Salah satu hal paling rumit yang ditemui manusia sepanjang hidupnya, mungkin, adalah pencarian terkait jodoh. Laki-laki atau perempuan memiliki level kerumitan yang sama saja perihal ini, termasuk orang-orang Indonesia.
Ada berbagai kisah yang mesti dilalui terlebih dahulu sampai akhirnya kita menemukan pasangan yang menjadi jodoh kita.
Entah menjalani kisah kasih yang putus-nyambung, jarak jauh, atau bahkan jomblo akut yang kadarnya lebih dari 100 persen.
Saya pun teringat lagu milik band Wali yang berjudul Cari Jodoh. Lagu yang kocak tersebut bercerita tentang seorang laki-laki yang tak kunjung mendapati jodohnya.
Komedian Narji yang menjadi bintang dalam video klip dari lagu itu pun menggambarkan secara sempurna perasaan desperate dalam mencari jodoh.
Situasi demikian kerap membuat seseorang gundah gulana dan bahkan menganggu kondisi mentalnya.
Oleh karenanya, jangan suka meledek mereka yang tengah berjuang mencari jodohnya.
Ingat, perjuangan untuk itu kadang sukar sekali sehingga menghabiskan waktu dan energi.
Akan tetapi, ada satu pihak yang rasa-rasanya pantas untuk diledek karena pencarian jodohnya tak kunjung selesai.
Walau usianya kian matang tetapi ia lebih suka menjadi spesialis kalah di tikungan pamungkas. Siapa lagi kalau bukan Tim Nasional Indonesia.
Konteksnya memang bukan pasangan hidup, tetapi keringnya prestasi yang dianggap spesial layaknya jodoh selama nyaris tiga dekade. Ya, tiga dekade.
Perihal ambisi dan mulut besar, Timnas Indonesia adalah rajanya. Terlebih mereka punya ‘orang tua’ bernama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Sudah sejak lama, pengurus organisasi yang satu ini beken karena keangkuhannya. Mereka juga kondang sebagai aktor-aktor yang penuh misteri.
Alih-alih ‘mendidik’ Timnas Indonesia dengan ‘iman dan ilmu’ yang berkualitas sehingga mendapatkan jodoh yang layak, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk menyenangkan diri sendiri.
Tak pernah ada pembinaan pemain muda yang serius di penjuru negeri ini. Tak pernah ada pembangunan sarana dan prasarana yang menjanjikan dari PSSI di daerah sebagai penunjang perkembangan sepakbola tanah air.
Kalau ada yang tak beres dengan penampilan Timnas Indonesia di sebuah kejuaraan? Gampang saja. Arahkan telunjuk kepada pelatih dan semua akan beres.
Mengelola kompetisi sepakbola nasional yang sehat dengan kualitas pengadil lapangan yang baik, tayangan televisi prima, dan edukasi kepada suporter saja dilakukan ala kadarnya.
PSSI lebih suka menyewa tukang rias untuk menyulap tampilan luar. Baik untuk liganya maupun Timnasnya.
Buruk rupa mereka ditutupi foundation, bedak, perona pipi, lipstik, bulu mata artifisial sampai maskara. Yang penting kelihatan menarik.
Soal bagaimana jeroannya yang amburadul, siapa peduli. Bahasa populernya, yang penting cantik (baca: jalan) dulu. Peduli setan omongan publik, pokoknya tujuan mereka terlaksana.
Per 9 Desember 2021 ini, Timnas Indonesia akan kembali beraksi di atas lapangan guna mencari ‘jodohnya’ dalam ajang Piala AFF.
Seperti biasa, ada beban berat yang dipikul Shin Tae-yong sebagai pelatih skuad Garuda. Pasalnya, PSSI memberi target juara pada kejuaraan yang kali ini berlangsung di Singapura tersebut.
Menariknya, Shin tidak menampik bahwa ambisi dari PSSI tersebut cukup muluk. Padahal ada banyak sekali kendala yang ia alami selama mempersiapkan tim yang bakal turun di ajang dwitahunan itu.
