Rumor kepindahan salah satu bintang Iran yang bermain untuk Brighton & Hove Albion, Alireza Jahanbakhsh, ke Feyenoord Rotterdam akhirnya usai. Pria berumur 27 tahun tersebut akhirnya meninggalkan Inggris setelah menetap di sana selama tiga tahun.
Keputusan untuk balik ke Belanda dinilai banyak pihak tepat agar Jahanbakhsh bisa memperbaiki kariernya yang menurun drastis di Negeri Tiga Singa.
Penulis selaku salah satu admin Instagram @brighton_news2020 sebenarnya cukup menyayangkan kepergian Jahanbakhsh. Namun penulis mengerti bahwa hal itu dilakukan lelaki setinggi 180 sentimeter tersebut demi menyelamatkan karier sepakbolanya.
Apa yang terjadi pada Jahanbakhsh sedikit berbeda dengan kompatriotnya, Sardar Azmoun.
Ketika Jahanbakhsh ‘pulang’ ke Negeri Kincir Angin sebab kariernya stagnan, Azmoun justru terus digosipkan menjadi buruan tim asal Jerman, Bayer Leverkusen, pasca-tampil oke bersama raksasa Rusia, Zenit St. Petersburg.
Sebenarnya, kala Jahanbakhsh berlabuh ke Brighton tiga musim lalu, ia membawa predikat cukup mentereng yakni pencetak gol terbanyak Eredivisie 2017/2018.
Torehan individual tersebut memantik The Seagulls untuk mengeluarkan dana sebesar 19 juta Euro demi mendapatkan jasanya dari AZ Alkmaar.
Harapan suporter tim yang bermarkas di sisi selatan Inggris itu pun kian memuncak untuk mengarungi musim 2018/19.
Mau tidak mau, Jahanbakhsh dengan statusnya sebagai top skor Eredivisie plus pemain termahal klub sepanjang masa mendapat beban yang berat.
Tujuannya satu, yaitu menambah kualitas lini serang The Seagulls sekaligus menemani Neal Maupay.
Pada musim pertamanya, Jahanbakhsh justru tampil sangat mengecewakan. Dirinya hanya bermain sebanyak 24 pertandingan tanpa menceploskan 1 gol pun, juga tanpa memberikan asis.
Untuk pemain berlabel bintang Asia memang tidak mudah mendapatkan tempat di skuad inti dan juga perlu beradaptasi di liga sebesar Premier League. Namun rapornya itu sungguh di luar ekspektasi.
Memasuki musim kedua, Jahanbakhsh masih berjuang untuk mendapatkan tempatnya. Bukannya lebih bagus, ia malah semakin tersisihkan di Brighton karena pada musim 2019/20.
Jahanbakhsh cuma merumput dalam 12 pertandingan dan mengemas 2 gol saja. Meski demikian, ada satu momen di mana ia akan selalu dikenang.
Saat itu, The Seagulls menjamu Chelsea pada pekan ke-21 Premier League 2019/2020. Tuan rumah tertinggal lebih dulu dari tim tamu menit sepanjang babak pertama.
Namun enam menit menjelang waktu normal berakhir, Lewis Dunk mengirim umpan ke arah kotak penalti, Jahanbakhsh langsung menyambutnya dengan tendangan salto.
Dengan perasaan yang penuh, Jahanbakhsh menangis karena harus menunggu lama buat mencetak gol.
Rekan setimnya pun tidak lupa ikut merayakan gol indah tersebut dengan cara memeluknya. Hasilnya, gol tersebut dinobatkan sebagai gol terbaik Premier League edisi Januari 2020.
🤸♂️⚽️ Jahanbakhsh’s stunning acrobatic goal is the @budfootball Goal of the Month for January 🔵⚪️ pic.twitter.com/D4fLDiQ54I
— Premier League (@premierleague) February 7, 2020
Akan tetapi, tanpa disadari, golnya ke gawang Chelsea menjadi gol terakhirnya di Premier League karena hingga musim berikutnya, Jahanbakhsh tidak mampu menceploskan gol lagi untuk Brighton.
Kalau dilihat dari data statistik, musim 2020/2021 sebenarnya menjadi musim terbaiknya bersama Brighton karena mampu memberikan gol (tetapi bukan di Premier League) dan asis.
Namun, tidak ada pilihan lain selain pergi dan mencari klub baru yang bisa meningkatkan kariernya kembali.
Akhirnya, salah satu klub raksasa Eredivisie, Feyenoord, siap menampung pemain yang bermain sebanyak 61 pertandingan dan mencetak 4 gol plus 2 asis bagi The Seagulls tersebut
Feyenoord sendiri baru saja ditinggalkan salah satu pemain andalannya di lini serang, Steven Berghuis, yang dipinang Ajax Amsterdam. Maka Jahanbakhsh sungguh diperlukan sebagai pengganti.
Bermain di Belanda bukan hal yang asing baginya, sebab di sanalah Jahanbakhsh menikmati manisnya perjalanan sebagai pesepakbola bersama NEC Nijmegen dan AZ.
Kutukan Top Skorer Eredivisie
Ada satu fakta unik yang dialami Jahanbakhsh selama bermain di Premier League. Dia dan beberapa mantan top skorer Eredivisie seperti terkena kutukan.
Menjadi pencetak gol terbanyak di Belanda tidak menjadi jaminan kesuksesan mereka saat merumput di Inggris. Walau tidak semua, setidaknya cukup banyak pemain yang merasakannya.
Saat Memphis Depay dan Vincent Janssen datang ke Premier League dengan modal top skorer Eredivisie pada musim sebelumnya, mereka justru tampil merosot. Keduanya gagal memenuhi ekspektasi Manchester United dan Tottenham Hotspur.
Kalau memutar waktu lebih lama lagi, ada juga Alfonso Alves yang tajam bareng Heerenveen, tetapi melempem kala bergabung dengan Middlesbrough.
Semoga keputusan Jahanbakhsh kembali ke Belanda bisa mengubah nasib buruknya dan sinarnya akan muncul lagi seperti dulu.