangan yang dituliskan oleh Baron & Byrne (2003), atribusi adalah proses-proses untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku orang lain dan untuk kemudian mengerti tentang trait-trait menetap dan disposisi mereka.

Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa untuk memahami atau mengidentifikasi mengapa seseorang berbuat sesuatu, wajib kita pahami trait-trait atau disposisinya terlebih dahulu. Dengan kata lain, kita dilarang sembrono atau asal-asalan agar kita tidak salah menyimpulkan alasan mengapa seseorang berbuat demikian.

Meski terdengar remeh, tetapi hal ini tidak boleh diremehkan begitu saja sehingga berakibat pada sikap kita yang meremehkan orang lain atau bahkan memandang orang lain sebelah mata atas dasar suatu perbuatan saja. Karena sejatinya manusia diciptakan di dunia ini dalam bentuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tidak lain adalah untuk saling mengenal dan membantu satu sama lain.

Lantas, apa hubungan dari teori atribusi dengan kondisi pesepakbolaan kita saat ini? Bukankah permasalahan dalam sepakbola itu hanya berkutat pada cara menendang, menggiring bola, dan sejenisnya? Buat apa juga kita melihat permasalahan sepakbola nasional dengan teori yang berasal dari disiplin ilmu psikologi?

Sebelumnya, izinkan saya sebagai penulis untuk memulai penjelasan dari istilah football family terlebih dahulu. Dalam sepakbola industri seperti sekarang ini, terdapat banyak sekali unsur yang terlibat di dalamnya agar suatu pertandingan maupun kompetisi bisa berjalan dengan baik dan lancar. Setiap unsur tersebut mempunyai peran masing-masing yang kesemuanya sangat penting dan tidak bisa dipandang sebelah mata.

Apabila salah satu dari beberapa unsur tersebut tidak berjalan maksimal, maka suatu pertandingan ataupun kompetisi tidak akan berjalan dengan baik. Unsur-unsur tersebut di antaranya adalah pemerintah yang diwakili Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), federasi (PSSI), aparat keamanan (Kepolisian), sponsor, pemegang hak siar, suporter, dan lain sebagainya.

BACA JUGA:  Transfer Ilmu Tak Harus dengan Naturalisasi

Football family hanyalah gambaran dari pemerhati sepakbola mengenai industri sepakbola modern. Tujuannya adalah mempermudah kita dalam memahami unsur-unsur yang menentukan maju dan mundurnya industri sepakbola modern.

Bila memperhatikan segudang masalah di persepakbolaan Indonesia saat ini, terdapat beberapa faktor yang membuat hal itu dapat terjadi. Salah satu yang paling pokok adalah ketiadaan sinergi antara unsur yang ada di dalam football family tersebut.

Kita ambil contoh dari unsur federasi, suporter, dan sponsor. Federasi sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam sepakbola harus bersikap transparan, adil dan tidak anti terhadap kritik sehingga suporter sebagai pasar utama sepakbola merasa dihargai dan tentunya juga terpuaskan dengan sikap federasi.

Hal tersebut juga berpotensi mendatangkan dampak positif terhadap pemasukan dari pihak sponsor dan pemegang hak siar sebagai penyokong dana utama dalam industri sepakbola modern.

Sialnya, yang kerap terjadi sekarang adalah pihak federasi selalu menyalahkan faktor eksternal seperti suporter maupun kepolisian jika ada preseden yang mengganggu derak kompetisi. Padahal, kesalahan muncul sepenuhnya akibat tindakan PSSI.

Dalam atribusi sosial, sering dijelaskan mengenai kesalahan yang sering terjadi dalam mengatribusi yaitu efek faktor pengamat. Kecenderungan untuk mengatribusi kegagalan kita terhadap faktor eksternal daripada faktor internal (Baron & Byrne, 2003).

Ironis, situasi serupa juga terjadi di kalangan suporter. Unsur yang satu ini cenderung menyalahkan faktor eksternal, utamanya federasi, sebagai penyebab amburadulnya sepakbola nasional.

Padahal dalam banyak kasus, suporter juga ikut menciptakan keruwetan dalam sepakbola nasional dengan polah anarkisnya yang memicu kerusuhan. Kalahnya tim kesayangan atau saling ejek dengan rival kerap jadi pemantik masalah. Perilaku buruk suporter, nyatanya juga menjadi penyebab jebloknya persepakbolaan Indonesia.

Penilaian dari suporter mengenai federasi sebagai faktor utama penyebab mundurnya sepakbola nasional juga termasuk salah satu dari kesalahan dalam mengatribusi yang disebut dengan bias mengutamakan diri sendiri. Menurut Baron & Byrne (2013), bias mengutamakan diri sendiri adalah kecenderungan untuk mengatribusi kesuksesan kita pada faktor internal, tapi mengatribusi kegagalan pada faktor eksternal.

Tak ada salahnya memang untuk memberikan saran maupun penilaian terhadap pihak lain yang dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya. Namun yang terjadi di sepakbola kita saat ini berujung pada sebuah pertanyaan.

BACA JUGA:  Semua Sayang Christian Eriksen

Apakah pihak-pihak ataupun unsur-unsur football family yang sering kita kritik akibat kemerosotan prestasi sepakbola nasional juga mau membuka telinga mereka untuk mendengarkan kritikan dari pihak yang melontarkan kritik?

Sebaliknya, keadaan yang lazim kita lihat saat ini adalah unsur-unsur dari football family tersebut getol untuk mengkritik pihak lain yang dianggap gagal. Lucunya, mereka yang mengkritik malah enggan untuk mendengarkan atau bahkan merespon pihak lain yang memberi kritik.

Sudah berapa judul diskusi atau seminar yang telah diterbitkan untuk membenahi sepakbola kita? Sudah berapa kali aksi turun ke jalan dilakukan demi mewujudkan sepakbola nasional yang bersih dan kompeten? Lalu, apakah hasilnya sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia?

Setelah sekian ratus saran dan masukan dicetuskan demi kemajuan sepakbola nasional tapi hasilnya nol besar, tak ada salahnya untuk menerapkan teori atribusi sosial di setiap unsur football family dalam sepakbola kita.

Pertama, tentu kita harus memulainya dari diri sendiri sebagai penikmat sepakbola. Jika kita sebagai penikmat sepakbola mampu untuk menerapkan teori atribusi dalam peranan kita sebagai football family, pasti harapan untuk melihat sepakbola nasional yang lebih maju dan kompeten akan meningkat.

Harapan tersebut harus tetap terjaga. Dan kita sebagai pasar utama dari sepakbola harus memulainya terlebih dahulu, salah satunya dengan menerapkan teori atribusi sosial ini. Jika bukan kita yang memulai, lalu siapa lagi? Jika bukan kita yang menjaga harapan itu, lantas siapa?

Sepakbola kita sudah sangat lama tertidur. Entah kapan terakhir kali kita mengangkat piala. Entah kapan terakhir kali klub tanah air mampu bersaing di kancah Asia.

Aneh rasanya jika melihat Sumber Daya Manusia (SDM) kita yang menurut sensus terakhir mencapai lebih dari 250 juta jiwa, tapi begitu kesulitan untuk menelurkan pesepakbola berbakat yang kemudian sanggup mendatangkan prestasi. Persis seperti sulitnya menemukan orang-orang cerdas yang kompeten dalam mengelola sepakbola.

 

Komentar
Prihatin dengan kondisi sepakbola Indonesia yang begitu-begitu saja. Silakan ngobrol dengan saya via akun Twitter @olanoize