Saya kira, kita semua sepakat bahwa dunia sepakbola Indonesia harus diperbaiki. Tim nasional (senior) yang miskin prestasi tentu menjadi alasan yang paling rasional dan valid sebagai dasar argumentasi mengapa harus dilakukan reformasi.
Di saat Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam sudah merasakan nikmatnya jadi raja Asia Tenggara dengan menyabet gelar Piala AFF, Indonesia masih sebatas bermimpi. Ironisnya, mimpi itu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Mimpi usang yang belum juga mampu diwujudkan.
Rasanya amat menyedihkan karena Indonesia memiliki keunggulan dan potensi baik secara teknis maupun non-teknis dibanding rival-rivalnya di kawasan Asia Tenggara. Secara teknis, bakat pesepakbola kita melimpah, membentang dari Papua hingga Aceh. Secara non-teknis, fanatisme masyarakat kita akan sepakbola begitu luar biasa. Di era sepakbola modern, fanatisme merupakan modal penting karena itu merupakan ceruk bisnis yang memiliki hubungan dengan aspek keberlangsungan hidup maupun dimensi progresivitas dari sepakbola itu sendiri.
Lantas, mengapa dengan potensi teknis dan non-teknis yang baik, sepakbola kita tidak kunjung maju dan berprestasi? Menurut saya, permasalahan dasarnya terletak pada aspek pengelolaan dan juga cara berpikir. Secara makro kita bicara tentang induk organisasi (PSSI) dan secara mikro kita bicara mengenai klub. Namun, dalam kesempatan ini, saya ingin membahas spesifik mengenai klub.
Krusialnya Peran Klub
Siapa yang sebenarnya memiliki peran krusial dalam rangka reformasi sepakbola kita? Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawabannya adalah klub. Mengapa? Karena mereka yang ikut berkompetisi dalam sepakbola nasional juga punya peran di ekosistem yang ada.
Pertama, klub punya peran struktural-organisatoris yakni peran re-organisasi atau perubahan dalam tubuh PSSI. Mereka memiliki hak suara untuk memilih dan menentukan siapa-siapa yang duduk sebagai pemegang kuasa di induk organisasi sepakbola kita (baik pengurus inti maupun komite eksekutif).
Selanjutnya, di tangan para pemegang kuasa inilah akan lahir visi dan kebijakan-kebijakan yang tepat bagi sepakbola kita. Oleh karena itu, maju tidaknya sepakbola kita sebenarnya sangat ditentukan dari pemilihan para aktor utama yang duduk di kepengurusan PSSI. Salah memilih orang, pasti mengakibatkan distorsi pengelolaan sepakbola kita secara makro yang kemudian memunculkan implikasi terhadap aspek mikro sepakbola Indonesia.
Pertanyaannya, apakah klub-klub selama ini sudah bijak menggunakan hak suara yang dimilikinya untuk mendorong adanya perubahan di tubuh PSSI dengan jalan memilih orang-orang yang memiliki kompetensi, integritas, dan ghiroh untuk memajukan persepakbolaan nasional? Atau malah sebaliknya, mereka selama ini hanya memilih orang-orang yang punya dukungan materi kuat dan menggunakan kuasanya di PSSI untuk kepentingan politik pribadinya?
Kedua, integritas dari kompetisi. Klub adalah subyek kompetisi yang sangat menentukan integritas dari kompetisi itu sendiri. Percayalah, adanya wasit-wasit yang berat sebelah, salah satunya diakibatkan oleh adanya klub-klub yang meminta, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada wasit tersebut untuk membantunya. Kesebelasan-kesebelasan seperti itu hanya berpikir pragmatis bagaimana harus menang tanpa mau belajar bagaimana caranya untuk menang dengan adil.
Logisnya, seorang wasit tidak mungkin berat sebelah jika tidak ada permintaan dari pihak yang memiliki kepentingan yakni tim yang berlaga Jadi, klub-klub hendaknya merestorasi diri (mengubah cara berpikir), membangun solidaritas, dan bersinergi untuk menciptakan atmosfer kompetisi yang adil.
Ketiga, pembinaan pemain. Klub memiliki peran kunci dalam rangka pembinaan pemain, baik pembinaan dalam konteks mempertahankan kemampuan pemain senior maupun dalam konteks mengembangkan para pemain muda atau kelompok umur. Oleh karena itu, semakin profesional dan visioner sebuah kesebelasan, maka akan semakin bagus bagi ekosistem sepakbola kita.
Tim-tim yang menjunjung tinggi prinsip profesionalisme akan memunculkan dampak yang positif, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek teknis maupun aspek non-teknis sepakbola. Sebaliknya, ekosistem sepakbola tidak akan berkembang, baik dari sisi prestasi maupun sisi bisnis jika klub tidak merestorasi diri dengan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme.
Selanjutnya, tim yang visioner adalah klub yang memiliki visi ke depan dan desain keberlanjutan yang baik, misalnya dengan memiliki akademi pemain di sejumlah kelompok umur. Dalam hal ini klub memiliki peran untuk mencari, mengembangkan, dan memproduksi pemain-pemain berkualitas sebagai program regenerasi dan optimalisasi potensi.
Keempat, adalah daya tawar. Klub sebagai subyek sepakbola maupun subyek kompetisi sebenarnya memiliki daya tawar yang baik dalam rangka mendukung kemajuan sepakbola. Mereka harus menggunakan daya tawarnya untuk mendorong bahkan mengintimidasi PSSI untuk hal-hal yang lebih bersifat konstruktif demi memajukan sepakbola Indonesia.
Contohnya, belakangan ini PSSI mengupayakan agar Liga 1 musim 2020 kembali bergulir. Padahal, pandemi Corona di Indonesia belum selesai. Bahkan jumlah kasus yang diketahui semakin tinggi dari waktu ke waktu. Di sisi lain, PSSI juga tampak kontraproduktif lantaran belum memberikan panduan teknis yang jelas dan detail kepada klub apabila kompetisi dilanjutkan.
Para kontestan di sini tentu dirugikan dan harusnya mereka menggunakan daya tawarnya untuk menekan PSSI supaya lebih responsif dan profesional. Saya rasa, selama ini klub-klub di Indonesia belum memaksimalkan daya tawarnya yang tinggi untuk mendorong perubahan dan memandu PSSI agar selalu ada di jalur yang benar.
Bila keempat peran itu dapat dijalankan klub-klub Indonesia dengan paripurna, maka perubahan yang diimpikan dari sepakbola kita akan terwujud. Semoga saja mereka segera menyadarinya.