Membandingkan Rafael Benitez dengan Djajang Nurjaman dan Rahmad Darmawan

Rafael Benitez dipecat oleh Real Madrid meski sementara ini menempati peringkat ketiga di tabel klasemen dan hanya kalah tiga kali dalam 25 pertandingan. Zinedine Zidane, mantan pemain terbaik dunia dan legenda Real Madrid diangkat menggantikannya.

Dalam hemat saya, persoalan pemecatan ini bukan perkara performa El Real. Mereka tetap bisa lebih sering menang daripada kalah, meski ya secara statistik persentase kemenangan Benitez bahkan lebih rendah dari Juande Ramos.

Rasanya persoalan di kamar ganti pemain lebih bisa dijadikan alasan pelengseran Benitez. Sudah jadi rahasia umum kalau ada beberapa pemain yang tak suka dengan sang mantan pelatih Liverpool itu.

Mulai dari Cristiano Ronaldo, lalu James Rodriguez, Isco, hingga Sergio Ramos, dikabarkan tak terlalu menyukai bagaimana Benitez membangun hubungan dengan pemainnya. Puja puji untuk sang mantan, Carlo Ancelotti, oleh para bintang itu jelas semakin menunjukkan kondisi buruk antara Benitez dengan para pemainnya.

Di level profesional, mengelola tim amatlah kompleks. Persoalan tak sekadar punya pemain yang bagus, strategi yang mumpuni, tapi juga tentang membangun harmoni di dalam tim yang berimplikasi langsung pada hasil di lapangan.

Benitez gagal meyakinan pemainnya untuk berjuang bagi dirinya. Seperti yang dialami oleh Jose Mourinho di Chelsea.

Di Indonesia, di mana taktik sepak bolanya tak berkembang dengan sebagaimana mestinya, persoalan kamar ganti ini memegang peranan yang amat penting. Coba Anda sebutkan siapa pelatih yang bisa sukses di Indonesia dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir?

Saya bisa pastikan bahwa nama yang Anda pikirkan itu punya hubungan yang baik dengan pemain. Mampu membangun harmoni yang apik antara pelatih dengan pemain, lalu antara pelatih dengan manajemen klub.

Djajang Nurjaman bisa sukses bersama Persib dengan meraih gelar juara Indonesia Super League (ISL) 2014 karena dia mampu membangun kepercayaan pemain terhadap dirinya. Tak banyak yang istimewa dari strateginya, tapi soal harmoni di tim, tak ada yang meragukannya.

Umuh Muchtar yang biasanya rewel sepanjang musim dan ingin segera memecat pelatih yang tak disukainya bisa adem ayem dengan Djanur di sisinya.

Ada banyak pemain bintang di Maung Bandung memang memudahkan tugasnya, tapi bukankah Arcan Iurie, Drago Mamic, hingga Daniel Roekito juga dibekali pemain-pemain top selama menukangi Pangeran Biru?

BACA JUGA:  Pledoi untuk Rafael Benitez

Djanur bisa mengelola suasana tim yang membuat seluruh pemainnya tak kecewa jika tak dimainkan. Anda bisa menengok pada kasus Atep. Putra daerah yang juga kapten utama Persib, tapi lebih banyak berada di bangku cadangan dan merelakan tim dipimpin oleh Firman Utina sepanjang 2014.

Apakah kemudian Atep berontak? Tidak, justru dia mendukung Djanur dan bisa menjadi pemain kunci ketika muncul dari bangku cadangan.

Hal yang sama juga terjadi pada Rahmad Darmawan. Saya pikir dia pelatih yang paling pandai untuk mengelola pemain. Coba tengok bagaimana pemain Surabaya United dan Persija Jakarta yang tak gajian masih bersedia berlatih dan bermain sekuat tenaga untuk timnya?

Jika Anda merasa pemain Papua kerap bermasalah ketika bergabung dengan tim nasional, itu tak terjadi dengan era kepemimpinan Rahmad Darmawan. Di SEA Games 2011, duet Patrich Wanggai dan Titus Bonai menggila. Ferdinand Sinaga bersedia untuk bermain lebih melebar di sektor kiri dan tetap tampil bagus.

