Lewat akun media sosial resmi Persebaya Surabaya, Wolfgang Pikal mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pelatih dari tim kebanggaan masyarakat Surabaya itu terhitung sejak 30 Oktober 2019. Penampilan buruk yang diperlihatkan Bajol Ijo selama Pikal tukangi jadi latar belakang keputusan tersebut.
Dalam kurun delapan pekan, Pikal yang ditunjuk sebagai pelatih menggantikan Djajang Nurjaman di tengah musim ini, rapor Persebaya memang jeblok. Secara keseluruhan, Irfan Jaya dan kolega cuma menang sekali, bermain imbang di tiga kesempatan dan sisanya berujung dengan kekalahan.
Teraktual, Persebaya ditumbangkan oleh PS Sleman via kedudukan akhir 2-3 dalam lanjutan Liga 1 pekan ke-25 pada hari Selasa (29/10) kemarin. Hal itu berbuntut pada perilaku negatif Bonek yang membakar gawang dan papan iklan di Stadion Gelora Bung Tomo.
Raihan enam poin dari dua puluh empat angka maksimal bikin posisi Persebaya semakin tercecer. Hingga tulisan ini dibuat, Bajol Ijo terparkir di posisi sembilan klasemen sementara dengan bekal tiga puluh satu poin.
Situasi kacau yang mendera Persebaya sekarang tentu wajib diselesaikan secara cepat bila mereka ingin bangkit. Caranya? Membenahi segala sesuatu yang salah. Dari pihak mana saja? Semua elemen yang ada, mulai dari manajemen, pelatih dan pemain sampai suporter.
Manajemen
Semenjak memegang kendali Persebaya per tahun 2017 silam, ada segudang pekerjaan yang coba dibereskan oleh kubu manajemen. Membangun tim dari ketiadaan bukanlah proses yang mudah. Terlebih, saat itu mereka juga menanggung beban finansial yang diwariskan oleh manajemen sebelumnya.
Lewat sebuah proses yang cukup panjang serta memakan waktu, pengelolaan Persebaya mulai berjalan dengan baik. Setidaknya, arah yang dituju cukup jelas meski pilihan manajemen tak selalu bisa diterima oleh publik.
Akan tetapi, Azrul Ananda sebagai pemegang komando tertinggi wajib menyeleksi secara intensif orang-orang di sekelilingnya. Azrul tak bisa mengandalkan rasa percaya semata kepada sosok-sosok yang dipilihnya. Ada hal-hal lain seperti kompetensi dan integritas yang kudu dipertimbangkan karena ujung dari semua itu adalah tata kelola yang baik dan jauh dari konflik kepentingan yang mengganggu internal tim.
Memilih orang yang salah sama artinya dengan menjerumuskan Persebaya ke lubang kegelapan. Memilih figur yang tidak tepat berpotensi merusak nama baik Azrul sendiri sebagai pucuk dari manajemen.
Salah satu hal yang kerap disoroti fans dari gaya manajemen saat ini adalah keengganan mereka untuk melakukan komunikasi dua arah, manajemen kepada suporter dan juga sebaliknya. Manajemen Persebaya sekarang terlihat menjaga jarak dengan suporter dari tim yang mereka kelola, Bonek.
Kultur sepakbola di Surabaya berbeda dengan daerah lain. Bonek bukan suporter yang bisa diperlakukan layaknya pendengar tulen. Pada satu waktu, Bonek harus jadi pihak yang didengarkan unek-uneknya oleh manajemen. Memang mustahil untuk mendengar semua unek-unek, tapi setidaknya manajemen tahu bahwa saran dan kritik Bonek adalah hal yang penting bagi keberlangsungan tim.
Dengan segala hal yang manajemen minta kepada Bonek, misalnya membeli merchandise asli, tiket pertandingan dan sebagainya, manajemen sepatutnya sadar bahwa Bonek adalah pengawas kinerja mereka. Suka atau tidak, ada tanggung jawab moral yang wajib dilaporkan manajemen kepada Bonek.
Pelatih dan Pemain
Setelah Pikal mundur dari jabatannya, pekerjaan rumah terdekat Persebaya adalah mencari pelatih. Setidaknya, untuk mendampingi Bajol Ijo menyelesaikan kompetisi Liga 1 musim 2019.
