Kala Fiorentina dan Batistuta Mencuri Hati Kita

Associazione Calcio (AC) Fiorentina kini mungkin dikenal bukan sebagai klub papan atas. Setidaknya mereka bukanlah title contender, jika dibandingkan dengan Juventus, Internazionale Milano, atau bahkan Lazio. Itu karena Fiorentina mengalami pasang surut dalam pengelolaan klub.

Bagi yang sudah mulai menyaksikan sepak bola pada akhir dekade 1990-an, klub dengan warna khas ungu ini tak bisa dipandang sebelah mata kiprahnya. Pernah pada suatu masa penampilan mereka begitu menghibur.

Saat itu, setiap kiprah La Viola tidak pernah bisa dipisahkan dari sosok penyerang tajam asal Argentina, Gabriel Omar Batistuta. Namanya harum di kalangan pencinta Serie A. Oleh suporter Fiorentina, dia dibuatkan patung perunggu.

Batigol merupakan komponen terpenting bagi klub yang bermarkas di Artemio Franchi sejak awal dekade 1990-an hingga awal milenium baru.

Semua bermula di Chile, negara tuan rumah Copa America 1991.

Vittorio Cecchi Gori, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden klub, terkesima dengan penampilan Batistuta. Wajar saja, penyerang berusia 22 tahun itu mencetak enam gol

Ia juga mengantarkan La Albiceleste sebagai peraih gelar juara. Tidak pikir panjang, pemain yang membina olah bolanya di Newell’s Old Boys itu dibawa serta ke Italia dan di musim perdananya langsung mencetak 13 gol.

 

Sayangnya kondisi klub musim berikutnya tidak stabil. Mario Cecchi Gori, sang presiden klub yang juga ayah Vittorio mangkat.

Mario disebut sebagai penyelamat Fiorentina kala membeli klub ini dari Flavio Pontello, yang dianggap tidak berambisi membawa prestasi bagi La Viola. Kala itu, pertengahan 1990, Pontello menjual Roberto Baggio, pemain terbaik sekaligus kesayangan suporter ke sang rival, Juventus.

Setelah Vittorio mengambil alih tampuk kepemimpinan dari ayahnya, dia berselisih dengan pelatih Luigi Radice setelah penampilan yang kurang memuaskan di awal musim 1992/1993.

Sang allenatore dipecat dan digantikan Aldo Agroppi. Namun, tak ada perkembangan yang berarti. Hanya mencetak 15 gol dari 21 pertandingan di tangan pelatih baru, La Viola degradasi setelah hanya mengumpulkan 30 poin dari 34 pertandingan.

Beruntung Vittorio mengambil keputusan penting. Dengan kekuatan uang yang sebagian besar didukung dari bisnis film dan medianya, Fiorentina bisa mengamankan mayoritas skuat Serie A mereka. Yang paling penting tentunya membentengi Batigol dari godaan untuk pindah ke klub yang lebih besar.

Claudio Ranieri ditunjuk sebagai pelatih. Pada masa itu, dia disebut sebagai juru taktik spesialis promosi. Prestasi terbaiknya membawa Cagliari dari Serie C1 hingga Serie A pada dekade 1980-an.

BACA JUGA:  Haters Gonna Hate, Madrid!

Fiorentina tak tertahankan untuk menjadi juara. Hanya kalah di 5 pertandingan dari total 38 pertandingan dengan mencetak 53 gol dan hanya kebobolan 19 kali. Mereka kembali ke Serie A.

Musim perdana kembalinya mereka ke Serie A, Batistuta menjelma menjadi striker paling berbahaya dengan catatan 26 gol sekaligus menahbiskannya sebagai top skor. Fiorentina finish di posisi ke-10. Cukup baik untuk klub promosi.

Musim 1995/1996, perpaduan bomber asal Argentina itu dengan Manuel Rui Costa dan Francesco Baiano mencatatkan lima belas pertandingan tanpa kalah. Mereka finish di urutan keempat dan menjuarai Coppa Italia.

Piala kedua lantas mereka peroleh setelah unggul 2-1 atas AC Milan dalam Supercoppa Italiana. mantan pemain Boca Juniors tersebut memborong dua gol di final. Pada gol pertamanya, ia mengelabui dua bek legendaris, Franco Baresi dan Paolo Maldini.

Tendangan bebas dari Batigol yang tak bisa dihalau Sebastiano Rossi memastikan kemenangan di San Siro. Sejarah mencatat, itu pertama kalinya pemenang Coppa Italia mengungguli juara liga.

Sebagai orang yang baru rutin menyaksikan pertandingan sepak bola dan melahap berita setiap pekan pasca-Piala Dunia 1998, musim terbaik Fiorentina yang membekas di ingatan tentulah musim 1998/1999.

