Jalan Lain Sang Pangeran Kecil

Jalan Lain Sang Pangeran Kecil
Jalan Lain Sang Pangeran Kecil

Namanya memang belum sebesar Gianluigi Buffon, kemampuan olah bolanya sangat jauh jika dibandingkan dengan Zinedine Zidane dan perjalanan kariernya pun tak secemerlang Alessandro Del Piero. Namun satu hal yang menyetarakan Claudio Marchisio dengan ketiga para pendahulunya itu, ia memiliki cinta yang benar-benar diperjuangkan bagi klub impiannya, Juventus.

Marchisio merupakan produk asli dari akademi sepakbola Juventus. Ia bergabung dengan Juve pada tahun 1993, ketika usianya baru genap menginjak 7 tahun. Lahir dan besar dari kedua orang tua yang sama-sama Juventino, Marchisio seolah ditakdirkan untuk jatuh cinta dengan klub kesayangan kedua orang tuanya ini. Semenjak kecil, ia kerap dibiasakan untuk selaiu menyaksikan pertandingan-pertandingan yang dijalani Juventus.

Tak berhenti sampai di situ, Marchi, sapaan akrab Marchisio, juga sempat menjadi seorang ballboy yang bertugas memungut bola di Stadion Delle Alpi, markas I Bianconeri saat itu.

Pemain yang amat mengidolai sosok Del Piero ini mengawali kariernya di tim junior Juventus sebagai seorang trequartista. Berbekal visi membaca permainan yang baik, tak sulit bagi Marchi untuk memainkan peran sebagai jenderal lapangan tengah

Memasuki usia ke-16, Marchi mulai mendapat tanggung jawab baru dengan menjalani peran baru sebagai seorang gelandang tengah. Hal ini tak lepas dari kemampuannya yang semakin komplet dan matang. Marchi sendiri mengakui bahwa kemampuannya secara teknik memang tak cukup memenuhi kriteria sebagai seorang trequartista. Itulah mengapa, ia bekerja keras dalam mengembangkan kemampuannya secara taktikal dan akhirnya beroleh peran anyar.

Marchi percaya bahwa mimpinya untuk bisa bermain bersama Del Piero tak akan terwujud bila mengandalkan bakat yang tak seberapa istimewa itu. Ia perlu berlatih keras, membiasakan diri dengan etos kerja profesional seperti yang telah banyak dilakukan para seniornya.

Hasil tak akan pernah mengkhianati prosesnya. Perjalanan panjang Marchisio akhirnya berbuah manis per musim 2005-2006. Kala itu, namanya mulai didaftarkan untuk mengisi skuad utama oleh Fabio Capello, allenatore Juventus era 2004-2006.

Bayangkan, di usianya yang masih tergolong muda, ia sudah harus bersaing dengan nama-nama sekaliber Mauro Camoranesi, Pavel Nedved, Patrick Vieira dan tentu saja idolanya, Alessandro Del Piero. Semenjak itu pula, mimpi Marchisio mulai menemukan jalan menuju kenyataan.

Akan tetapi, baru sebentar Marchisio terbuai dalam mimpi indahnya itu, masih di musim yang sama, Juventus secara mengejutkan terseret skandal pengaturan skor memalukan Calciopoli. Juventus didakwa hukuman terdegradasi ke Serie B.

Nama baik I Bianconeri tercoreng, kondisi keuangan klub oleng, dan pada titik ini, pertama kalinya Marchisio dikecewakan oleh klub yang amat dicintainya.

BACA JUGA:  Penentu Takdir Lazio

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, Marchi tetap menunjukkan kesetiaannya buat membela Juventus meski harus memulai dari kompetisi kasta kedua.

Tak ada musibah yang tak memuat hikmah. Kejatuhan Juventus justru memberikan jalan bagi Marchi untuk unjuk gigi dan mendapatkan jam terbang. Di bawah tangan dingin Didier Deschamps, Juventus akhirnya bisa kembali ke habitat alaminya di Serie A hanya dalam tempo satu tahun.

Semusim berikutnya, Marchi dipinjamkan ke Empoli. Dari sanalah potensi terbaiknya menyeruak. Sayang, penampilan apiknya saat itu tak cukup untuk menolong kesebelasan yang berkandang di Stadion Carlo Castellani tersebut lolos dari perangkap degradasi.

Berbekal penampilannya yang lugas di Empoli, cerita mengenai Marchisio rupanya cukup untuk memikat pelatih baru Juventus saat itu, Claudio Ranieri. The Tinkerman, julukan Ranieri, yang dikenal ahli dalam membangun kerangka tim, agaknya menemukan sesuatu yang spesial dari diri Marchisio.

Perpaduan kreativitas dan agresivitas Marchisio yang mumpuni baik saat melakukan serangan ataupun bertahan bikin Ranieri kesengsem. Bagi sang pelatih, Marchisio adalah penyeimbang yang paripurna untuk mengisi satu slot di lini tengah.

