Christian Vieri: Nostalgia Striker Klasik

Dalam sepak bola, terdapat hukum mutlak yang menyatakan bahwa gol adalah satu-satunya alat ukur kemenangan. Dengan mencetak gol, maka kemenangan akan lebih dekat dengan tim Anda.

Tak peduli bagaimana cara yang digunakan guna meraihnya. Bermain ofensif lewat penguasaan bola absolut atau defensif sembari memarkir kapal selam lalu mengirim torpedo serangan kilat. Tapi tunggu, mendebat mana yang lebih baik dari keduanya adalah nirguna dan penuh kesia-siaan, karena itulah pilihan yang tersedia.

Belum sadarkah Anda jika esensi hidup adalah membuat pilihan?

Bicara soal gol, sudah barang tentu membuat pemain-pemain berposisi penyerang mendapat sorotan lebih. Sedari awal permainan ini lahir, penyerang adalah tumpuan untuk mencetak angka. Hal ini juga yang membuat para juru gedor punya harga yang lebih fantastis ketimbang rekan-rekannya dari posisi lain.

Namun, dengan semakin berkembangnya sepak bola di era modern, utamanya dari sisi taktik, maka tugas penyerang tak melulu soal bikin gol.

Kini, mereka juga dituntut untuk lebih banyak terlibat dalam permainan, sanggup memberi asis, lebih rajin menjemput bola ke tengah hingga menjadi pemain bertahan nomor satu dengan melakukan pressing kepada bek-bek lawan yang menginisiasi serangan. Hal ini yang kemudian membuat coverage area para penyerang masa kini berbeda cukup signifikan dengan barisan striker beberapa tahun lalu.

Sebagai contoh, kita dapat mencermati heat map Romelu Lukaku dan Eder-Graziano Pelle pada laga Belgia vs Italia di Euro 2016 kemarin. Ketiganya merupakan penyerang. Namun, dari heat map yang tampak, mereka tak melulu bermain di dekat area penalti untuk menuliskan namanya di papan skor.

Lukaku sering berpindah ke sayap kanan De Rode Duivels guna membuka ruang, begitu juga Eder-Pelle yang aktif di sekitar garis tengah lapangan bahkan sepertiga wilayah permainan Gli Azzurri sendiri untuk melakukan pressing dan membantu serangan.

heatmap-belgia-italia
Heat map Romelu Lukaku dan Eder-Graziano Pelle (Belgia vs Italia) di Euro 2016 | © whoscored.com

Lalu, rindukah Anda pada striker-striker klasik di masa lalu yang pergerakannya cenderung statis dan lebih banyak menunggu bola demi menciptakan gol demi gol?

Pada musim panas 1999 silam, tanah Italia dibuat geger. Bahkan Gereja Katolik Vatikan melalui surat kabar resminya, “L’Osservatore Romano”, mengecam sebuah transfer pemain yang nilainya dianggap sebagai “Cemoohan Untuk Kaum Papa”.

BACA JUGA:  Bung Hatta Sebagai Pencinta Sepak Bola

Mereka gemas dengan tingkah polah pria beruban yang dengan entengnya merogoh kocek senilai 32 juta poundsterling hanya untuk seorang pemain. Nominal itu sendiri tergolong wah di masanya.

Pria beruban nan angkuh itu adalah Massimo Moratti yang saat itu menjabat sebagai pemilik klub Internazionale Milano. Dan, objek yang membuat Si Raja Minyak harus merogoh kocek segendut itu tak lain tak bukan adalah Christian Vieri, penyerang Italia yang saat itu berseragam Lazio.

Siapa yang tak kenal striker bertubuh gempal yang punya kaki kiri maut ini? Penggemar Serie A tentu hafal betul perangai sosok yang pernah jadi kekasih Elisabetta Canalis, Debora Salvalaggio, Elena Santarelli, Melissa Satta sampai Jazzma Kendrick ini.

Ya, Vieri merupakan penyerang brilian di masanya. Meski tak punya kecepatan lari sekencang Cristiano Ronaldo dan gocekan semahir Lionel Messi, namun siapa yang berani membiarkan Vieri berleha-leha di kotak penalti?

