Sudah sebulan lebih kehebohan itu terjadi. Sepertinya sudah berlalu. Rumah joglo yang halamannya yang sepi ini saksinya.
Rumah joglo ini berdiri dalam gelap yang temaram. Bersahaja seperti keluarga yang belasan tahun menghuninya. Dulu waktu kecil, sehabis isya aku sering merengek ke ayahku untuk pergi ke rumah ini. Rumah dengan penghuni yang ramah, membuka pintu lalu menghidangkan minuman makanan sekadarnya. Para tetamu sering berbondong bersama anak bini datang dengan alasan yang dibuat-buat untuk menutupi alasan sebenarnya. Bertamu tapi dengan pandangan fokus ke kotak kayu dengan gambar hitam putih. Rumah ini satu-satunya di kampungku dengan televisi di ruang tamunya. Kotak yang mengenalkanku dengan gol-gol indah, pada sebuah segmen olah raga di ujung “Dunia Dalam Berita”
Segmen yang kemudian mempertemukan kami berdua. Dua mulut yang ternganga, menahan senyum, lalu saling berpandangan bersepakat pada kekaguman yang sama. Melalui mata yang bercahaya, karena gol-gol indah itu, kami memulai persahabatan. Persahabatan yang membuat kami memilih sebangku saat SD, berlatih menendang bola di halaman rumput rumah joglo ini setiap sore, hingga menjadi tandem saat menjadi juara kabupaten.
Malam ini kembali aku menginjak rumput itu, tapi hanya melintas saja. Lalu memutari rumah joglo ini dari sebelah kiri menuju belakang rumah. Aku sempat melirik jendela sentong yang sering kuketuk pelan malam-malam, belasan tahun yang lalu. Sebuah kode untuk menuju belakang rumah, menuju embung di samping lapangan, pusat aktivitas kami. Memancing mujair atau menangkap belut saat berkah musim hujan memenuhi embung. Atau sekadar duduk di gladak, sebentuk rakitan bambu semacam dermaga, menjorok tiga meter ke tengah embung, tempat orang-orang meletakkan baju ganti sebelum mandi. Kalau musim kemarau, saat air embung menghijau atau bahkan hanya tersisa lumpur hitam pekat, gladak ini adalah tempat asik melihat bintang sambil mengkhayal masa depan.
“Aku mau main di Italiaa, seperti Kurniawan!” katamu waktu itu. Mimpi yang hanya dipunyai seorang anak kecil dengan kepercayaan diri tinggi.
“Aku mau main di Persis saja. Biar kalo habis main bisa pulang,” responku waktu itu.
Aku masih mengingat tawamu waktu itu, lalu ceramahmu tentang cita-cita yang harus setinggi langit. Kamu memang anak pintar Lang, dididik dengan kasih sayang yang membesarkan otak dan hatimu.
Embung itu kini ada di depanku. Pematangnya terlihat kecil sekarang. Rumpun bambu di sebelah kanan tak selebat dulu. Segera kutemui sosokmu di bawah pendar lampu. Khusyu’ memegang galah pancing. Aku langsung membayangkanmu memegang pancing, tentu saja bukan di embung ini, tapi di atas kapal pesiar di teluk Liverpool sana. Aku ingin mengagetkanmu, tapi langkah kakiku menginjak daun bambu kering ini segera mengganggu khusyukmu.
“Hahaha, pulang juga, hahaha…” Tawa lepasmu itu melepaskan kekuatiranku sebulan ini. Tawa yang sama saat menertawakan cita-citaku yang cuma mau menjadi pemain Persis Solo.
Segera kami melakukan tos cara kami. Cepet-cepetan menendang kaki lawan. Pilihannya menendang atau ditendang. Kali ini aku kalah cepat. Pikiran bahwa sayang kalau menendang kaki seharga 5 juta poundsterling menyita sekian detik waktuku. Membuat kakiku lebih lambat dan harus rela jadi sansak. Ada tawa yang pecah setelahnya. Ada kekhawatiran yang ikut pecah juga. Kekhawatiranku terhadap kondisinya setelah caci maki dan hinaan dari orang se-Indonesia yang diterimanya akhir-akhir ini.
