Debar di Singapura, Jengah di Indonesia

Diliputi rasa antusias, tepat setelah sholat Isya, saya menyalakan televisi. Jemari telunjuk saya dengan gesit menekan tombol kanal yang menyiarkan laga semifinal leg I Piala AFF 2020 antara Indonesia melawan Singapura kemarin malam (22/12).

Usai sekian lama, rasanya baru kali ini saya punya niat yang cukup tebal buat menonton laga Indonesia.

Jujur saja, penampilan atraktif yang diperagakan Irfan Jaya dan kawan-kawan bikin saya tertarik.

Terlebih, sebelum menjejak semifinal, laju skuad Garuda besutan Shin Tae-yong cukup mulus sepanjang fase grup.

Mereka menjadi juara Grup B dengan mengungguli Vietnam yang lebih difavoritkan serta memulangkan Kamboja, Laos, dan Malaysia lebih awal.

Dari sejumlah artikel yang saya baca, kemudian analisis taktik yang berseliweran di Twitter maupun YouTube, nama Shin Tae-yong beroleh sorotan lebih.

Ramuan lelaki Korea Selatan itu membuat Indonesia tampil beda. Inferioritas yang mulanya ditakutkan sebagai pengganjal langkah Irfan dan kolega justru tak terlihat.

Jantung ini berdebar-debar melihat penampilan Indonesia begitu wasit meniup peluit tanda laga dimulai.

Alih-alih bermain defensif dan menunggu, Shin Tae-yong menginstruksikan anak asuhnya buat banyak menekan Singapura.

Pressing Indonesia bahkan sudah dilakukan sejak bola masih berada di kaki-kaki para pemain belakang The Lions.

Kala mendapat bola dan kesempatan menyerang, skuad Garuda menyerbu wilayah pertahanan Singapura layaknya pada serdadu yang ada di medan tempur. Intensif dan sangat cepat.

Sampai akhirnya, tusukan dari sektor kiri pertahanan Singapura yang diinisiasi Asnawi Mangkualam membuahkan hasil manis.

Kerja sama satu-duanya dengan Witan Sulaeman, plus kecerdikan Dedik Setiawan menarik garis pertahanan The Lions sehingga amat rendah dan menyediakan ruang yang luas untuk dieksploitasi, sukses dimaksimalkan Witan untuk mengoyak jala Singapura.

Proses gol Indonesia sungguh memikat mata. Kelas dunia! Bagi saya, kenikmatannya setara dengan meneguk es teh kala terik menyapa.

Gemuruh suporter Indonesia di Stadion Nasional Singapura pun terasa. Sebaliknya, pendukung tim tuan rumah terdiam seribu bahasa.

Gol Witan melambungkan asa skuad Garuda di laga ini. Sosok yang sama sebetulnya beroleh kans mencetak gol tambahan pada babak pertama setelah pressing Rachmat Irianto bikin bek Singapura melakukan blunder. Nahas, upayanya gagal.

Tatkala menjalani babak kedua dengan menggenggam keunggulan, Shin Tae-yong coba menghadirkan perubahan lewat masuknya Elkan Baggott dan Ezra Walian.

Akan tetapi, pola tersebut justru terbaca oleh Singapura yang ditukangi Tatsuma Yoshida.

Intensitas pressing Indonesia menurun. Pun dengan jarak antarlini yang melebar. Keputusan menarik Irianto dan memasukkan Evan Dimas juga dinilai kurang tepat.

Pasalnya, Evan bukan tipe gelandang yang rajin bergerak untuk melakukan pressing. Ia lebih suka menjadi pengontrol permainan.

Gara-gara detail kecil berupa pressing yang tidak dilakukan Evan kepada pembawa bola, Singapura yang banyak melakukan overload di sektor tengah, berhasil mencetak gol penyeimbang.

Sodoran Faris Ramli sukses dikonversi Ikhsan Fandi untuk menggetarkan jala Nadeo Argawinata. Papan skor pun berubah menjadi 1-1.

Di sisa waktu yang ada, kedua tim berupaya menciptakan peluang untuk mencetak gol. Namun sampai wasit meniup peluit panjang, kedudukan seri bertahan.

Situasi demikian membuat laga di leg II nanti bakal intens, sengit dan menguras energi. Pihak yang menang adalah mereka yang beroleh tiket ke laga puncak.

Shin Tae-yong punya waktu tiga hari untuk mempersiapkan armada tempur berikut taktik yang akan digunakan.

Selama menunggu, saya dan seluruh rakyat Indonesia sudah barang tentu berdebar-debar.