Anda tahu kan ketiganya bukan pemain yang mudah dijinakkan? Titus Bonai bahkan sempat mangkir dalam satu sesi latihan jelang SEA Games bergulir dan hampir dicoret. Selepas era coach RD apakah Anda masih menemui keberingasan Titus Bonai dan Patrich Wanggai di timnas? Saya rasa tidak.

“Coach RD enak kakak. Dia bisa bantu kita orang main lebih enjoy. Aku juga boleh main sama kawan-kawan aku di sini,” kata Ferinando Pahabol ketika menjalani pemusatan latihan di Yogyakarta tahun 2013 lalu jelang SEA Games Myanmar.

Kemampuan inilah yang membuat Rahmad Darmawan bisa sukses di setiap klub yang ditanganinya. Itu pula yang jadi salah satu alasan mengapa mantan anak asuhnya seringkali mengikuti jejaknya untuk pindah klub baru.

Kurang elok rasanya membahas pelatih bagus tanpa menyebut nama Jacksen F. Tiago. Bigman, sapaan akrab Jacksen, bisa berhasil bertahun-tahun menangani Persipura Jayapura jelas buah dari pendekatan personal yang pas kepada Boaz Solossa dan kawan-kawan. Tanpa perlu berpanjang lebar, tiga gelar juara ISL jelas bukti nyata bahwa Jacksen adalah pelatih terbaik untuk anak-anak terbaik dari bumi Papua.

BACA JUGA:  Berhenti Berharap

Jika ingin menambah nama lain, Anda bisa memasukkan nama Kas Hartadi. Pelatih yang tak banyak punya pengalaman jika dibandingkan tiga nama sebelumnya itu berhasil membawa Sriwijaya FC juara ISL 2012.

“Pemain saya kan pemain bintang, tak perlu banyak diberitahu ini itu mereka tahu apa yang harus dilakukan. Gaji dan bonus untuk pemain ketika itu lancar, jadi mereka selalu kasih yang terbaik untuk tim,” ujar Kas Hartadi tentang kesuksesannya bersama Laskar Wong Kito.

Baginya, harmoni dalam tim adalah kunci sukses utama bagi tim yang ditangani. Kas juga tak segan bepergian bersama dengan anak asuhnya di kala senggang. Bagian dari mengelola hubungan baik antara pelatih dengan pemain.

Kembali ke soal Benitez, jika ingin sukses sepertinya dia perlu memperbaiki hubungan sosialnya. Steven Gerrard yang dibawanya meraih gelar juara Liga Champions bersama Liverpool saja mengatakan bahwa sang pelatih tak punya cukup kemampuan untuk membina hubungan sosial yang baik dengan pemain. Dia bukan pelatih yang akan memuji Steven Gerrard selepas sang kapten menjadi penentu kemenangan di final Piala FA.

Ketika datang ke Real Madrid, dia pun enggan menyebut Cristiano Ronaldo sebagai pemain terbaik yang dimilikinya. Sesuatu yang membuat pemain dengan ego sebesar Ronaldo kesal. Lebih buruk lagi, Benitez justru menyatakan memilih Gareth Bale sebagai pemain sentral bagi El Real. Wajar bukan jika kemudian Ronaldo tak menyukainya?

Perihal membangun harmoni dalam setiap tim ini perlu dimiliki oleh setiap manajer. Entah di sepak bola maupun di sektor manapun.

Saya juga sedang belajar mengenai hal ini. Saya akan gagal mengembangkan Fandom jika saya gagal membangun harmoni dengan para penulis yang dengan senang hati mengirimkan karya terbaiknya untuk dimuat di situsweb ini. Bukan situsweb besar yang menjanjikan popularitas dan uang dalam jumlah yang besar.

Tapi, mereka rela dan sepenangkapan saya, mereka cukup bahagia. Semuanya adalah tentang bagaimana kita memanusiakan setiap rekan kerja serta menyelami masing-masing karakteristiknya. Jika itu berhasil dilakukan, maka kita bisa membantu mereka mengeluarkan potensi terbaik dalam diri mereka.

Itu pula yang rasanya perlu dilakukan oleh Zinedine Zidane.

 

Komentar
Akrab dengan dunia penulisan, penelitian, serta kajian populer. Pribadi yang tertarik untuk belajar berbagai hal baru ini juga menikmati segala seluk beluk sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.