Giovanni Trapattoni mengambil kendali mulai musim 1998/1999. Kedatangan Mr. Trap disinyalir merupakan akibat dari keinginan Batigol yang hendak pergi untuk merengkuh Scudetto.

Sebagai penyerang tajam tentu dirinya banyak ditawari oleh klub besar. Klub yang memiliki ambisi untuk juara tentu jadi tujuannya. Vittorio tahu itu dan meminta Batistuta untuk bertahan. Dia menjanjikan skuad yang lebih ambisius.

Oleh karena itu, Trappatoni dipanggil pulang ke Italia dari perantauannya di Jerman bersama Bayern Munich. Dengan dilatih oleh pelatih kawakan yang berpengalaman membangun tim juara, akhirnya penyerang kelahiran Santa Fe, Argentina itu bertahan.

Bersama dengan Rui Costa, kombinasi keduanya adalah perpaduan playmaker-striker paling ditakuti di Italia dalam beberapa musim terakhir. Dengan kehadiran Trappatoni, Fiorentina adalah penantang gelar juara.

Benar saja musim 1998/1999 Fiorentina tampil memikat sejak awal musim. Mereka bisa finish di urutan ketiga klasemen dan lolos ke Liga Champions. Jika Batistuta tak pernah absen, banyak yang beranggapan Fiorentina bisa jadi yang juara.

Batigol pun masuk nominasi pemain terbaik dunia. Dia berada di peringkat tiga FIFA World Player of The Year 1999. Sebagai penyerang, pamornya hanya kalah saing dari Ronaldo dari Brasil.

BACA JUGA:  Pembuktian Odion Ighalo di Old Trafford

Berbagai torehan gol, kerja keras di lapangan, penampilannya yang selalu ngotot, dan semua yang dia lakukan di dalam maupun luar lapangan, membuatnya sulit untuk tidak disukai. Rasanya semua orang tidak mungkin tidak menyukai Batigol.

Musim berikutnya, Fiorentina masih tampil apik. Mereka masih sempat menyita perhatian ketika mengalahkan Manchester United dua gol tanpa balas.

Lini belakang Setan Merah sepertinya gugup bermain di Artemio Franchi. Tekanan Batigol membuat Roy Keane salah memberi umpan hingga membuat dirinya bisa mencetak gol ke gawang Mark Bosnich.

Gol kedua pun bermula dari Henning Berg yang kehilangan bola ketika dipepet oleh penyerang bernomor punggung 9 itu. Dengan kecepatannya, dia menusuk ke kotak penalti lalu memberi umpan manis yang berhasil diselesaikan oleh Abel Balbo.

Musim itu, tiga musim berturut-turut dia mencetak lebih dari 20 gol dalam semusim di negeri yang saat itu diklaim memiliki liga terbaik dan mahsyur dengan gaya bertahan terbaik di dunia.

Sayangnya, momen itu juga menandai berakhirnya kerjasama mereka. Sang pelatih, Trapattoni harus hengkang setelah memperoleh tugas negara menukangi tim nasional.

Kemudian, demi merengkuh Scudetto, Batistuta juga hijrah ke AS Roma dan meraih apa yang dia impikan bersama skuad mentereng Fabio Capello.

Sepeninggal mereka, Fiorentina masih bisa menjuarai Coppa Italia 2001 bersama Roberto Mancini. Akan tetapi, masalah keuangan kemudian memaksa manajemen menjual Rui Costa dan Francesco Toldo.

 

Skandal keuangan dengan adanya indikasi korupsi dan pencucian uang yang melibatkan sang pemilik akhirnya membawa La Viola ke ambang kebangkrutan.

Fiorentina lalu lahir kembali di Serie C2 dengan nama baru Associazione Calcio Fiorentina e Florentia Viola, atau Florentia Viola dengan pemilik baru Diego Della Valle.

Tahun 2003, manajemen baru ini membeli hak nama dan bagde lama yang kemudian menjadi ACF Fiorentina hingga saat ini.

[Best_Wordpress_Gallery id=”36″ gal_title=”Fiorentina Legends”]

NB: Seluruh ilustrasi yang ada di artikel ini dikerjakan oleh para ilustrator yang tergabung dalam Indonesian Football Artist / IFA (idfootballartist). Fandom.id mendapat kesempatan untuk menayangkan karya-karya terbaik IFA. Daftar ilustrator yang terlibat untuk ilustrasi edisi #MengingatSejarah Fiorentina ini: Batistuta (@Mahardhikaisme), Rui Costa (gambareza), Toldo (ignatiusfjr14), Nuno Gomes (@Luqmanaziz_93), Di Livio (@_nizamsyahrul), Edmundo ( iyanart7), dan Mijatovic (@rz26p).

Komentar
Akrab dengan dunia penulisan, penelitian, serta kajian populer. Pribadi yang tertarik untuk belajar berbagai hal baru ini juga menikmati segala seluk beluk sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.