Die Meister.. Die Besten.. Les Grandes Equipes.. The Champions…
Jika mendengar anthem ikonik yang memadukan bahasa Inggris, Jerman dan Prancis itu, apa yang muncul di imaji anda? Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi? Momen heroik di Barcelona 1999 dan Istanbul 2005? Kedigdayaan Real Madrid? Atau mungkin sebuah jenama minuman beralkohol yang lama menjadi sponsor Liga Champions?
Ya, seperti itulah UEFA Champions League atau biasa kita kenal dengan Liga Champions yang penuh dengan romansa. Tidak hanya menghipnotis penonton, kompetisi antarklub Eropa nomor wahid ini juga menyihir seluruh pesepakbola dunia dan semua kesebelasan asal Eropa bermimpi tampil di sana.
Pada mulanya kompetisi ini dinamai European Champions Club Cup/Coupe des Clubs Champions Européens (Piala Champions) dan mulai dimainkan musim 1955/1956. Namun semenjak musim 1992/1993, ia berganti kulit menjadi Liga Champions.
Mesti diakui bahwa ajang ini merupakan tempat di mana klub-klub terbaik di Benua Biru bertemu. Tak sekadar merebut sebuah trofi ikonik yang kondang disebut Si Kuping Besar guna menahbiskan diri sebagai raja Eropa, tetapi juga uang dalam jumlah masif.
Kompetisi ini sendiri awalnya terbentuk dari inisiatif dua jurnalis media asal Prancis, L’Equipe, yakni Jacques Ferran dan Gabriel Hanot. Mereka dibantu oleh Head of Departement saat itu, Jacques de Ryswick. Semuanya terinsipirasi pada kejuaran kejuaraan South American Championship of Champions (cikal-bakal ajang Copa Libertadores) yang diselenggarakan di Amerika Latin sejak 1948.
Gagasan untuk membentuk Piala Champions sendiri muncul pada tahun 1954 usai surat kabar asal Inggris, Daily Mail, memberitakan bahwa Wolverhampton Wanderers sukses menjadi “juara dunia” lantaran berhasil mengalahkan Budapest Honvéd (Hungaria) dengan skor 3-2 dan Spartak Moskow (Rusia) via skor 4-0 dalam serangkaian pertandingan uji coba.
Hanot yang ditugaskan meliput pertandingan di Stadion Molineux itu, keesokan harinya langsung membuat sebuah artikel. Dengan gaya tulisannya yang bijak dan sedikit humoris, ia mengatakan, “Sebelum kita menyebut Wolves adalah juara dunia, mereka harus menghadapi AC Milan atau Real Madrid terlebih dahulu.”
Didasari dari kejadian itulah, sebuah ide cemerlang muncul yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kompetisi yang ditujukan bagi klub-klub terbaik Benua Biru. Awalnya kompetisi ini disusun untuk mempertemukan 16 klub juara kompetisi domestik yang diadu satu sama lain dengan sistem gugur.
Sehari setelah artikel Hanot tentang Wolves diterbitkan, giliran artikel gubahan De Ryswick yang diterbitkan dengan judul, “Ayo Kita Mulai Kompetisi ini Sendiri”. Dalam tulisan tersebut, De Ryswick mengulas secara lengkap kompetisi yang dimaksud.
Tak lama kemudian, ketiga orang ini meminta dukungan dari Jacques Goddet, bos L’Equipe. Sang bos tentu mendukung penuh ide brilian jurnalis-jurnalisnya. Apalagi bos ketiganya dikenal sebagai putra dari Victor Goddet yang merupakan pencetus lahirnya ajang balap sepeda legendaris, Tour de France.
Setelah restu dari atasan berhasil dikantongi, mereka bergerak cepat. De Ryswick, Hanot, dan Ferran segera menghubungi perwakilan klub-klub papan atas dari tiap negara di Eropa untuk memaparkan buah pikir mereka perihal “kompetisi impian”.
Sebagian besar klub-klub yang dihubungi sangat mendukung ide European Champions Club Cup (Piala Champions) tersebut, bahkan Madrid yang pada era tersebut masih dipimpin Santiago Bernabeu sebagai presiden klub menawarkan stadionnya, Estadio de Chamartin, sebagai tuan rumah.
