Di daratan Italia sana berdirilah sebuah gunung api bernama Vesuvius yang begitu melegenda. Lembaga riset yang mempelajari gunung berapi, International Association of Vulcanology and Chemistry of the Earth’s Interior (IAVCEI), bahkan memasukkan Vesuvius sebagai salah satu Gunung Api Dekade Ini atau Decades Volcanoes bersama beberapa gunung berapi lain seperti Sakurajima di Jepang, Mauna Loa di Hawaii dan Merapi di Indonesia.
Secara keseluruhan ada 16 gunung berapi yang dimasukkan IAVCEI dalam daftar Decades Volcanoes. Beberapa kriteria yang dijadikan dasar oleh IAVCEI untuk memasukkan ke-16 gunung ini ke dalam daftar antara lain karena aktif (seringkali meletus), memiliki level erupsi yang cukup masif dan kedekatan dengan wilayah penduduk.
Vesuvius sendiri terletak hanya sembilan kilometer sebelah timur kota Napoli di region Campania. Dalam sejarahnya, Vesuvius terkenal sebagai gunung yang sangat mengerikan karena beberapa letusannya mengakibatkan kerusakan yang sangat masif.
Kehancuran massal terjadi di Kota Pompeii yang berada di sisi tenggara Napoli akibat letusan dahsyat pada tahun 79 Masehi. Menurut para ahli, letusan ini bahkan mengeluarkan energi termal yang besarnya seratus ribu kali bom atom Hiroshima-Nagasaki di Perang Dunia II. Saya dibuat bergidik hanya untuk membayangkannya. Puluhan ribu orang tewas secara mengenaskan, Pompeii sendiri terkubur dalam abu vulkanik yang menutupi kota dan dinyatakan hilang selama 16 abad.
Salah satu letusan ekstrem berikutnya terjadi pada tahun 1944 yang meluluhlantakkan beberapa daerah seperti San Sebastiano al Vesuvio, Massa di Somma, Ottaviano dan sebagian San Giorgio a Cremano. Erupsi kala itu bahkan didokumentasikan oleh United States Army Air Forces (USAAF) atau Angkatan Udara Amerika Serikat yang kebetulan bermarkas di lapangan udara Pompeii di dekat Terzigno selama Perang Dunia II.
Hingga tiba di era modern yang serba canggih ini pun, kedahsyatan “amarah” Vesuvius bakal tetap diingat sepanjang usia. Walau selama beberapa dasawarsa terakhir Vesuvius seolah masih nyenyak dalam tidur dan belum terlihat akan mengamuk.
Selagi sang gunung lelap dalam istirahat panjang, keganasan dan kedahsyatan khas Vesuvius justru bergeser ke arah selatan Italia. Tepatnya di pulau yang konon katanya dijejali para mafia, Sisilia.
Di pulau seluas hampir 26 ribu kilometer persegi ini juga terdapat sebuah “gunung” yang tak kalah seram karena telah menelan banyak korban. Namun Anda salah bila mengira itu adalah gunung Etna walau gunung ini juga punya track record yang lumayan mengerikan.
“Gunung api” yang satu ini tingginya kurang dari dua meter, berambut putih, berwatak keras dan edan. “Gunung api” ini bernama Maurizio Zamparini. Pencinta sepak bola, khususnya Italia, tentunya kenal dengan sosok yang satu ini, bukan?
Beberapa waktu yang lalu saya iseng bertanya pada beberapa kawan yang menggemari sepak bola, tak hanya Serie A tapi juga Bundesliga, La Liga dan Premiership. Begitu mereka mendengar nama Zamparini, secara spontan kalimat “Hobi gonta-ganti pelatih” dan “Presiden gendeng” terlontar dari mulut kawan-kawan saya.
Salahkah mereka? Anda semua pun dengan haqqul yaqin pasti lantang menjawab, tidak!
Musim 2015/2016 jadi momen yang unik sekaligus aneh buat klub yang bernama U.S Citta di Palermo. Bagaimana tidak, musim belum juga memasuki tahap akhir tapi jumlah pergantian pelatih yang dibuat klub berjuluk I Rosanero ini bahkan jauh melampaui jumlah pergantian manajer tim Arsenal selama dua puluh tahun terakhir!
Pada awal musim, Giuseppe Iachini yang membawa I Rosanero promosi dari Serie B pada musim 2013/2014 dan berhasil membawa Palermo finis di peringkat kesebelas musim lalu tetap dipertahankan sebagai arsitek.
Sayangnya kebersamaan Iachini dan Palermo mesti berakhir prematur karena Zamparini mendepaknya pada 10 November 2015. Tepat dua hari setelah Palermo menekuk Chievo dengan skor tipis 1-0 dan jadi kemenangan keempat tim musim ini.
Eks pelatih Lazio dan Cagliari, Davide Ballardini, kemudian didapuk sebagai allenatore (pelatih, red.) anyar. Sial buat Ballardini karena kariernya di stadion Renzo Barbera, kandang Palermo, juga tak berlangsung lama. Ballardini hanya berdiri selama dua bulan di tepi lapangan sambil memberi instruksi buat Franco Vazquez dkk. di setiap laga.
