Cesar Azpilicueta yang Patut Dikagumi

Kota Pamplona diriuhkan dengan teriakan “Viva san Fermin!”. Ribuan orang memadati lapangan dan jalanan yang dipenuhi warna merah dan putih. Tak lama, delapan ekor banteng dilepas ke jalanan untuk mengejar penonton yang berlarian. Wajah mereka diselimuti kegembiraan sekaligus kekhawatiran karena hari itu adalah rangkaian Festival San Fermin.

Dari balkon jendela rumahnya, Cesar Azpilicueta memandangi keriuhan festival itu dengan penuh antusiasme. Tahun demi tahun ia habiskan waktu untuk melihat orang-orang yang sedang mengadu nasibnya dengan dikejar-kejar banteng.

Bagi warga Pamplona, terutama para pria, dikejar banteng merupakan momen menguji ketangguhan fisik. Bisa lolos dari kejaran atau mampu berdiri tegak usai diseruduk banteng, bakal memberi kebanggaan tersendiri. Namun Azpilicueta, tidak memilih arena tersebut guna membuktikan kehebatannya. Ia, lebih memilih lapangan sepakbola buat unjuk gigi.

Ternyata, pilihan Azpilicueta tepat. Ketangguhan fisik dan mentalnya teruji betul sejak ada di akademi Osasuna, klub terbesar di Pamplona. Debut profesional didapatnya juga di klub ini medio 2007/2008 silam. Rupa-rupanya, Azpilicueta berhasil melesat sebagai pemain muda penuh potensi.

Ia kerap dimainkan sebagai bek ataupun gelandang sayap kanan dan jadi pujaan baru di Stadion El Sadar. Namun kariernya di Osasuna tak bertahan lama.

Keserbabisaannya kemudian diendus Olympique Marseille. Kesebelasan asal Prancis itu pun tak ragu untuk meminangnya pada musim panas 2010 via mahar sebesar 7 juta Euro.

Pindah ke Negeri Menara Eiffel justru kian meroketkan Azpilicueta. Sayangnya, ia dihantam cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) pada November 2010 dan memaksanya absen selama enam bulan.

Beruntung, sekembalinya dari cedera tersebut, sosok yang sudah bermain sebanyak 25 kali untuk tim nasional Spanyol ini langsung beroleh tempat utama dan sukses menghadiahkan gelar Piala Liga 2011/2012.

Penampilan konsisten Azpilicueta yang dibarengi hasrat Chelsea mencari pelapis untuk Branislav Ivanovic lantas membawanya terbang ke Inggris.

Godaan uang sebesar 6,5 juta Euro tak mampu ditampik Marseille pada musim panas 2012. Chelsea memang tim yang lebih besar daripada Marseille, tetapi Azpilicueta tak memimpikan apa-apa ketika merapat ke Stadion Stamford Bridge.

Ia hanya ingin menampilkan yang terbaik dari dirinya setiap kali diberi kepercayaan merumput. Namun takdir punya rencana berbeda untuk pria setinggi 178 sentimeter ini. Ketika Ashley Cole, bek kiri andalan Chelsea mengalami penuruna performa, klub kesulitan menemukan pengganti yang sepadan.

Yuri Zhirkov yang diproyeksikan sebagai suksesor, nyatanya tak memuaskan. Dari akademi, ada Ryan Bertrand dan Patrick van Aanholt. Walau menjanjikan, keduanya tak pernah bersinar terang saat berseragam Chelsea. Terlebih, pergantian pelatih amat sering terjadi di Stadion Stamford Bridge.

Jose Mourinho yang kala itu sedang menikmati bulan madu kedua bersama The Blues, lantas memasang Azpilicueta sebagai bek kiri. Dalam sebuah wawancara, Mourinho memuji mentalitas dan ketangguhan fisik sang pemain.