Puncak karir Marchisio sebagai pemain, mulai tampak pada musim 2011/2012, saat Antonio Conte menjadi juru taktik Juventus. Kolaborasinya bersama Arturo Vidal dan Andrea Pirlo membuat lini tengah I Bianconeri terlihat gahar dan sempurna.

Saat itu, Marchisio sudah bukan lagi seorang gelandang tengah yang menjadi jembatan antar lini, melainkan setingkat di atas itu. Marchi telah menjelma sebagai gelandang yang tahu kapan mengatur tempo, membuka ruang, merusak skema lawan walau dengan pergerakan tanpa bola sekalipun.

Pada musim itu pula, Marchisio berhasil mewujudkan mimpinya yakni membawa Juventus keluar sebagai raja Serie A seraya mengangkat piala bersama  Del Piero. Sungguh, sebuah mimpi yang sempurna bagi seorang Marchisio. Mimpi yang barangkali hanya akan ada sebatas mimpi seorang ballboy, jika tak disikapi dengan kerja keras dan kedisiplinan.

Musim-musim setelahnya, Juventus menemukan kembali keperkasaannya di Italia. Peran Marchisio sendiri seolah tak tergantikan meski Juventus mulai kedatangan banyak nama-nama baru.

Sampai pada akhirnya di musim 2015/2016, Marchisio mengalami cedera lutut parah yang membuat performanya menukik. Akibatnya, Marchi kehilangan satu posisi utama di lini tengah yang kebetulan saat itu juga dihuni sejumlah pemain hebat layaknya Paul Pogba dan Sami Khedira.

Hingga sebuah hal tak terbayangkan di benak Marchisio dan mungkin Juventini di penjuru planet Bumi lahir jelang musim 2018/2019. Pihak manajemen sepakat untuk tidak memperpanjang kontrak kerja lelaki kelahiran Turin itu.

BACA JUGA:  Elegi Mario Mandzukic

Juventini geram dengan keputusan tersebut karena pengabdian Marchisio selama 25 tahun, seolah tak berarti. Mereka menganggap bahwa itu bukan cara yang tepat dalam memperlakukan seorang pemain yang amat loyal terhadap klub. Namun begitulah Juventus, jika titel sang raja yang tersemat pada diri Del Piero saja bisa sebegitu mudahnya dicopot dan dibuang, apalagi Marchisio yang hanya seorang pangeran kecil?

Berpisah dari Juventus merupakan momen patah hati yang cukup menyakitkan bagi seorang Marchisio. Kendati ambyar tetapi ia coba berbesar hati. Ia bahkan tetap menunjukkan rasa hormat, sekalipun telah diperlakukan dengan sangat tidak hormat oleh Juventus.

Konon, Marchi sempat beroleh tawaran dari sejumlah klub asal Italia usai dilepas I Bianconeri. Namun dirinya bersikukuh untuk tak mengenakan seragam selain hitam-putih milik Juventus andai tetap berkarier di Negeri Spaghetti.

Alhasil, klub asal Rusia, Zenit St. Petersburg, jadi pelabuhan barunya guna menyongsong musim 2018/2019. Nahasnya, kiprah Marchisio di sana tak cukup menggembirakan lantaran gangguan cedera terus membayanginya. Realita tersebut bikin manajemen Zenit memutus kontrak Marchi (via kesepakatan bersama) di pengujung musim.

Berstatus tanpa klub, banyak rumor yang mengaitkan Marchisio dengan sejumlah kesebelasan di Italia. Namun rumor mudik tersebut tak kunjung jadi kenyataan sampai Serie A musim 2019/2020 bergulir.

Jalan cerita yang tak terduga berikutnya lahir pada Kamis, 3 Oktober 2019 kemarin. Layaknya hidup yang tak bisa dipisahkan dari kisah jatuh cinta dan patah hati, Marchisio pun dihadapkan kembali pada situasi yang sulit.

Menyadari bahwa kondisi fisiknya tak kompetitif lagi, Marchi mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia sepakbola. Bukan menyerah pada roda kehidupan, tetapi Sang Pangeran Kecil memilih berdamai dengannya. Walau demikian, seperti ada rasa patah hati yang menggelayut di sini. Meninggalkan dunia yang digeluti dan berbalut mimpi masa kecil adalah hal yang sulit dilakukan.

Rasa sakit pada lututnya sudah tak mampu lagi ia kesampingkan. Marchisio mengajari kita satu hal bahwa ada waktu di mana kita harus berhenti lalu berdamai dengan ego.

Sepakbola adalah kecintaan tak terperi Marchisio dan ia takkan kehilangan itu sampai kapan pun. Hanya saja, dirinya kini bisa mencintai hal itu dengan cara yang berbeda, bukan lagi berpeluh keringat di atas megahnya lapangan hijau, sorot lampu dan gemuruh dukungan para tifosi.

Grazie Il Principino!

 

 

Komentar
Lelaki yang percaya Conan Edogawa lebih cocok jadian dengan Ai Haibara. Bisa disapa di akun twitter @handipsi.