Jamie Carragher mengambil kembali ban kapten yang pernah dikenakannya. Memakainya, melangkah ke medan pertarungan, kemudian mulai memaki-maki tim yang pernah ia bela selama 17 tahun, Liverpool.
Dengan muka merah padam, Carragher menuliskan kekecewaan yang kemudian diunggah menjadi cuitan. Ia naik pitam setelah manajemen Liverpool mengambil keputusan yang layak menjadi bahan tertawaan banyak kalangan, termasuk rivalnya, Gary Neville.
Kala itu, The Reds masih bersikeras merumahkan sebagian karyawan. Kebijakan tersebut bukannya tak berdasar. Sebagai perusahaan, mereka terancam tak mendapat pemasukan yang maksimal akibat penghentian Liga Inggris.
Sementara itu, Pemerintah Britania Raya sendiri telah menawarkan untuk melemparkan sekoci kepada pelaku bisnis agar mereka tak tenggelam dalam gejolak ekonomi. Sekoci itu bernama Job Retention Scheme.
Skema ini menawarkan bantuan berupa dana bagi perusahaan untuk membayar sebesar 80% gaji karyawan yang dirumahkan dengan jumlah maksimal 2.500 poundsterling per bulan. Dengan gesit, Liverpool menyambar peluang ini, mengikuti jejak Tottenham, Newcastle, dan Bournemouth.
Sehabis itu, para veteran Anfield mulai kehilangan muka akibat ulah mantan klubnya itu. Kaki-kaki mereka memang sudah gemetar andai harus menyisir lapangan, tetapi tak cukup membuatnya berhenti melangkah mengikuti jejak si kapten yang lebih dulu bersuara.
“Saya tidak tahu apakah ada pendukung Liverpool yang tidak jijik karena keputusan klub merumahkan para karyawan,” ujar Stan Collymore yang kemudian menutup kalimatnya dengan umpatan.
Kubu Anfield masih saja keras kepala. Di otak mereka justru berpikiran bahwa kritikan itu datang akibat kesalahpahaman saja. Pernyataan resmi pun diluncurkan sebagai tameng. Enam ratus kata lebih dirilis ke media, kendati inti dari semua itu tak lebih dari 40 kata saja.
Di tengah segala basa-basi normatif yang kadung disebarkan, yang ingin dikatakan oleh Liverpool adalah mereka tetap akan membayar 100% gaji karyawan yang dirumahkan agar tak ada yang terkena dampak finansial.
Tak dijelaskan secara gamblang ―andai tidak sengaja ditutupi― bahwasanya mereka masih mengikuti skema pemerintah. Artinya, Liverpool hanya membayar 20% dari kantong sendiri, sedangkan 80% sisanya memakan pajak rakyat.
Giliran Danny Murphy kebakaran jenggot. Pasalnya, musim lalu saja, Liverpool mengeruk keuntungan sebesar 42 juta poundsterling. Angka yang tak sebanding dengan pengeluaran untuk menutup gaji karyawan dari brangkas mereka sendiri.
“Andai maksimal 750.000 poundsterling per bulan, bahkan jika harus membayar selama 6 bulan atau 12 bulan, Liverpool tidak akan bermasalah untuk membayar itu,” ujar Murphy sesumbar.
Ia hanya sedang merasa The Reds sedang melanggar nilai-nilai yang dibangun sejak era Bill Shankly. Tim yang menurutnya disatukan atas rasa kekeluargaan antar elemen tak seharusnya meninggalkan bagian terendah mereka terpuruk.
“Kenny (Dalglish) pasti merasa jijik,” Murphy memulai lagi sesumbarnya, lalu menutup wawancara dengan Talksport itu dengan sangat elegan.
“Mengapa harus pemerintah yang membayar, jika sepakbola dapat membayar dan mengurusinya sendiri? Uang pemerintah dapat digunakan di tempat lain,” pungkasnya.
Apalagi, kebijakan Liverpool ini hanya akan menghemat sebesar 1,5 juta poundsterling saja. Jumlah yang bahkan untuk membayar gaji Mohamed Salah selama dua bulan saja masih belum cukup.
Keadaan semakin runyam akibat belum ada keputusan untuk memotong gaji para pemain. Karyawan yang tugasnya menendang bola itu notabene memiliki kehidupan lebih mapan dengan gaji selangit dibanding staf yang tidak bertugas di atas rumput.
Kemudian, menjadi tak etis lagi bila melongok jauh ke atas, ke tempat Fenway Sports Group. Perusahaan asal Amerika yang membeli Liverpool pada 2010 itu bernilai 5,38 miliar poundsterling.
Pemiliknya, John Henry, mempunyai kekayaan sebesar 2,12 miliar poundsterling. Jumlah yang andai disandingkan, membuat angka 1,5 juta poundsterling untuk menghidupi karyawan itu seperti tak ada artinya.
Pantas saja Dietmar Hamann mendadak menjadi moralis ketika mendengar Liverpool memilih menggunakan skema dari pemerintah. Ia mempertanyakan di mana etika dari orang-orang dibalik keputusan manajerial itu.
“Bukan itu tujuan skema tersebut diciptakan,” kata bek yang pernah kewalahan mengawal Ronaldo di final Piala Dunia 2002 itu menganggap kebijakan Liverpool adalah akal-akalan.
Di antara dentuman jam Big Ben, di Istana Westminster, seorang anggota parlemen ikut mentertawakan keputusan Liverpool. Julian Knight, anggota Partai Konservatif itu menyarankan kubu Anfield mendengarkan saran dari para pendukungnya.
“Mereka seharusnya mencari cara untuk membayar gaji karyawan klub tanpa harus mengambil uang dari skema pemerintah,” ujarnya.
Dihajar bertubi-bertubi, orang-orang berdasi di manajemen Liverpool tampaknya tak kuat lagi menutup telinga dari suara-suara sumbang. Melalui CEO mereka, Peter Moore, The Reds akhirnya mengatakan bersiap kembali ke jalan yang benar.
Lagi-lagi di antara rimba kata-kata penuh basa-basi, Fenway Sports Group sepakat mencari jalan lain untuk menghidupi karyawan mereka tanpa menggunakan uang pajak. Kemudian, diselipkan pula pengakuan atas kesalahan dan permintaan maaf yang patut diapresiasi.
Kebijakan baru tersebut membuat Liverpool mengikuti rivalnya dari Manchester. Di mana Gary Neville mungkin pula sedang mentertawakan blunder Si Merah dari tepian Sungai Mersey tersebut.
Bisa juga ia sedang petentang-petenteng karena Manchester United sedari awal membuat keputusan yang tepat. Atau setidaknya, Neville tak perlu memaki-maki mantan timnya seperti yang dilakukan Carragher.
Tanpa tedeng aling-aling CEO United, Ed Woodward, menyatakan bahwa sekitar 900 karyawan Setan Merah tetap dibayar penuh tanpa menggunakan uang pemerintah. Kebijakan yang membuat pendukung garis keras United tak perlu protes dengan melemparkan suar lagi ke rumahnya.
Pada hari yang sama, dari Turf Moor, petinggi Burnley, Mike Garlick, juga menegaskan bahwa timnya membuat langkah serupa. Kebijakan kedua tim itu mengikuti jejak dari Si Tetangga Berisik, Manchester City, yang sehari lebih dulu membuat pengumuman untuk membayar penuh pekerjanya.