Parma Memburu Kesempatan Sintas

Ada harapan membuncah kala Krause Group mengakuisisi saham mayoritas Parma Calcio jelang awal musim 2020/2021. Harapan itu adalah kembali melihat I Gialloblu berkembang jadi kesebelasan tangguh dan nantinya dapat menghidupkan lagi Il Sette Magnifico di kancah Serie A.

Sebuah harapan yang terbilang masuk akal. Pada masa jayanya di era 1990-an hingga awal 2000-an, pemilik Parma saat itu, keluarga Tanzi yang juga mempunyai perusaahan makanan, Parmalat, tak tanggung-tanggung dalam berinvestasi.

Deretan pelatih apik dan pemain berkualitas senantiasa ada di tubuh klub yang bermarkas di Stadion Ennio Tardini tersebut. Hasil investasi Tanzi medio 1991-2004 berbuah cukup banyak gelar prestisius. Sebut saja 3 trofi Piala Italia, 2 gelar Piala UEFA/Liga Europa, serta masing-masing 1 titel Piala Super Italia, Piala Winners, dan Piala Super Eropa.

Pada masa jayanya, didukung finansial kuat, Parma mampu mendatangkan pemain-pemain hebat seperti Faustino Asprilla, Hernan Crespo, Hidetoshi Nakata, Lilian Thuram, dan Juan Sebastian Veron. Sementara akademi mereka sukses menelurkan Simone Barone dan Gianluigi Buffon.

Kisah kejayaan masa lalu itulah yang diharapkan banyak pendukung I Gialloblu bakal terulang pada periode kepemimpinan sang pemilik baru, Kyle J. Krause. Bagaimana tidak, Krause yang dikenal gila bola bergerak cepat di lantai bursa transfer pemain.

Dilansir dari Transfermarkt, pada bursa transfer musim panas lalu Parma merogoh kocek hingga 80,91 juta Euro untuk belanja pemain di berbagai posisi. Baik lewat skema pembelian, peminjaman, maupun penebusan beberapa pemain yang sudah dipinjam sejak musim lalu. Sebuah langkah yang amat meyakinkan.

Sayangnya, ada keputusan Krause yang dirasa mengejutkan dan tak logis. Apalagi kalau bukan memecat Roberto D’Aversa dari bangku pelatih dan menggantikannya dengan Fabio Liverani. Dari kedua pelatih tersebut, banyak pengamat yang merasa jika nama pertama masih lebih kredibel dibanding sosok yang disebut belakangan.

BACA JUGA:  Menjadi yang Terbaik ala Carlo Pinsoglio

Realitanya pun demikian. Di bawah besutan Liverani, Parma terseok-seok. Dalam kurun 16 giornata, mereka cuma menang dua kali, enam kali seri dan delapan kali kalah. Bahkan dalam kurun Desember 2020 dan Januari 2021, Juraj Kucka dan kawan-kawan menderita empat kekalahan beruntun.

Bersama Liverani, I Gialloblu cuma mampu menghasilkan 13 gol. Alhasil, mereka terjerembab di zona degradasi. Menyadari bahwa tim butuh perbaikan, manajemen akhirnya memecat bekas allenatore Genoa dan Lecce itu pada 7 Januari 2021.

Lucunya, sosok pengganti yang diharapkan bisa membangkitkan Parma dari keterpurukan adalah pelatih yang manajemen lengserkan pada awal musim, D’Aversa.

Dengan harapan tersebut, D’Aversa juga didukung dengan pembelian pemain baru pada bursa transfer musim dingin. Meski demikian, manajemen tak menggelontorkan dana semasif pada musim panas. Total, mereka mendatangkan lima nama saja, baik dibeli permanen atau dipinjam dari klub lain.

Bak mobil rusak, usaha D’Aversa untuk mereparasi Parma tak semudah perkiraan. Dari 9 giornata yang dilakoninya, Kucka dan kawan-kawan tak pernah mencicipi poin sempurna. Mereka imbang di tiga laga dan sisanya keok.

Menuding D’Aversa sebagai figur tak cakap mungkin sangat mudah. Namun kenyataan bahwa D’Aversa datang guna memperbaiki kekacauan yang dibuat Liverani bukanlah persoalan sepele. Hal inilah yang mesti disadari oleh Parmagiani, suporter mereka.

Meski begitu, ada yang menganggap bahwa Parma di bawah arahan D’Aversa telah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Terutama dari cara mereka beraksi di atas lapangan. Salah satu figur yang memuji mereka adalah pelatih Inter Milan, Antonio Conte.

“Parma adalah tim yang hebat, Saya mendoakan yang terbaik untuk Parma sebab mereka tidak pantas berada di posisinya sekarang”, ujar Conte seusai laga Parma versus Inter (5/3) seperti dilansir Football Italia.

BACA JUGA:  Analisis Performa Juventus Paruh Pertama Musim 2015/2016

Pujian Conte bukan omong kosong akibat rasa ibanya kepada I Gialloblu yang sedang kesakitan. Nyatanya, performa Parma memang membaik di beberapa laga terakhir. Tujuh gol berhasil diproduksi selama ditukangi D’Aversa sejak Januari kemarin. Dalam empat partai pamungkasnya, Kucka dan kolega tak absen mencetak gol.

Walaupun D’Aversa belum memberikan kemenangan, tetapi manajemen Parma memilih mempertahankannya. Mungkin mereka sadar bahwa ada proses yang perlu diperjuangkan dengan sabar.

Mulai tajamnya barisan penyerang Parma juga jadi sinyal bagus. Pasalnya, untuk melepaskan diri dari zona degradasi, mereka harus tahu cara mencetak gol guna meraup kemenangan.

Sebagai pemilik, Krause perlu memahami kebutuhan tim. Parma tak boleh mendadak berperan sebagai tim kaya baru yang hedon. Krause tak bisa mengembalikan kejayaan I Gialloblu sebagai tim yang disegani di Serie A. Bukan lagi kesebelasan yang piawai melego pemain terbaiknya.

Serie A 2020/2021 masih menyisakan 13 giornata. Artinya, ada banyak poin yang tersedia dan bisa direngkuh. Dengan semakin bagusnya para pemain di bawah asuhan D’Aversa, harapan Parmagiani agar tim kesayangannya sintas di Serie A masih terbuka.

Komentar
Seorang mahasiswa, blogger, dan penggemar AC Milan yang suka menonton bola di layar kaca dan diskusi bola sambil makan martabak manis. Bisa disapa di akun twitter @cupliswala.