Nama Fabio Viviani dan Giovanni Tedesco kemudian muncul sebagai nahkoda anyar tapi nasib mereka pun sama naasnya dengan Ballardini yakni dipecat karena dianggap Zamparini gagal memperbaiki performa klub.
Lalu Giovanni Bosi hadir sebagai pelatih kesekian Palermo, statusnya yang hanya caretaker memang tak menjanjikan banyak hal bagi klub berseragam khas merah muda ini. Bosi pun tak lama kemudian diganti.
Berita mengejutkan justru hadir tatkala Iachini ditarik kembali oleh Zamparini sebagai allenatore pada 15 Februari 2016 sebagai pengganti Bosi. Sang supremo menjilat ludahnya sendiri dan berharap Iachini bisa membuat Palermo tampil lebih baik.
Tapi sungguh, kisah pergantian pelatih di Palermo musim ini bak dagelan yang jauh lebih menghibur ketimbang penampilan klub di atas lapangan. Hanya sebulan menangani I Rosanero, Iachini dipecat setelah Palermo dibungkam Inter dengan skor 1-3.
Dan pada 10 Maret yang lalu, Zamparini mengumumkan nama Walter Novellino sebagai nahkoda anyar klub miliknya menggantikan Iachini yang dipecat pada hari yang sama. Novellino yang sempat naik daun kala membesut Sampdoria rentang 2002-2007 merupakan pelatih nomor tujuh Palermo musim ini!
Mengganti pelatih sebanyak tujuh kali dalam tempo delapan bulan sejak Serie A musim 2015/2016 dimulai, bermakna bahwa hampir setiap bulan, Palermo bakal ditukangi pelatih anyar. Sungguh ini merupakan sebuah perbuatan yang naif dan gila. Bagaimana mungkin klub dapat menemukan konsistensi bila pada setiap bulan selalu muncul wajah baru yang duduk sebagai allenatore?
Sedikit napak tilas, tahun 2002 merupakan awal cerita rintisan Zamparini di klub yang pada musim 2010/2011 lalu masuk final Piala Italia. Saat itu Zamparini yang juga bos perusahaan retail Emmezeta baru saja menjual klub miliknya yang pernah diperkuat Filippo Maniero dan Alvaro Recoba, A.C. Venezia (kini bernama Venezia F.C.). Pasca-menjual klub tersebut, Zamparini mendekati Franco Sensi yang juga bos A.S. Roma. Kebetulan Sensi juga pemilik Palermo kala itu.
Mahar sebesar 15 juta euro disodorkan kepada Sensi guna mengakuisisi kesebelasan yang kala itu bertarung di Serie B. Jumlah itu dirasa cukup oleh Sensi sehingga dirinya pun secara resmi melepas Palermo ke tangan Zamparini.
Sejak resmi berstatus sebagai pemilik klub, memecat pelatih berkali-kali bukanlah hal tabu bagi Zamparini. Berdasarkan statistik yang dihimpun dari worldfootball.net, I Rosanero telah mengganti pelatih sebanyak lebih dari 30 kali sepanjang periode kepemimpinan Zamparini.
Eks bos besar Inter, Massimo Moratti, yang dikenal gemar memecat pelatih saja “cuma” melakukan pergantian allenatore kurang dari 25 kali selama 18 tahun berkuasa di kubu I Nerazzurri.
Nama pelatih yang kini membesut Swansea City, Francesco Guidolin, jadi yang paling sering bolak-balik duduk di kursi panas pelatih Palermo dengan torehan empat kesempatan di bawah komando Zamparini.
Namun yang paling mengejutkan buat saya pribadi adalah kesediaan legenda hidup AC Milan dan tim nasional Italia, Gennaro Gattuso, tatkala menyanggupi tawaran Zamparini untuk menjadi pelatih I Rosanero pada musim 2013/2014 di Serie B.
Gattuso tentu berusaha dan berharap momen itu bisa jadi debut manisnya melatih klub Italia, sebelumnya Gattuso hanya pernah melatih klub F.C. Sion, Swiss. Tapi apa daya, dua kemenangan dan sekali imbang di enam partai perdana langsung menyudahi kariernya di Renzo Barbera.
Dengan curriculum vitae macam itu, wajar bila media-media Italia memberi Zamparini julukan Mangiaallenatori atau Pemangsa Para Pelatih. Susy Campanale, seorang jurnalis kenamaan dari football-italia.net sampai menulis sebuah artikel di laman tersebut pada tahun 2013 bahwa sosok yang harus didepak dari I Rosanero bukanlah para pelatih, tapi justru Zamparini sendiri!
Semua orang tahu jika Zamparini adalah sosok yang keras kepala, egois dan meledak-ledak. Maka perjalanan Palermo, terutama siapa yang menjadi pelatihnya, adalah hal yang menarik buat diikuti. Siapakah yang akan jadi korban letusan “gunung api” Zamparini berikutnya? Atau mungkin dia akan mendepak dirinya sendiri.