Dibanding Bruno Fernandes, Mason Greenwood, Juan Mata, Nemanja Matic atau Paul Pogba, nama Frederico Rodrigues de Paula Santos alias Fred tentu kalah mentereng. Padahal, mereka punya kesamaan yakni berstatus gelandang dari klub asal Inggris, Manchester United.
Fred didatangkan United pada musim panas 2018 lalu dari tim asal Ukraina, Shakhtar Donetsk. Mahar yang mesti digelontorkan The Red Devils bagi sosok kelahiran Belo Horizonte, 5 Maret 1993, itu lumayan tinggi yaitu 47 juta Poundsterling.
Mengingat harganya yang cukup menjulang, ekspektasi fans pun lumayan meninggi. Barangkali ia tak memiliki teknik dan intelijensia seimpresif Bruno, Mata atau Pogba, tetapi Fred memiliki kemampuan bagus untuk menjadi petarung di sektor tengah.
Sayangnya, musim perdananya di Stadion Old Trafford tak berjalan mulus. Ia tak menjadi pilihan utama Jose Mourinho yang saat itu menjadi nakhoda tim. Alhasil, dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di bangku cadangan.
Menurut Mourinho sendiri, Fred bukanlah target yang ia inginkan. Pemain berusia 28 tahun itu hanyalah pilihan ketiga sebab opsi nomor satu dan dua yang diminta sang pelatih gagal direkrut.
Bekas penggawa Atletico Mineiro ini sendiri mengakui jika musim pertamanya di tanah Inggris layaknya ampas. Ia pun bertekad untuk memperbaiki segalanya mulai tahun ke dua sembari berharap kesempatan bermain yang didapatkan akan bertambah.
Momen adaptasi dengan sepakbola Inggris serta kelahiran putra pertamanya, Benjamin, jadi hal yang membuat Fred kesulitan fokus.
Seiring dengan celaan yang datang dari media-media Inggris yang menyebut United cuma buang-buang duit saat merekrutnya, bahkan legenda klub seperti Gary Neville juga merasa ragu dengan kemampuan Fred, pemilik 11 caps bersama tim nasional Brasil itu malah kian terpacu.
Fred tidak terpuruk, kritikan yang datang dari berbagai pihak justru disikapi dengan santai. Ia menjadikan itu semua sebagai bahan bakar untuk membuktikan diri di Stadion Old Trafford.
Mengutip Bolasport, selain keinginan kuatnya untuk bangkit, Fred juga terbantu dengan masuknya asisten manajer yang baru, Martyn Pert. Dalam sosok Pert, Fred menemukan figur yang dapat ia ajak berkomunikasi dengan baik.
Pert menguasai bahasa Portugis dan hal inilah yang memudahkan Fred untuk mengungkapkan segala hal yang ia rasakan. Masukan-masukan dari Pert bikin Fred mengerti apa yang seharusnya ia lakukan dan perbaiki agar menjadi pilihan utama The Red Devils.
Pelan tetapi pasti, di bawah asuhan Ole Gunnar Solskjaer, Fred mulai mendapat kepercayaan lebih. Ia menjadi salah satu dari poros ganda andalan tim bersama Scott McTominay. Pemain setinggi 169 sentimeter ini bahkan sanggup menggeser Matic ke bangku cadangan.
Perannya sendiri lebih sebagai gelandang petarung. Ia menjadi tembok pertama yang berdiri di depan para bek United. Mengutip dari fbref.com, persentase pressing, blok, intersep dan tekelnya di atas 80 persen. Statistik ini sendiri diambil dengan membandingkan Fred dengan rekannya yang bermain di posisi serupa.
Di pertandingan melawan Tottenham Hotspur pada gameweek ke-31, Fred berhasil mencetak gol keduanya di Liga Primer Inggris yang membuat United pulang dengan tiga angka guna mengamankan posisi di zona Liga Champions.
Gol itu sendiri tercipta setelah kerja sama segitiga antara dirinya, Bruno dan Marcus Rashford. Fred lalu melepas umpan terobosan kepada Edinson Cavani yang berdiri sejajar dengan Eric Dier. Sepakan Cavani berhasil diblok Hugo Lloris, tetapi bola muntah berhasil disambar Fred untuk mencetak gol penyama kedudukan.
Walau penampilannya kian membaik, Fred tak bisa lepas dari kritik. Masih banyak kubu yang mengutarakan ketidakpuasannya terhadap permainan sosok bernomor punggung 17 ini. Namun hal itu ditanggapinya dengan penuh semangat bahwa segala kritikan yang ada akan ia sepuh menjadi pujian suatu waktu nanti.
Akan tetapi, ada hal lebih buruk lagi yang menimpanya. Di Inggris, ia menjadi korban tindak rasisme. Bahkan oleh suporter The Red Devils sendiri. Keadaan ini sungguh mengecewakannya sebagai pesepakbola. Pun dengan manajemen United.
Jika performa Fred tak memuaskan, melontarkan kritik adalah kewajaran. Namun hal itu tak seharusnya berbelok ke arah rasisme. Alih-alih terpacu untuk bangkit, sang pemain bisa saja kian terpuruk.
Sepanjang musim ini, meski tak sementereng Bruno atau Pogba, performa dari pemain yang sempat terkena kasus doping saat membela Brasil tersebut menunjukkan peningkatan signifikan. Ia membuktikan diri sanggup keluar dari masa sulit dan uang yang United gelontorkan guna memboyongnya tak sia-sia.
Fred jadi gelandang tak tergantikan yang berguna untuk skema favorit Ole. Ia, begitu pantas mendapat aplaus dari para suporter.