Kami lalu duduk di atas bangku kayu di pinggir embung. Tak ada lagi gladak. Orang sekarang sudah mandi di kamar mandi masing-masing. Tidak ada lagi obrolan dan gurauan di antara kecipak air sambil mandi di embung ini.
Masih ada senyum yang tersisa. Dari mulutku dan mulutnya, kebanyakan mengenang masa lalu. Sekian waktu kemudian hanya sunyi. Dua sahabat yang lama tak bertemu tapi canggung dan tak tahu harus bagaimana memulai percakapan. Aku menunggunya, mungkin dia juga menungguku. Aku meliriknya. Dia tersenyum sambil melihat ke arah mata kailnya. Badannya tak lagi ceking, sudah berisi layaknya pesepak bola profesional. Seperti mimpi melihatnya duduk di pinggir embung memegang pancing dari bambu. Padahal jam-jam segini seharusnya dia sedang mengemasi barangnya, memasukannya ke loker, lalu meninggalkan Carrington Training Ground menuju apartemennya di pusat kota Manchester.
“Hei, gimana kabar Elang?” Tanya Elang membuka obrolan. Tanya Elang tentang Elang, anakku yang kunamai karena kekagumanku padanya.
Tadinya aku akan menjawabnya basa basi. Tapi kemudian menemukan jawaban yang akan lebih cepat menjawab pertanyaan yang membuatku terpaksa pulang kampung sekarang ini. Mudik yang tak pernah kurencanakan. Mudik yang tak kulakukan enam tahun terakhir ini.
“Dia ngambek. Sudah satu bulan ini dia tidak mau sekolah”. Kutambahkan tawa kecil di akhir kalimatku. Bermaksud agar tak terlalu menghakiminya.
“Karena aku?”
Nah, pancingan yang berhasil. Tinggal dilanjutkan lebih terarah lagi.
“Dia selalu membanggakanmu Lang, sebagai sahabat bapaknya. Bahkan memanggimu Pakdhe di depan teman-temannya”. Kembali kutambahi tawa ringan. Tak mau terlalu menambahkan beban masalah untuknya.
“Maafkan aku”. Katanya pelan tapi sungguh-sungguh.
Tetap kutangkap ada rasa bersalah di nadanya, sekaligus pernyataan bahwa keputusannya tak salah.
Jawaban yang terlalu singkat. Aku kehabisan akal menyambung pembicaraan. Kami kembali terdiam. Bukan sebuah reuni yang seharusnya. Dulu kami memang lengket dari kecil sampai SMA. Lebih dari saudara. Tapi seperti juga persahabatan yang lain, jalan hidup dan rentangan nasib yang berbeda merenggangkannya. Kami memang tetap berhubungan lewat telepon atau SMS. Tapi tentu saja kehidupan seorang superstar sepak bola dengan kepala sekolah SD di daerah terpencil memunculkan jarak yang lebih jauh daripada jarak Tarakan-Manchester.
Elang Genggam Buana. Sebuah nama istimewa seperti orangnya. Sampai lima minggu yang lalu dia adalah pahlawan negara. Seorang jagoan yang dibanggakan prestasinya. Seorang idola yang menjadi patron setiap anak muda negeri ini. Karirnya adalah mimpi setiap pesepak bola. Juga anak-anak yang kutemui hari-hari ini. Dari yang menendang bola plastik, sampai yang belajar di sekolah-sekolah sepak bola berafiliasi klub tenar dunia, semua bermimpi jadi Elang. Dia adalah prestasi terbesar sepak bola negeri ini. Pemain Indonesia pertama yang bermain di Premier League.
Tapi semua berubah hanya dalam satu detik. Dipicu press release di website Manchester City tentang tindakan indisipliner yang dilakukannya. Elang tidak mengikuti empat sesi latihan resmi klub, dan sampai dikeluarkannya press release, tidak memberitahukan keberadaannya pada tim.
Raib.