Skuad Garuda masih memiliki kans melaju ke final, semoga saja Irfan dan rekan-rekannya dapat memaksimalkan itu.

Darah di Liga 3

Pada saat Timnas Indonesia sedang memperjuangkan nasibnya di semifinal Piala AFF 2020, berbagai kabar tak mengenakkan justru hadir dari persepakbolaan nasional.

Kasus kematian pemain akibat insiden di lapangan kembali terjadi. Penjaga gawang klub Tornado FC, Taufik Ramsyah, menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Awal Bros Panam usai mengalami koma beberapa hari.

Kiper muda tersebut mengalami cedera di bagian kepala, dari hasil CT Scan menunjukkan bahwa tengkorak sebelah kiri kepala Taufik retak.

Hal tersebut terjadi karena kaki pemain dari Wahana FC yang menjadi lawan dari Tornado FC dalam lanjutan Liga 3 menghajar kepala Taufik. Sang kiper sendiri langsung tergeletak tak di lapangan akibat insiden itu.

Kian mengenaskan, pertolongan kepada si pemain berlangsung sangat lambat. Wasit telat memanggil tim medis. Ambulans yang diperlukan untuk membawanya juga telat datang ke lapangan. Sangat Indonesia sekali.

Di tengah ambisi federasi sepakbola Indonesia (PSSI) untuk membuat kompetisi di tanah air semakin maju, kisah-kisah memilukan seperti ini malah terus terjadi.

Kebiasaan pemain-pemain kita bermain kasar tak jua berkurang. Alih-alih terlihat profesional, aksi mereka tak ada bedanya dengan para pesepakbola amatir.

Kasus Taufik harus diusut oleh PSSI. Bagaimanapun juga, cerita kelam seperti ini tak boleh terulang secara terus menerus.

Tatkala kasus Taufik belum selesai meletupkan kegetiran dan amarah, Liga 3 kembali memunculkan cerita mengerikan.

Laga final Liga 3 zona Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) antara Sleman United kontra Mataram United berakhir ricuh. Ada perkelahian antar pemain. Wasit dan asistennya pun dianiaya.

Kekalahan Sleman United menjadi pemantik masalah tersebut. Namun semua yang terjadi seolah memperlihatkan jiwa-jiwa iblis orang Indonesia kalau sudah berkaitan dengan sepakbola.

Apa yang terlihat dari laga Sleman United kontra Mataram United melanjutkan aib yang selama ini dipupuk dan tumbuh subur dari Liga 3.

Ya, kompetisi yang satu ini sangat brutal. Entah ada berapa banyak kasus kekerasan, baik yang melibatkan pemain maupun penonton, yang terjadi di sana dan menimbulkan kegaduhan.

Ajang yang seharusnya bisa menjadi tolok ukur kemampuan bermain sepakbola, malah dijadikan arena karate, silat, kung fu, dan taekwondo.

Kaki yang seharusnya digunakan menggiring atau menyepak bola, tiba-tiba beralih fungsi menjadi penyepak kepala atau tubuh.

Tangan yang dalam permainan sepakbola haram digunakan, tiba-tiba bisa dengan begitu luwesnya melancarkan bogem mentah atau tamparan.

Namanya Liga 3, ada kesan wah yang terasa sebab menjadi bagian dari piramida sepakbola nasional. Namun tindak tanduk pemain, pelatih, ofisial, wasit, sampai penontonnya sangat bar-bar.

Berulangkali saya melihat cuplikan video terkait Taufik maupun kericuhan dalam laga Sleman United kontra Mataram United, berulangkali juga saya merasa jengah.

Balbalan kita ini, kok, begini-begini saja, sih? Ada sepakbola, ribut. Nggak ada sepakbola, ribut juga. Gila, benar-benar gila.

Ironis, terkait segala permasalahan di Liga 3, PSSI seakan tak peduli. Padahal kompetisi ini menyimpan sejuta masalah.

Pemain yang wafat karena insiden di lapangan, kericuhan suporter, penganiayaan terhadap wasit dan beraneka kasus negatif lainnya tak pernah coba diselesaikan PSSI sampai ke akarnya.

Pokoknya kompetisi jalan, kewajiban mereka beres. Poles, poles, poles agar kelihatan bagus, maka semuanya dianggap aman.

Persoalan ini juga yang akhirnya membuat banyak orang merasa tak perlu ada sepakbola di negeri ini.

Apa yang berkelindan di Singapura dan Indonesia sungguh bertolak belakang. Satu memberi banyak harapan, satu lagi seakan tak sudi menumbuhkan harapan.

Komentar

This website uses cookies.