Masa Kelam Juventus di Panggung Domestik

Tak ada keraguan untuk menyebut bahwa Juventus adalah penguasa Italia. Buktinya tersaji dengan jumlah Scudetto terbanyak dari semua kesebelasan yang ada. Bisa dikatakan, I Bianconeri adalah klub paling komplet di kancah sepakbola Italia sebab punya prestasi gemilang, jutaan penggemar serta disokong dana melimpah keluarga Agnelli.

Akan tetapi, segenap kelebihan tersebut tak lantas menjadikan Juventus tanpa cela. Ada masa di mana mereka merasakan pahitnya puasa gelar, utamanya Scudetto. Ironisnya, hal itu terjadi justru di saat sepakbola Italia mulai angkat pamor yakni di akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Tidak tanggung-tanggung, puasa gelar tersebut berlangsung selama delapan tahun, dimulai sejak 1986 dan baru berakhir pada 1994.

Padahal saat itu I Bianconeri juga memiliki banyak pemain bintang. Sebut saja Antonio Cabrini, Michel Platini, Paolo Rossi, hingga Marco Tardelli. Sosok yang diberi kepercayaan sebagai pelatih juga bukan figur sembarang, mulai dari Rino Marchesi, Dino Zoff, sampai Luigi Maifredi.

Walau punya modal apik, tetapi para rival Juventus ketika itu juga sedang kuat-kuatnya. Napoli di periode tersebut mempunyai dewa bernama Diego Maradona. Sementara AC Milan yang diasuh Arrigo Sacchi bermodalkan trio Belanda, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten seraya membentuk skuad The Dream Team. Pun dengan Inter Milan yang merekrut triumvirat Jerman dalam wujud Andreas Brehme, Jurgen Klinsmann, dan Lothar Matthaus.

Persaingan di antara keempat tim di atas juga belum menghitung para kuda hitam seperti AS Roma, Fiorentina, Lazio, Parma, maupun Sampdoria. Bahkan rival sekota Juventus, Torino, juga memberi kejutan dengan mengangkangi I Bianconeri di klasemen akhir.

Semua kesebelasan memiliki corak permainan yang berbeda dan khas. Milan dengan pressing tinggi nan memikat (sebuah modifikasi dari Total Football) berhasil meraih banyak gelar di rumah sendiri serta level regional. Sementara Inter yang mengandalkan permainan fisikal dan pertahanan tangguh juga sukses mencaplok sejumlah trofi di kancah domestik maupun Eropa.

BACA JUGA:  Olympique Marseille: Ironi di Balik Prestasi

Lebih jauh, ada juga Napoli yang terkenal memiliki urat sepakbola keras dan penuh determinasi yang melambung karena keberadaan Maradona. Sedangkan Fiorentina dan Sampdoria memainkan sepakbola elegan tetapi tak ragu bermain kasar dan keras. Keduanya juga tak kehabisan talenta-talenta lokal jebolan akademi.

Hal ini membuat Juventus, dalam kurun waktu delapan tahun itu, sibuk melakukan bongkar pasang pelatih dan terus merombak skuad. Mesti diakui bahwa calcio di masa itu sangat kompetitif karena kekuatan yang merata dari seluruh klub. Praktis, satu-satunya trofi domestik yang didapat Juventus pada kurun waktu tersebut adalah Piala Italia 1989/1990 (di luar itu mereka memenangkan Piala UEFA 1989/1990 dan 1992/1993).

Adaptasi yang Ketinggalan

Di periode akhir kepelatihan Giovanni Trapattoni yang penuh prestasi, Juventus digerakkan poros permainan dinamis dan kreatif. Aktornya siapa lagi kalau bukan Platini yang ditopang Michael Laudrup. Keduanya ditopang oleh duet Massimo Mauro dan Aldo Serena yang sangat klinis setiap beroleh umpan-umpan matang.

Sementara lini belakang dijejali pria-pria tak kenal takut dan siap melakukan apa saja semisal Sergio Brio, Cabrini,  Luciano Favero, dan Gaetano Scirea, supaya gawang Juventus tak kebobolan. Di bawah juga berdiri Stefano Tacconi yang lihai.

Juventus di bawah polesan Trapattoni dalam rentang 1976-1986 adalah tim yang dibentuk dari kumpulan pemain berkualitas jempolan dan bisa memenangkan trofi apapun. Hanya kejutan plus kesialan saja yang dapat menyingkirkan mereka dari perebutan gelar Scudetto. Misalnya saja keajaiban yang diukir Osvaldo Bagnoli bersama Hellas Verona pada musim 1984/1985.

Nahasnya, saat Marchesi mewarisi tongkat kepelatihan dari Trapattoni per musim 1986/1987, sang pelatih tak memiliki karisma yang dapat mengubah rasa puas yang sudah ada di dada para penggawa I Bianconeri saat itu. Hal serupa juga dialami Zoff maupun Maifredi. Kian sulit, para pelatih tersebut gagal memberi stimulus taktik yang berpotensi mengatrol performa tim.

BACA JUGA:  Hector Cuper, Kisah Perjalanan Si Nomor Dua

Pembenahan dan perubahan yang dilakukan terasa minor. Apalagi komposisi skuad juga terus mengalami penuaan. Di sisi lain, para rival terus berkembang dan lebih mumpuni. Maka periode kelam pun terpaksa dicicipi klub yang berdiri tahun 1897 ini.

Tatkala Trapattoni dipanggil pulang ke Turin pada 1991 dan melatih sampai 1994, peruntungan I Bianconeri di ranah domestik juga tak berubah. Barulah di era Marcello Lippi, segalanya menjadi cerah kembali untuk Juventus. Berbekal kuartet Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, Fabrizio Ravanelli, dan Gianluca Vialli, mereka sukses jadi penguasa Negeri Spaghetti lagi.

Pelajaran bagi Andrea Pirlo

Sekarang Juventus menyongsong era baru bersama Andrea Pirlo. Kondisi skuad bisa dikatakan mirip dengan momen saat Trapattoni pergi dahulu yakni kenyang gelar, tua, dan individualis. Namun manajemen klub tak ingin jatuh ke lubang yang sama dan menggeber peremajaan skuad lewat pembelian pemain-pemain berusia muda seperti Arthur, Federico Chiesa, dan Dejan Kulusevski.

Pola-pola sejarah paceklik scudetto Juventus ketika sudah mulai menunjukkan beberapa kesamaan di musim ini. Mulai dari pergantian dua pelatih dalam tiga musim belakangan, mengendurnya kolektivitas tim yang banyak dikemukakan banyak pengamat sepakbola Italia dan juga warisan skuad yang mulai menua dan kenyang gelar domestik.

Akan tetapi, kesamaan pola historis itu hanya jadi pepesan kosong belaka jika tidak ada tindakan visioner sekaligus revolusioner dari para rival-rival Juventus. Apabila para pesaingnya hanya terus berkutat pada masalah internal klub dan tidak melakukan banyak hal signifikan dalam perebutan Scudetto, dominasi Juventus akan tetap muncul sebagai gambaran masa depan sepakbola Italia.

Komentar
Jurnalis sekaligus penggemar Serie A yang tinggal di Solo. Dapat disapa dan diajak berdiskusi via akun Twitter @taufiknandito