Menurutnya, jika ia memiliki sebelas pemain dengan karakter seperti peraih gelar Piala Eropa U-19 dan U-21 bersama Spanyol tersebut di atas lapangan, merengkuh titel Liga Primer Inggris adalah pekerjaan mudah.

Ucapan Mourinho bukannya tak berdasar. Ketangguhan fisik dan mentalitas Azpilicueta sudah terasah sebelum lelaki berjuluk The Special One itu ‘mudik’ ke London Barat.

Bahkan dua hal tersebut semakin menguat setelah Mourinho lengser untuk kedua kalinya. Berdasarkan laporan Transfermarkt, sepanjang karier sepakbolanya, pemain bernomor punggung 28 ini cuma tiga kali mengalami cedera. Cedera ACL saat membela Marseille dahulu serta cedera otot dan hamstring kala memperkuat Chelsea.

Keserbabisaan Azpilicueta juga bikin Antonio Conte kesengsem. Lelaki Italia yang menjabat sebagai juru strategi tim pada musim 2016/2017 dan 2017/2018 itu selalu mengandalkannya. Entah sebagai bek sayap kanan ataupun bek tengah kanan dalam formasi 3-5-2 atau 3-4-3 kesukaannya.

Kala memenangkan gelar Liga Primer Inggris 2016/2017, Azpilicueta tercatat sebagai pemain keempat setelah Gary Pallister (1992/1993 bersama Manchester United), John Terry (Chelsea 2014/2015), dan Wes Morgan (Leicester City 2015/2016) yang tak pernah absen dari seluruh pertandingan liga.

Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, takdir menyiapkan cerita berbeda untuk Azpilicueta di Inggris. Jika awalnya cuma dijadikan pelapis Ivanovic, lama-kelamaan ia malah jadi pilar utama tim yang bahkan sukses menggeser Ivanovic.

Tak sampai di situ, jiwa kepemimpinan Azpilicueta juga yang bikin dirinya kini menjabat sebagai kapten tim setelah Gary Cahill hengkang ke Crystal Palace pada musim panas 2019. Sebelumnya, ia dipercaya sebagai wakil kapten.

Di periode kepelatihan Frank Lampard, Azpilicueta sempat kehilangan posisi utama karena bekas legenda klub itu gemar memainkan sejumlah penggawa muda. Namun seiring dengan dipecatnya Lampard dan masuknya Thomas Tuchel sebagai pelatih baru, Azpilicueta kembali ke starting eleven dan mengenakan ban kapten di lengannya.

Wibawa, determinasi, karakter kuat dan ketangguhan fisik Azpilicueta dibutuhkan Tuchel untuk membimbing rekan-rekannya sekaligus membentengi lini belakang. Alhasil, grafik performa The Blues pun kian meningkat.

Azpilicueta sendiri sudah pantas diberi status legenda karena ia telah memainkan 400 laga lebih bersama Chelsea. Berbagai gelar, baik di kancah domestik maupun regional juga sudah disumbangkannya ke ruang trofi.

Kini, ada satu kesempatan lagi untuk membuat curriculum vitae-nya mengilap. Chelsea baru saja memastikan diri lolos ke final Liga Champions 2020/2021 dan akan bersua Manchester City. Final ini sendiri jadi momen perdananya di ajang antarklub nomor wahid Eropa tersebut.

Sanggupkah ia menjadi kapten kedua The Blues sepanjang sejarah yang mengangkat trofi Si Kuping Besar?

Azpilicueta ibarat seorang generalis yang menguasai banyak hal berkat kemauan dan kerja keras. Bermodalkan mentalitas dan ketangguhan fisik khas warga Pamplona, dirinya menunjukkan kalau bakat bukan yang utama.

Seseorang bahkan bisa kehilangan bakat, jika ia tak berlatih secara tekun dan serius. Seperti itulah Azpilicueta yang selalu mengedepankan kerja keras di atas segalanya. Ia merupakan figur underrated yang patut dikagumi.

Komentar

This website uses cookies.