Jagad sepak bola heboh, bertambah heboh karena empat hari lagi, pada akhir pekan itu, akan ada derby Manchester. Padahal tiga pertandingan debutnya di liga Inggris fenomenal. Empat gol sudah dia lesakkan. Dia menghilang tepat pada saat dia begitu dibutuhkan oleh klubnya. Juga dibutuhkan oleh jutaan anak-anak, termasuk Elang anakku, yang membutuhkan idola.
Kehebohan merebak. Dari diculik teroris sampai ulah ultras atau mafia Irlandia. Tapi teori konspirasi itu langsung berhenti ketika seorang pramugari memergokinya di Bandara Soekarno Hatta. Menenteng backpack dan koper layaknya pulang kampung. Meskipun dengan penyamaran jenggot lebat, jepretan pramugari yang diupload di twitter itu menjawab pertanyaan jutaan orang akan keberadaannya.
Kehebohan baru muncul. Tentu saja dipelopori stasiun TV yang berlomba melacaknya. “Penggerebekan” rumahnya di Pondok Indah yang disiarkan langsung, mengingatkan publik akan pengepungan teroris di ladang jagung. Gagal. Yang heboh malah jambak-jambakan mbak-mbak reporter yang berebut berita eksklusif. Setelah penampakannya di bandara, dia kembali raib. Ibu dan adiknya juga ikut menghilang dari rumah mereka di desa. Media lalu memburu masa lalunya. Lalu mantan-mantan pacarnya ramai memenuhi undangan talkshow bersaing dengan para pemain sepak bola yang dikenal dekat dengannya. Negeri gila bola ini merasakan demam bola yang berbeda. Ketika bahasan soal tawuran, pengaturan skor, suap dan judi sudah biasa, kali ini negeri komentator ini punya banyak sudut untuk dibahas. Psikolog, ahli kebugaran, mantan intel, sampai paranormal berebut memberi komentar, menebak dan menyusun teori konspirasi baru. Media suka cita menyambutnya sebagai pelipat oplah dan pengerek rating.
Lalu infotainment menghembuskan desas desus, yang katanya bersumber dari orang dekat Elang, mengatakan bahwa dia cuma homesick. Seorang bintang yang dibeli dengan harga lima juta poundsterling ternyata menghancurkan karirnya karena alasan kekanak-kanakan. Kehebohan itu lalu berubah menjadi sumpah serapah memenuhi udara. Pengecut. Udik. Amatir. Mental Tempe dan ratusan bahasa yang membuat perih orang-orang yang dekat dengannya. Aneka makian sahut menyahut di media sosial, di warung kopi, hingga pangkalan ojek. Kabarnya sidang kabinet pun sempat membahas kepulangannya. Presiden memerintahkan para menteri untuk mengantisipasi dampak terburuk dari keresahan masyarakat.
Anak-anak kecil berhenti berlatih main bola. Para pemuda membakar poster dan jersey bertuliskan namanya. Gadis, mama muda, juga janda mengganti profile picture mereka dari fotonya menjadi foto bintang K-POP lagi. Orang-orang tua berpuasa nonton bola, terutama ketika Manchester City bertanding. Satu negeri meradang melihat nama dan sosoknya tidak muncul lagi di lapangan.
Malu.
Di sebuah negara yang nyaris kehabisan stok panutan, pengkhianatan dari orang yang begitu dibanggakan begitu sulit diterima. Apalagi kalau kebanggaan itu menjadi aib.
Aku, sahabat terdekatnya di masa kecil ikut panik mengikuti kehebohan ini. Setelah jadi sasaran tanya para tetangga, perhatian lalu sepenuhnya tercurah pada Elang kecilku yang ngambek tak mau sekolah. Teman-temannya mengoloknya. Bujukanku tak didengarnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali beharap kehebohan ini akan segera berakhir.
Sebulan kemudian, sebuah SMS singkat masuk ke hapeku. Dari nomor baru yang tak dikenal phonebookku. “Mudik nggak Dul?”
Lebaran memang tinggal seminggu lagi. Dan satu-satunya orang yang memanggilku Dul hanya Elang Genggam Buana.
