Pada Senin, 26 Januari 1987, di kota Turin, lahirlah seorang bayi laki-laki buah cinta dari Giovanni dan Elvira Giovinco. Bayi itu kemudian diberi nama Sebastian Giovinco. Dapat dipastikan, tak ada satu orang pun di kota Turin, termasuk kedua orang tuanya, yang sadar bahwa di masa yang akan datang, Giovinco junior bakal menjadi pesepakbola hebat.
Meski tumbuh dan tinggal di comune Beinasco, sebelah barat daya kota Turin, keluarga Giovinco merupakan penggemar AC Milan. Namun sebagai anak kampung sini, bahkan rumahnya cuma terpaut 15 mil dari Stadion Allianz yang jadi kandang Juventus, bikin Giovinco kecil yang amat tertarik dengan si kulit bundar masuk ke akademi La Vecchia Signora per 1996 silam.
Keputusan mengirim Giovinco kecil belajar di akademi Juventus rupanya tepat sekali. Perkembangannya sangat signifikan dan digadang-gadang bisa menjadi bintang masa depan kesebelasan dengan seragam hitam-putih tersebut. Di musim 2005/2006, saat membela tim Primavera, nama Giovinco sangat harum karena sukses mengantar timnya jadi peraih tiga gelar di kompetisi junior yakni Campionato Nazionale Primavera, Coppa Italia Primavera, dan Supercoppa Primavera.
Belum cukup sampai di situ, Giovinco juga mengirim tim yang ia bela menjejak final Turnamen Viareggio. Sayangnya, Juventus kudu mengakui ketangguhan wakil Uruguay, Juventud. Namun performa ciamik Giovinco bikin dirinya dianugerahi gelar Pemain Terbaik.
Kilau Giovinco membuat pelatih tim utama Juventus di musim 2006/2007, Didier Deschamps, memberinya kesempatan debut di kancah profesional. Pada momen itu sendiri La Vecchia Signora tengah berlaga di Serie B usai tersandung kasus Calciopoli.
Walau mimpinya jadi pesepakbola profesional terwujud, tapi Giovinco tak mendapatkan menit bermain yang cukup untuk menunjang perkembangannya (hanya turun di tiga pertandingan Serie B 2006/2007). Alhasil, manajemen Juventus mengirimnya ke Empoli pada musim 2007/2008 dengan status pinjaman.
Momen sekolah di Stadion Carlo Castellani ternyata bikin sinar Giovinco makin mengilap sebagai pesepakbola potensial. Sepanjang musim, ia tampil prima dengan mencetak 6 gol dari 35 pertandingan. Satu-satunya kesialan yang dirasakan lelaki setinggi 160 sentimeter tersebut adalah gagal menyelamatkan Empoli dari jerat degradasi karena finis di peringkat 18.
Realita itu membawanya pulang ke Turin dan sekali lagi masuk ke dalam skuad La Vecchia Signora untuk gelaran musim 2008/2009. Ia sempat menciptakan gol perdananya buat Juventus saat bertanding melawan Lecce di Stadion Via Del Mare pada bulan Desember. Gol itu dilesakkannya via sepakan bebas pada menit ke-57. Namun apes, penampilan Giovinco bersama tim tergolong sporadis karena Claudio Ranieri, pelatih Juventus saat itu, gemar memainkan skema 4-4-2 dan sang pemain dinilai tak begitu cocok.
Musim-musim selanjutnya, nasib Giovinco di kota Turin tak jua berubah. Padahal Juventus sudah beberapa kali mengganti pelatih. Dari Ranieri ke Ciro Ferrara lalu Alberto Zaccheroni. Ini menjadi pertanda bahwa merumput di kampung halaman tak memberi keuntungan apapun bagi Giovinco.
Sang pemain lalu hijrah ke Parma dengan status pinjaman jelang bergulirnya musim 2010/2011 dan berlangsung sampai musim 2011/2012. Menariknya, ia sanggup menunjukkan kapasitasnya sebagai penggawa brilian selama merumput di Stadion Ennio Tardini. Bahkan, berkat performa cemerlangnya dengan kostum I Crociati juga, Giovinco mendapat kesempatan memperkuat tim nasional Italia.
Seiring dengan kepergian Alessandro Del Piero dan bergabungnya Antonio Conte sebagai allenatore anyar, Giovinco ditarik pulang ke kota Turin. Porsi main yang didapat Giovinco rupanya melonjak. Hal ini membuatnya gembira dan merasa bahwa perjalanan kariernya di Juventus akan membaik. Apa lagi tim sukses merengkuh Scudetto di pengujung musim.
