Pekan ke-21 Liga Primer Inggris diwarnai tiga gol Harry Kane, minuman selamat datang Pep Guardiola yang tak kunjung habis, dan yang paling berwarna, absennya Dimitri Payet serta Diego Costa.
Kasus Dimitri Payet lebih jelas. Ia menolak bermain untuk West Ham United melawan Crystal Palace. Pemain asal Prancis tersebut ingin kembali ke Olympique Marseille. Slaven Bilic menyebut situasi yang dihadapinya sebagai “tantangan terbesar”, sembari berseloroh jika ia lebih baik berhadapan dengan pemuncak klasmen, Chelsea.
Chelsea sendiri ketiban masalah yang sama dari sosok Diego Costa. Penyerang Spanyol kelahiran Brasil ini ditinggal di London ketika The Blues melawat ke kandang Leicester City.
Antonio Conte menyebut cedera punggung sebagai alasan, tapi penjelasannya tetap saja gagal menyingkirkan spekulasi bahwa Costa di ambang pintu menuju Tianjin Quanjian, klub Tiongkok yang bersedia memberinya gaji empat kali lipat lebih besar ketimbang Chelsea.
Mungkin fans kedua klub ini dapat menyepakati hal yang sama. Salah satu pemain kunci mereka tak lain adalah pribadi yang egois, miskin loyalitas, dan tak pantas mengenakan seragam kebesaran masing-masing klub.
Kalimat-kalimat senada nan sumbang yang meminta keduanya dijual saja bertebaran di media sosial. Bahkan, West Ham, perlahan mulai mempertimbangkan tawaran Marseille, dengan syarat Payet harus meminta maaf kepada fans terlebih dahulu.
Loyalitas, barangkali ada di doa suporter untuk setiap pemain di klubnya. Obrolan menyoal loyalitas pun berputar, turut diperbincangkan pesepak bola besar macam Paul Scholes dengan reputasi one-club man yang dibuat bingung dengan ulah pemain seperti Payet dan Costa.
Namun, bagi pemain “nomaden” seperti Robbie Savage, justru dengan senang hati berbagi cerita tentang taktik serupa yang ia lakukan untuk mempermulus kepindahannya dari Birmingham City ke Blackburn Rovers pada 2005.
Apakah fans berhak kesal dengan pemain-pemain “pembangkang”? Tentu boleh. Tidak ada individu yang lebih besar dari tim, bukan? Bahkan, sampai tahap tertentu, klub (pelatih) dapat memaksa si pemain untuk hengkang.
Coba tengok kisah kelam hijrahnya Jaap Stam ke Lazio, salah satu komponen penting Manchester United yang memenangi tiga gelar mayor pada musim 1998/1999. Konon, selain masalah biografinya yang menyinggung Sir Alex Ferguson, ada tawaran menarik yang tak dapat ditolak.
Lazio, datang dengan mahar 16 juta poundsterling dan Sir Alex tak dapat menolak tawaran menarik tersebut. Stam sendiri mengaku tak begitu senang dengan kebijakan tersebut. Namun, sebagai pemain, ia tak bisa terus-menerus mengeluh. Ia menerima keputusan manajemen dan hengkang ke Italia.
Fans Chelsea semestinya cukup akrab dengan cerita seperti ini. Tak ada yang menduga Petr Cech menyeberang ke rival sekota. Dalam usia yang tergolong prima untuk seorang penjaga gawang, ia harus menyadari Chelsea ingin memberikan jaminan kepada Thibaut Courtois. Bagi Cech, akhir masa pengabdiannya bersama Chelsea datang terlalu cepat.
Sebagian suporter yang gagal memahami situasinya, mudah memandang pemegang catatan tak kebobolan terbanyak di Liga Primer Inggris ini sebagai pengkhianat. Kalau sudah begitu, loyalitas hanya sebatas hubungan satu arah, dari pekerja untuk majikannya.
Loyalitas ala sepakbola pun bukan perjanjian universal ibarat Magna Carta. Apakah fans Marseille ambil pusing dengan aksi Payet di West Ham? Selama pemain bagus mau bermain untuk klub mereka, semua baik-baik saja.
Itu sebabnya sulit mengharapkan loyalitas dari Payet dan Costa. Tumbuh besar ribuan kilo dari Boleyn Ground atau Stamford Bridge, tak sekonyong-konyong ikatan emosional mereka mendarah daging. Mereka datang karena kesempatan berkarier yang lebih baik.
Jika ada yang perlu disayangkan dari kontroversi ini adalah momen yang mereka pilih. West Ham, meskipun sedang duduk di peringkat ke-12, hanya berjarak 9 poin dari jatah degradasi. Bila Payet benar-benar pergi, The Hammers kehilangan konduktor serangan yang terlibat dalam 31% gol West Ham musim ini. Selain Payet, tak ada yang mengemas lebih dari 2 asis kecuali Michail Antonio.
Di luar urusan lapangan, melihat kepergian Payet kian menambah derita fans West Ham yang cukup dipusingkan dengan rumah baru mereka, Stadion Olimpiade London.
Pernyataan yang sama juga perlu ditujukan kepada Diego Costa. Di tengah momentum cemerlang Chelsea setelah mimpi buruk musim lalu, Costa, mesin gol yang teruji di berbagai kondisi dengan mudah mengubur mimpi indah mengangkat trofi Liga Primer Inggris empat bulan lagi sekaligus menjadi top skor untuk pertama kalinya.
Jika semuanya berjalan mulus.
Kemenangan 3-0 di kandang Leicester City bisa menjadi sinyal kuat bahwa Chelsea tetap solid tanpa striker berpaspor Spanyol tersebut. Tapi, tidak sedikit yang meragukan kekayaan solusi Chelsea yang harus bermain tanpa Diego Costa.
Memperbincangkan sikap Payet dan Costa adalah memperbincangkan soal komitmen. Menghendaki loyalitas dengan sifatnya yang satu arah justru berbahaya dalam hubungan kerja.
Lalu, seharusnya bagaimana? Untuk level tertentu, klub harus memahami bahwa pemain juga memiliki keinginan meski terikat kontrak. Bagi Payet, perasaan rindu kampung halaman di Prancis merupakan sebuah keinginan yang sulit dibendung. Apalagi bila si pemain tak berusaha untuk meredamnya sendiri.
Dan, yang lebih penting, jaminan prestasi apa yang bisa klub janjikan untuk si pemain. West Ham tengah jeblok dan sangat sulit bersaing dengan tim-tim papan atas. Kita tak bisa menyalahkan jika si pemain ingin merasakan sebuah kesuksesan, terutama ketika usia yang semakin senja.
Loyalitas memang mengundang nuansa romantis. Namun, sangat sulit menempatkannya secara gamblang untuk semua pemain. Bahkan, fans, yang tak terikat kontrak pun bisa luntur kadar loyalitasnya.
Di tengah sepak bola yang makin (atau sudah) seperti industri, menempatkan loyalitas untuk semua pemain adalah pekerjaan yang hampir mustahil. Maklum, bermain sepak bola bukan hanya sekadar hobi, namun pekerjaan. Memahaminya akan menjadi pekerjaan seumur hidup.
Oleh sebab itu, “loyalitas” akan selalu lebih mudah diucapkan, ketimbang dijalani.