Anak asuh Frank Lampard memulai Liga Primer Inggris musim ini dengan sempoyongan. Lima pekan pertama, Chelsea hanya meraih dua kemenangan, dua hasil seri, dan sekali kalah.
Padahal, ekspektasi besar didengungkan banyak pihak, terutama di kalangan penggemar setia. Aksi jor-joran selama bursa transfer (menghabiskan dana tak kurang dari 200 juta Euro) bikin ekspektasi melambung dengan begitu mudah.
Dari lima pertandingan itu pula, The Blues sudah memberi menit bermain bagi lima dari enam pemain anyarnya. Antara lain Ben Chilwell, Kai Havertz, Edouard Mendy, Thiago Silva, dan Timo Werner. Havertz dan Werner bahkan sudah tampil sejak laga perdana yang diakhiri dengan kemenangan atas Brighton & Hove Albion.
Sisanya menyusul merumput di pekan-pekan selanjutnya. Sayangnya, presensi pemain baru belum menghadirkan dampak signifikan bagi kualitas permainan Chelsea.
Beban kian memenuhi pundak sang gaffer saat kritikan terus menghujaninya. Di setiap konferensi pers, Lampard selalu berdalih tentang chemistry yang belum terbentuk, absensi pemain kunci, dan tentu saja belum maksimalnya usaha mereka di lapangan. Legenda hidup di Stadion Stamford Bridge itu sendiri masih gemar mencoba-coba beberapa macam strategi permainan.
Eksperimen Lampard membuat sejumlah pemain turun tidak di posisi favoritnya. Silakan tanya Havertz, Mason Mount atau Werner yang beberapa kali dimainkan tidak di posisi naturalnya.
Alhasil, kemampuan mereka pun tak terlihat. Seolah-olah, ketiganya cuma pesepakbola semenjana yang seharusnya merumput bersama tim-tim dari divisi bawah.
Belum jelasnya dasar permainan dari N’Golo Kante dan kolega membuat mereka mengidap penyakit bernama inkonsistensi. Sejak diasuh Lampard per awal musim kemarin, persoalan ini selalu muncul tatkala pemain anyar datang.
Pemain membutuhkan adaptasi sehingga memiliki pengertian dengan rekan-rekannya di lapangan memang keharusan.
Hal inilah yang bakal memudahkan mereka beraksi. Kapan harus bergerak ke area sayap, kapan menusuk wilayah tengah, bagaimana merapatkan lini pertahanan, sampai cara mengalirkan bola dan mengatur ritme permainan. Nahasnya, seperti musim lalu, The Blues diguncang problem rapuhnya sektor belakang.
Perlahan Bangkit
Tergabung di Grup E dalam ajang Liga Champions, Chelsea menjamu Sevilla pada pekan perdana. Hasil akhir imbang tanpa gol mesti dinikmati kedua belah pihak. Kendati belum menampilkan performa terbaik, Lampard tampak lega melihat cara bertahan yang diperagakan anak asuhnya. Terlebih, sosok yang menghuni pos kiper adalah Mendy, bukan Kepa Arrizabalaga yang jemarinya lentur tersebut.
Solidnya lini belakang The Blues kembali ditunjukkan pada pekan keenam Liga Primer Inggris di kandang Manchester United yang juga berkesudahan dengan skor tanpa gol. Namun dari sepasang laga tersebut, lini serang tim terlihat mejan.
Jika laga melawan Sevilla adalah titik tolak perbaikan di lini pertahanan, maka kandang Krasnodar merupakan titik balik mengganasnya serangan The Blues. Lampard menampilkan pakem 4-2-3-1 di awal pertandingan dan cuma menghasilkan satu gol dari upaya Callum Hudson-Odoi.
Perubahan terlihat setelah Lampard memasukkan Kante dan Mason Mount pada babak kedua. Alhasil, tim bermain dengan skema 4-3-3. Masuknya dua penggawa tersebut bikin permainan Chelsea kian hidup. Tak perlu kaget kalau laga berakhir dengan skor 4-0.
Ditambah lagi Hakim Ziyech yang juga rekrutan baru sudah bisa diturunkan dan langsung membukukan gol pertama dengan kostum biru. Keberadaan Ziyech memang sangat terasa untuk tim sekelas Chelsea. Ada fantasi yang dihadirkan pesepakbola asal Maroko tersebut.
Inisiasi serangan makin variatif, pergerakan pemain dengan atau tanpa bola terlihat kian padu. Lini serang jadi makin menjanjikan, persis seperti area pertahanan. Tak ada lagi rasa deg-degan ketika The Blues dihajar serangan balik atau rasa frustrasi lantaran lini tengah tak mampu mengalirkan bola dengan baik.
Dalam lima pertandingan terakhir, Chelsea selalu pulang membawa angka penuh. Sektor depan menggila dengan produktivitas ciamik (bikin 16 gol) dan lini pertahanan membatu (cuma kebobolan 1 gol).
Tak ayal, kepercayaan diri The Blues kian meningkat dan memperbesar peluang tim ini buat meraih sesuatu di pengujung musim. Bila dikerucutkan ke ajang Liga Primer Inggris saja, mereka bahkan tak tersentuh kekalahan di enam laga pamungkasnya.
Dengan catatan, Lampard tak bertingkah layaknya mitologi Yunani, Sisifus. Dalam hikayatnya, Sisifus dihukum memanggul sebuah batu besar yang harus di bawa ke atas bukit. Namun sesampainya di atas, batu tersebut akan menggelinding lagi ke bawah dan Sisifus kudu memanggulnya lagi. Begitu seterusnya dilakukan tanpa henti.
Ya, jangan sampai Lampard bikin Chelsea yang kini makin tajam di depan dan kokoh di belakang justru kehilangan kehebatannya seiring waktu berjalan lantaran mandul dan gawangnya malah gampang dikoyak. Ada konsistensi yang mesti diwujudkan demi capaian yang lebih prima.
Ajang coba-coba di beberapa laga awal yang sempat mengkhawatirkan memang mulai memperlihatkan hasil. Paling tidak, kini sang pelatih tahu siapa yang pantas dimainkan di suatu laga dan kapan harus melakukan rotasi guna menyiasati jadwal laga yang padat serta absensi pemain.
Diakui atau tidak, musim kedua membesut Kante dan kawan-kawan jadi periode krusial bagi perjalanan karier Lampard sebagai peracik strategi. Terlebih skuad The Blues senantiasa dihuni pemain dengan ego tinggi, entah hasil pembelian mahal atau berangkat dari akademi.
Di sisi lain, ada pemilik klub bernama Roman Abramovich yang selalu memantaunya secara saksama. Tak kunjung sukses, maka sang taipan asal Rusia takkan ragu mengambil tindakan.