Tanggapan positif yang berhasil diterima dari sebagian besar klub membuat Hanot dan Ferran percaya diri membawa ide mereka ke kongres pertama asosiasi sepakbola Eropa (UEFA) pada 2 Maret 1955 di Wina, Austria.
“Saya ingat betul pergi ke Wina dengan kereta bersama Hanot untuk mempresentasikan proyek kami ke komite eksekutif UEFA”, tutur Ferran.
Selepas memaparkan gagasan tentang kompetisi tersebut, UEFA belum sepakat dengan ide mereka. Menurut UEFA, tak ada urgensi untuk mengadakan kejuaraan yang diikuti klub-klub terbaik seantero Benua Biru. UEFA lebih tertarik mengadakan kejuaraan antarnegara Eropa di bawah naungan mereka.
Pulang dengan tangan kosong dari Austria, Hanot dan kawan-kawan tidak kehabisan ide. Mereka berencana melangsungkannya secara independen bersama kantor mereka, L’Equipe. Jurnalis-jurnalis ini kemudian menyusun daftar 16 klub papan atas untuk diundang dalam sebuah pertemuan di Hotel Ambassador Paris. Semua biaya untuk mendatangkan perwakilan-perwakilan klub saat itu ditanggung oleh bos mereka, Goddet.
Pertemuan itu membuahkan titik sepakat dengan para perwakilan klub memicu L’Equipe untuk mencari operator kompetisi. Federasi sepakbola Prancis (FFF) yang pada zaman itu dipimpin Hendri Delaunay menolak karena lebih tertarik untuk mengadakan kompetisi yang melibatkan tim nasional dari negara-negara Eropa.
Alhasil, asosiasi klub sepakbola Prancis menjadi alternatif. Ernest Bedrignan yang menjabat sebagai wakil ketua di asosiasi tersebut dipercaya memimpin rapat untuk mewujudkan kompetisi akbar antarklub Eropa ini.
Sedangkan seluruh panitia penyelenggara kompetisi adalah perwakilan dari setiap klub. Mereka begitu serius dalam mengatur persiapan proyek hebat ini secara independen.
Mengetahui hal tersebut, induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) dan UEFA mengadakan rapat komite darurat pada 9 Mei 1955 di London. FIFA meminta UEFA untuk segera memberikan lampu hijau dan mengambil alih kompetisi tersebut karena kompetisi tersebut dianggap potensial.
Di ronde pertama kompetisi, tidak dilakukan pengundian. Semua dilakukan berdasarkan mufakat 16 klub peserta karena operator dan jurnalis L’Equipe khawatir dua tim raksasa akan bertemu di awal kejuaraan. Namun UEFA mengambil alih jalannya lanjutan kompetisi. Pada ronde berikutnya atau babak 8 besar, pihak UEFA mengadakan pengundian di Brussels, Belgia.
“Kami mencoba berjudi karena rasanya tidak mungkin kami dan klub-klub bisa menyelenggarakan kompetisi sebesar itu. Bagaimana kami harus memilih wasit? Bagaimana kami menghukum harus klub atau pemain itu sendiri? Itu tidak mungkin. Jauh lebih baik UEFA yang mengurusnya”, ujar Ferran dilansir UEFA.com.
Musim perdana ajang ini pada 1955/1956 terbilang sukses. Hal ini dibuktikan dengan dengan kehadiran 30 ribu penonton per laga. Apalagi musim tersebut, Chelsea yang seharusnya mewakili Inggris, batal ikut disebabkan permintaan asosiasi sepakbola Inggris (FA) yang hendak melihat situasi musim perdana terlebih dahulu sebelum mengirimkan wakilnya ke kompetisi antarklub Eropa.
Laga puncak European Champions Club Cup (Piala Champions) edisi pertama dilangsungkan di Stadion Parc des Princes, Paris, pada 13 Juni 1956. Ketika itu Madrid sukses menggulung Stade de Reims dengan skor 4-3.
Pada kejadian historis tersebut, Goddet yang bertugas menyerahkan trofi kepada Santiago Bernabéu dan pasukannya saat seremoni kemenagan. Akhirnya, semua pihak melihat bahwa gagasan De Ryswick, Hanot, dan Ferran adalah hal yang luar biasa.
Tak heran bila seiring waktu, UEFA merawat ajang ini dengan sebaik-baiknya. Bahkan gengsi mahakarya bernama Liga Champions, di masa kini cuma kalah dari Piala Dunia dan Piala Eropa.