Rasanya belum afdol jika saya memulai tulisan ini tanpa mengucap syukur sebesar-besarnya karena saya telah dilahirkan sebagai salah satu pendukung klub sepakbola yang begitu superior dan punya tradisi panjang dalam ranah balbalan di Indonesia. Maka, izinkan saya memulai tulisan ini dengan mengucapkan alhamdulillah.
Adalah PSM Makassar, tim sepakbola yang berhasil merebut hati saya. Siapapun tahu, Juku Eja merupakan klub yang punya segudang cerita dan prestasi di tanah air. Mereka kubu yang tak pernah lelah menapaki asa menjadi klub hebat dari timur Indonesia.
Lima gelar Perserikatan dan masing-masing satu Liga Indonesia plus Piala Indonesia adalah bukti sahihnya. PSM merupakan satu dari sekian tim yang sanggup memudarkan sisi Jawa-sentris dari sepakbola nasional.
Bicara tentang PSM, rasanya tidak cukup hanya dengan menjelaskannya di papan tulis, di tembok-tembok lorong atau bahkan di media massa sekalipun.
Tim yang berkandang di Stadion Mattoanging ini takkan terjelaskan secara rinci dan jelas di sana. Sejatinya, mereka hanya mampu terjelaskan ketika hati dan harapan sudah mulai bertemu, saling mendukung untuk bercerita perihal sesuatu yang bukan saja tentang hari ini, tetapi juga kemarin dan besok.
PSM lahir dan berkembang di sebuah kota besar yang jadi ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Mereka pula yang kemudian melahirkan banyak pemikiran-pemikiran besar untuk dunia sepakbola serta melambungkan pemain-pemain besar.
Dari era Ramang yang terkenal di kalangan elite induk organisasi sepakbola dunia, FIFA, sampai dengan fanatisme suporternya dan stadion usangnya yang kini direvitalisasi agar lebih representatif.
Saya meyakini bahwa titah-titah perjuangan yang dulu dilantangkan oleh para pendahulu merupakan salah satu penyuntik semangat sepakbola Makassar dan bahkan Indonesia sampai hari ini. Melalui Juku Eja, semangat itu menjadi sebuah pemantik yang mungkin tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Pada 2 November 2020 kemarin, Juku Eja merayakan hari jadinya yang ke-105. Ya, 105 tahun adalah umur dari PSM yang juga menahbiskan mereka sebagai klub tertua di belantara sepakbola Indonesia.
Dunia sepakbola yang kejam nyatanya tidak menghentikan langkah mereka hingga kini. Mereka tetap melaju dengan anggun dan menorehkan berbagai kisah yang akan selalu diingat. Klub dengan seragam utama berwarna merah ini seolah membuktikan bahwa usia cuma tentang angka. PSM menua tetapi tidak melemah.
Layaknya logo mereka yang berupa kapal phinisi, Juku Eja seolah menerapkan motto sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Ya, kapal PSM itu siap melaju dan melibas apapun tanpa sedikitpun dihinggapi rasa takut.
Ia menolak karam dan terus menerjang sampai akhirnya tiba di pelabuhan bernama prestasi. Terlebih, mereka berkiprah di sepakbola Indonesia yang dipenuhi drama.
Melihat PSM jadi klub yang sebesar sekarang, tentu ada perasaan bangga di dada suporternya maupun publik Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Juku Eja ibarat angin perubahan dan bikin Makassar serta Sulawesi Selatan kian dikenal orang, terutama dari kancah sepakbola.
Lagi-lagi melalui PSM, saya meyakini bahwa sepakbola itu pemersatu segala rasa. Saat gelisah, mereka jadi hiburan yang ditunggu-tunggu. Kala senang, maka klub inilah penyebabnya. Pun ketika tim keok dan memunculkan rasa kecewa. Namun satu yang pasti, penggemar Juku Eja takkan pernah pergi. Mereka akan tetap mendukung dan setia kepada tim kesayangannya.
Di usianya yang ke-105, PSM takkan pernah sendiri. Mereka akan terus tumbuh bersama harapan-harapan yang menembus langit ke tujuh. Mereka akan berdiri, melangkah serta berlari bersama suporternya yang militan dan setia.
Mungkin, ada banyak kesalahan diksi dari tulisan yang saya buat ini. Namun saya yakin, cinta masyarakat Sulawesi Selatan kepada PSM takkan pernah salah. Tetap tanamkan siri’na pacce. Panjang umur kesayangan dan teruslah melaju. Ewako!