Ironis, harapan tinggal harapan karena musim berikutnya, kesempatan bermain Giovinco merosot. Kedatangan Fernando Llorente dan Carlos Tevez disinyalir sebagai salah satu penyebab. Keadaan ini bikin pemilik julukan Semut Atom tersebut gerah. Pada Januari 2015, ia memutuskan hengkang dari kota Turin.
Pilihan yang dibuat Giovinco sebetulnya wajar karena ia juga ingin menyelamatkan kariernya. Namun keputusannya menerima pinangan klub Major League Soccer (MLS), Toronto FC, jadi sebuah perdebatan tersendiri mengingat usianya saat itu. Banyak pengamat yang meyakini bahwa Si Semut Atom adalah figur yang masih mampu bersaing di kesebelasan-kesebelasan papan atas Eropa.
Merantau ke Benua Amerika dan Asia
Meski diwarnai kebingungan, utamanya di benak publik, Giovinco menyatakan siap menjalani karier di benua Amerika. Terlepas dari kualitas kompetisi dan lain-lain, sang pemain berhasil membuktikan kepada semua orang jika pilihannya tepat.
Bersama Toronto FC, Giovinco melesat seperti roket. Ia menjadi andalan klub yang berasal dari Kanada tersebut dan berkontribusi maksimal atas sejumlah gelar yang didapatkan The Reds, julukan Toronto FC. Empat musim berlaga di sana, Giovinco membawa timnya memenangkan MLS Cup pertama sepanjang sejarah di tahun 2017 silam. Selain itu, Toronto FC juga merengkuh titel Supporter Shield pada tahun yang sama, menjuarai turnamen Canadian Championship sebanyak tiga kali serta mengecup Trilium Cup 2016 dan 2017.
Sinar Giovinco bisa saja semakin terang andai sukses mengantar klubnya jadi jawara Liga Champions CONCACAF 2018. Tampil eksepsional sejak fase awal, Toronto FC menjejak final dan berjumpa wakil Meksiko, Guadalajara. Sayang seribu sayang, dalam partai puncak yang digelar kandang dan tandang, Giovinco dan kawan-kawan kalah adu penalti 2-4 pasca-imbang di sepasang laga dan membuat agregat akhir 3-3.
Tak ayal, pencapaian gemilang itu membuat nama Toronto FC semakin diperhitungkan sebagai kesebelasan top. Baik di level domestik maupun regional. Sementara bagi pria bertubuh mungil itu sendiri, karier sepakbolanya yang sempat redup kembali menyala.
Bahkan secara individu, pemilik 23 penampilan dan 1 gol bareng Gli Azzurri itu menahbiskan dirinya sebagai legenda klub. Ia tercatat sebagai top skorer klub sepanjang masa dengan koleksi 83 gol sekaligus figur pertama dari Toronto FC yang menggamit Bola Emas Liga Champions CONCACAF 2018.
Saat keinginan bertahan di kota Toronto selalu ada di dada Giovinco, manajemen klub malah punya keputusan berbeda. Alih-alih menyodori sang pemain kontrak baru, mereka justru melegonya ke raksasa Arab Saudi, Al Hilal, pada Januari 2019 kemarin. Konon, biaya transfernya mencapai 3 juta Dolar AS.
Pindah ke Jazirah Arab tak mengebiri kemampuannya sebagai pesepakbola. Dalam tempo singkat, ia sanggup tampil elok bagi Al Hilal. Si Semut Atom bahkan punya andil atas keberhasilan The Blues Waves, julukan tim yang berdiri tahun 1957 tersebut, memboyong dua gelar sekaligus di musim 2019/2020 yakni Liga Profesional Arab Saudi dan Liga Champions AFC. Giovinco bahkan didapuk sebagai Man of The Match di final leg kedua ajang yang disebut belakangan.
Di kampung halaman, terutama Juventus, perjalanan karier Giovinco memang jauh dari kata paripurna. Namun lajunya di tanah rantau justru luar biasa. Wajar bila suporter Toronto FC akan selalu mencintainya. Pun dengan pendukung Al Hilal yang semakin percaya diri bahwa klub kesayangannya jadi semakin kokoh berkat presensi Giovinco.
Saya sendiri amat menyukai sosok Giovinco. Penyebabnya apa lagi kalau bukan game Pro Evolution Soccer (PES) 2013. Jika banyak orang melakukan tindakan amoral dengan mengeksploitasi sosok Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo di game tersebut, saya justru lebih suka mendayagunakan Giovinco.
Lewat kariernya, Si Semut Atom memberi pelajaran berharga sekaligus klasik kepada kita bahwa merantau ke negeri orang tak selalu mendatangkan mudharat. Seringkali, pilihan itu justru membuat kita jadi insan yang lebih baik dibanding sebelumnya.