Di sinilah aku sekarang. Mudik ke kampung halaman setelah enam tahun absen. Di sampingku duduk seorang bintang Liga Inggris indisipliner teman masa kecilku. Aku berharap menemukan jawaban penasaranku atas kehebohan ini langsung dari sumbernya. Berharap jawaban itu bisa mengubah dan membesarkan hati Elang kecilku sehingga dia mau masuk sekolah lagi. Tapi melihat kekikukan kami malam ini, aku jadi pesimis akan menemukan jawabannya.
“Ingat nggak Dul, waktu SMA aku nggak jadi mondok dan memilih nglaju dari rumah?” Tiba-tiba dia memberi pertanyaan, yang segera kutebak ke mana arahnya. Tentu saja aku ingat, karena gara-gara dia, aku juga terpaksa nglaju, setiap hari harus naik angkutan umum 1,5 jam dari rumah menuju sekolah. Tiga jam pulang pergi setiap hari yang melelahkan.
“Kamu tahu alasannya?”
Aku menggeleng. Waktu itu aku cuma menebak-nebak kamu pasti nggak mau jauh dari pacar SMP-mu itu. Dan aku tak pernah tertarik menanyakan alasan sebenarnya.
“Aku pulang setiap hari, biar setiap pagi bisa berpamitan dan mencium tangan ibuku.”
Aku mendegar getar pada suaranya. Aku tau dia sungguh-sungguh. Ah, tiba-tiba aku sadar inilah jawabannya.
Tapi bukankah kau sekarang sudah kaya raya Lang? Apa susahnya memboyong ibumu ke Manchester. Sebelum kuucapkan pertanyaan itu, aku ingat gurauannya di telepon soal linu ibunya yang kambuh saat menjenguknya di sana. Linu yang kambuh pada musim panas. Pertanyaan itu lalu kubatalkan.
“Sudah terlalu banyak keajaiban dalam hidupku Dul, dan aku tahu itu semua terjadi karena doa ibuku. Sekarang dia sakit-sakitan di sini. Ini saatnya aku merawatnya…”
Aku melihat matanya berkaca-kaca. Kaca-kaca itu menyusul hinggap di mataku.
“Karirmu?”
“Udah semua toh? Pemain timnas sudah. Gelar untuk Indonesia sudah. Pemain terbaik Asia sudah. Bermain di liga Eropa sudah. Meskipun ya….. cuma tiga pekan. Lagian cita-citaku bukan main di Inggris Dul, maunya Italia, hahahahahaha…”
Ah, tawa itu. Cekikikan yang membuatku kehilangan kekhawatiran akan kondisinya. Dia ternyata baik-baik saja.
“Emangnya di Italia nggak ada musim dingin?”
Pertanyaan bodoh yang kemudian memancing tawa kami. Cekikikan kecil yang kemudian membesar lalu bertahan lama sekali. Sampai kaca-kaca tadi berubah jadi air mata. Sampai perut kami mules dan menyesakkan dada.
“Gimana dengan omongan orang?”
“Lebih baik mereka memakiku daripada mereka ngomongin ibuku.”
Jawaban yang sangat tegas dan sungguh. Tiba-tiba mataku perih. Ada yang menampar pipiku.
“Lho mau ke mana?”
“Mau ngasih tau Elang, Seharusnya dia nggak malu punya Pakdhe macam kamu”. Wajahnya memerah dengan tawa yang ditahan.
“Besok ke sini lagi kan?”
Aku tak menjawabnya. Aku cuma ingin berjalan cepat-cepat. Ah Elang, tak pernah berhenti menjadi inspirasiku. Mataku semakin berair. Ada sesak di dadaku. Kulewati rumah joglo dan halaman rumput itu. Kubelokkan langkahku ke kanan. Ada rindu yang membuncah begitu cepat yang tak mampu lagi kutahan. Rindu yang kemudian memaksa kakiku untuk berlari. Tepat di samping Masjid aku belok lagi ke kanan. Menuju gerbang yang juga temaram. Dengan senter di handphoneku, kucari nisan ibuku. Saat menemukannya, dadaku pecah.
Maafkan aku Ibu. Sudah enam tahun aku tak menengokmu.
Sudah terlalu sering aku lupa mendoakanmu.