Dengan bangun tubuh prima, Vieri tak ragu untuk beradu fisik dengan para pemain belakang atau melakoni duel-duel udara. Ditambah dengan teknik mumpuni dan insting mencetak gol yang buas menjadikannya sebagai teror mengerikan di kotak penalti.

Kedua kaki, kepala, bahkan lututnya merupakan ancaman konstan bagi jala lawan. Tanyakan kepada Fernando Hierro, Fabio Cannavaro atau Alessandro Nesta, tiga bek legendaris yang pernah merasakannya secara langsung di atas lapangan.

Kala bermain, Vieri jarang sekali turun hingga ke lapangan tengah demi menjemput bola lalu ikut menyusun serangan. Bila diterjemahkan dalam pembagian ruang ala Louis Van Gaal, maka Vieri akan lebih banyak beroperasi di area 13 hingga 18 atau sepertiga akhir permainan. Ya, tak pernah jauh dari kotak penalti lawan!

Vieri adalah representasi striker klasik yang menjadi target utama dalam fase eksekusi peluang. Kefasihannya dalam memanfaatkan peluang untuk mencetak gol juga diakui banyak orang, salah satunya oleh bekas allenatore timnas Italia di Piala Dunia 2002 dan Piala Eropa 2004, Giovanni Trapattoni.

BACA JUGA:  Kisah Hernandez Bersaudara: Diusir dari Rumah hingga Ditinggal Sang Ayah

“Kehadiran Vieri sangat diperlukan tim. Karena kemampuannya untuk mencetak angka dan mengacak-acak lini pertahanan lawan begitu luar biasa. Dialah mesin gol kami,” papar pelatih berjuluk Mr. Trap tersebut jelang Piala Dunia 2002.

Membicarakan Vieri tentunya sulit juga untuk menepikan perjalanan kariernya yang begitu lekat dengan predikat nomaden. Bagaimana tidak disebut nomaden jika selama delapan musim pertamanya mentas sebagai pesepak bola, delapan kali juga Vieri berganti kostum.

Jersey Torino, Juventus, Atletico Madrid, hingga Lazio bergantian membalut tubuhnya. Hingga kemudian, loyalitas semusimnya itu gugur tatkala menyetia bersama Inter sejak musim 1999/2000 hingga 2004/2005.

Bersama I Nerazzurri pula, Vieri menahbiskan dirinya sebagai salah satu goalgetter paling beringas di Serie A berkat torehan 103 gol dari 143 penampilan. Secara keseluruhan, Vieri sendiri punya koleksi 142 gol di sepanjang kariernya merumput di Serie A. Rekor ini lebih baik dari legenda-legenda Italia lain seperti Sandro Mazzola, Gianni Rivera, dan Gianluca Vialli.

Keran gol Vieri bersama timnas Italia juga cukup apik, dari 49 kesempatan mengenakan kostum biru Gli Azzurri, pemain yang juga akrab disapa Bobo ini sukses menggelontorkan 23 gol. Bersama Roberto Baggio dan Paolo Rossi, Vieri juga tercatat sebagai Italiano dengan gol terbanyak di ajang Piala Dunia, masing-masing dengan koleksi 9 gol.

Sayangnya, kehebatan Vieri mencetak gol tak membuatnya bermandikan titel juara. Total, Vieri hanya merengkuh masing-masing satu Scudetto, Piala Super Italia, Piala Winners, Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental, serta dua Piala Italia selama dua dekade menjadi pesepak bola. Tertinggal cukup jauh dibanding kompatriot segenerasinya macam Alessandro Del Piero dan Filippo Inzaghi.

Tujuh tahun sudah Vieri pensiun dari dunia yang membesarkan namanya. Namun, khalayak takkan pernah lupa pada sosoknya yang garang bak seekor monster kala berada di depan gawang lawan. Melalui gol-golnya, Vieri akan selalu diingat dan dirindukan.

Grazie Bobo!

Komentar