Doa 2016: Semoga Liga Lekas Bergulir

Anda tentu langsung bertanya, apa mungkin liga bisa bergulir jika elit sepak bola nasional masih bertikai, ketika membaca judul tulisan ini.

Saya memilih untuk berharap liga lekas bergulir karena jika nantinya benar terselenggara maka itu berarti segala macam konflik telah usai. Selain itu, tentunya federasi sudah lebih baik dari sebelumnya, seperti yang diinginkan oleh Imam Nahrawi ketika memutuskan untuk membekukan PSSI.

Sudah sejak April lalu federasi dibekukan. Sebulan kemudian menyusul surat sanksi dari FIFA. Induk sepak bola dunia tersebut membekukan sepak bola Indonesia sehingga tak bisa ambil bagian dalam sepak bola internasional. Usai berlaga di SEA Games 2015, timnas Garuda tak lagi pernah bertanding.

Roda kompetisi sepak bola nasional pun vakum. Tak ada kegiatan sepak bola lingkup nasional yang digelar hingga akhirnya turnamen diselenggarakan. Mulai dari Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, hingga Piala Jenderal Sudirman yang kini baru akan mempertandingkan semifinal. Selain itu, turnamen kelas tarkam pun digelar di berbagai tempat.

Kompetisi model turnamen ini bagus untuk mengisi kekosongan liga, tapi sampai kapan? Sampai kapan pun, turnamen tak akan menyelesaikan persoalan pelik sepak bola nasional. Turnamen tak bisa dijadikan sandaran untuk membangun industri sepak bola, pembinaan pemain muda, maupun membentuk timnas yang kuat untuk meraih supremasi di lapangan hijau.

Bahkan model turnamen yang acap kali dipilih untuk kompetisi usia muda pun perlahan mulai ditinggalkan. Para ahli pembinaan pemain muda meyakini bahwa turnamen tak bisa membantu secara maksimal anak-anak yang sedang merintis karier sebagai pesepak bola profesional.

Turnamen tak menjamin menit bermain yang cukup yang dibutuhkan oleh pemain muda. Tanpa menit bermain yang memadai, potensi pemain muda tak bisa dieksplorasi secara maksimal, begitu pula dengan mental bertanding yang tak terasah betul.

Lalu, liga hadir dengan format yang lebih mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan itu. Untuk itulah Kompas Gramedia memilih format liga dalam rangka pembinaan usia muda yang mereka lakukan. Begitu pula dengan gelaran After School League di Yogyakarta. Meski ada banyak kendala dan kelemahan di sana-sini, kerja yang lebih baik telah dimulai.

Bagaimana dengan sepak bola profesional?

Jika ingin membangun industri sepak bola, tentu perlu untuk menggelar liga. Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh dari Eropa, cukup melihat bagaimana sepak bola Thailand dan Malaysia berkembang belakangan ini. Liga yang teratur digelar dengan pengelolaan yang rapi mendatangkan keuntungan finansial maupun prestasi.

Kecakapan pengelola menjadi prasyarat utama untuk liga yang baik. Pengelolanya nanti entah PT Liga atau operator baru haruslah bersikap profesional dan paham betul bisnis sepak bola. Menyusun rencana pengguliran liga dengan baik mulai dari penentuan klub peserta, jadwal, hingga aturan finansial bagi setiap klub.

Mengelola liga tentulah lebih kompleks dibandingkan dengan menggelar turnamen. Durasi liga yang lebih lama dan format kandang-tandang tentunya membuat penyusunan neraca keuangan maupun jadwal pertandingan lebih rumit.

Liga Primer Indonesia mengalami kegagalan pada waktu itu karena kegagalan dalam menyusun jadwal. Keruwetan dalam penyusunan jadwal lantas membuat klub yang sudah menyatakan ikut serta menarik diri karena menjadi tidak yakin dengan kualitas pengelola. Jika pengelola tak bisa diharapkan tentunya bisa berakibat buruk secara langsung bagi klub.

Menentukan siapa pengelola liga nantinya akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Menpora maupun PSSI jika akan menggelar liga. Tapi, sebelum itu, marilah kita ajukan satu pertanyaan mendasar: sampai kapan konflik Menpora-PSSI akan berakhir?

Saya kira, saya tak dalam kapasitas untuk menjawabnya. Tapi, doa saya, semoga konflik itu berakhir sebelum April nanti yang merupakan peringatan satu tahun pembekuan PSSI oleh Menpora. Seperti itu pula kan harapan Anda?

Komentar

This website uses cookies.