Apakah sosok itu yang kelak memegang Bajol Ijo, misalnya di kompetisi musim 2020, tentu lain soal. Satu hal yang jelas, mencari figur yang tepat bukanlah pekerjaan sepele. Ada begitu banyak variabel yang mesti dipertimbangkan manajemen sebagai pemegang kuasa sebelum menunjuk pelatih.
Kalau pun sudah, pastikan bahwa sosok tersebut sesuai dengan kebutuhan tim. Bukan sekadar masukan dari manajemen kepada Azrul yang kemudian diterima mentah-mentah.
Nantinya, beri juga keleluasaan pelatih tersebut untuk memilih staf kepelatihannya sendiri yang kompeten dan memiliki integritas. Hal ini penting agar atmosfer di tubuh staf kepelatihan senantiasa baik sehingga rencana dan fondasi yang coba dibangun dapat berjalan mulus.
Sementara dari pihak pemain, proses evaluasi mutlak dilakukan. Nama-nama yang kualitasnya tidak mumpuni dan tidak memiliki hasrat membela Persebaya lagi, ada baiknya dilepas. Lagipula, untuk apa mengontrak pemain yang hatinya tidak untuk Bajol Ijo?
Manajemen juga wajib bersinergi dengan pelatih soal pemain yang direkrut. Jangan sampai, manajemen bertindak sesuai kehendaknya sendiri dalam proses mendatangkan pemain.
Berkonsultasi dengan pelatih adalah keharusan yang tidak bisa ditawar sebab para juru strategi memiliki preferensinya masing-masing. Lebih lanjut, orang pertama yang menanggung risiko dari seluruh hasil pertandingan yang dilakoni Persebaya adalah pelatih, bukan manajer, direktur pemasaran maupun presiden klub. Sederhananya, Persebaya harus memboyong pemain yang sesuai dengan kebutuhan pelatih dan juga tim.
Jangan ulangi kesalahan yang telah terjadi sebelumnya bila tak ingin dicap sebagai keledai!
Suporter
Saya percaya bahwa mayoritas Bonek tak suka dengan label customer yang coba disematkan manajemen kepada mereka. Terlebih mereka punya cinta yang besar untuk Bajol Ijo. Namun industri sepakbola memang menempatkan suporter sebagai ‘pembeli’. Sementara klub sepakbola adalah ‘penjualnya’.
Jika Bonek tak ingin disebut atau bertindak sebagai customer, lalu siapa yang akan menghidupi Persebaya?
Kendati demikian, Bonek juga tak boleh bertindak seenaknya karena merasa menghidupi. Ingat bahwa Persebaya ada karena Bonek dan Bonek lahir karena Persebaya eksis. Semuanya memiliki keterkaitan yang abadi dan saling membutuhkan.
Rasa amarah dan kecewa yang memuncak ketika melihat aksi-aksi pemain Persebaya menjemukan, tak boleh dilampiaskan pada hal-hal negatif. Bagaimanapun juga, preseden itu bakal mencoreng nama Bonek dan Persebaya. Rugi dua kali, bukan?
Sebagai fans, Bonek tentu punya impian sendiri menyangkut Persebaya. Namun, mereka harus menyadari bahwa klub kesayangannya hanyalah anak kemarin sore di belantika sepakbola nasional.
Benar jika Persebaya dengan segala kisah historisnya telah lahir sejak 1927, tapi perlu diingat jika Bajol Ijo saat ini adalah tim yang ‘hidup’ lagi per tahun 2017 kemarin.
Artinya, ada banyak hal yang mesti dipersiapkan Persebaya untuk tumbuh dan berkembang menjadi tim yang sehat serta kompetitif. Tak ada hal yang bisa digapai dengan cara instan.
Maka dari itu, tekanan tinggi Bonek yang seringkali bicara tentang gelar juara, Irfan Jaya dan kawan-kawan harus menangan, kudu dikurangi intensitasnya. Alih-alih memotivasi, hal tersebut malah berpotensi memberi beban berat di pundak seluruh tim.
Beri kesempatan kepada Persebaya untuk menumbuhkan giginya, belajar berlari sebelum kemudian memangsa buruannya. Jika ada proses yang salah, lontarkan kritik dengan cara yang paripurna, misalnya saja dengan mengosongkan tribun Stadion Gelora Bung Tomo ketika Persebaya melangsungkan laga kandang. Dengan begitu, manajemen, pemain dan pelatih sadar akan kesalahannya.
Bonek boleh mencintai Persebaya dengan segenap jiwa dan raga, tapi jangan sampai cinta tersebut mengerdilkan logika.