“Kami tidak bisa menjamin bakal menjadi juara. Namun yang pasti, kami akan bekerja keras dengan pikiran bahwa kami bisa menjadi kampiun,” ungkap lelaki asal Korea Selatan tersebut dalam konferensi pers virtual seperti dikutip dari Bolanet.
Pada ajang yang dahulu disebut Piala Tiger ini, Timnas Indonesia seakan tak pernah menemukan keberuntungannya. Kisah perjodohan dengan trofi berwarna emas ini seringkali gagal di tikungan terakhir.
Skuad Garuda adalah partisipan tetap ajang ini sejak diselenggarakan pertama kali pada 1996 silam. Namun semenjak saat itu juga, gelar juara sebatas nyaris didapat.
Lima kali mereka melenggang ke babak final, masing-masing pada tahun 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016. Nahas, dari seluruh kesempatan itu mereka selalu keluar sebagai pihak yang tertunduk lesu dengan linangan air mata di pipi.
Dalam setiap tikungan terakhir yang dijumpai, Timnas Thailand berhasil menyalip tiga kali sementara Timnas Singapura dan Timnas Malaysia masing-masing sekali. Apes betul nasib Timnas Indonesia di ajang ini.
Kendati memiliki skuad yang pilih tanding, daya ledak Timnas Indonesia selalu hilang tiap kali bertempur di laga puncak.
Alhasil, muncul berbagai olok-olok dari suporter rival. Ada yang menyebut Timnas Indonesia sebagai spesialis runner up, ada pula yang mencaci mereka seperti Garuda yang tak tahu caranya terbang tinggi.
Keadaan itu pula yang kadang menyurutkan antusiasme publik tanah air, bahkan melahirkan skeptisme.
Jujur saja, ada rasa jenuh yang melanda ketika melihat tim kesayangan tampil di partai puncak kemudian gagal terus meraih gelar.
Timur ke barat, selatan ke utara
Tak juga aku berjumpa
Dari musim duren hingga musim rambutan
Tak kunjung aku dapatkan
Tak jua aku temukan
Oh, Tuhan, inikah cobaan (bagi Indonesia)?
Meski demikian, kejenuhan itu pasti memunculkan rasa penasaran yang tiada henti. Kini tinggal berharap Nadeo Argawinata dan kolega bisa tampil apik buat menjawab rasa penasaran selama 24 tahun di ajang Piala AFF.
Keringnya prestasi skuad Garuda selama puluhan tahun bukanlah kutukan. Seperti yang telah dituliskan pada paragraf awal, ini semua berkaitan dengan buruknya tata kelola sepakbola tanah air.
PSSI memang tampak serius mengelola, tetapi maaf saja, sebab itu terasa untuk kepentingan tertentu. Bukan murni buat perkembangan sepakbola Indonesia.
Paceklik gelar di ajang Piala AFF melengkapi mandeknya prestasi negeri ini. Terakhir kali mereka sanggup merebut prestasi adalah raihan medali emas pada South East Asian (SEA) Games 1991.
Apakah mayoritas pembaca menjadi saksi keberhasilan saat itu?
Bagaimana dengan kiprah di Asian Games, Olimpiade, Piala Asia atau Piala Dunia? Seperti pada kejuaraan lainnya, Timnas Indonesia masih setia dengan label pupuk bawang.
Pada ajang yang disebut terakhir, PSSI bahkan kerap membanggakan pencapaian usang sebagai negara Asia Tenggara pertama yang beraksi di Piala Dunia 1938 ketika negeri ini tampil dengan nama Hindia-Belanda akibat belum lepas dari penjajahan.
Ketimbang mencipta sejarah, tampaknya mereka memang lebih suka menjadi penikmat sejarah. Fiuh.
Sekarang, peluang untuk bertemu jodoh yang diidam-idamkan datang lagi. Semuanya bergantung kepada Timnas Indonesia dan PSSI sendiri buat mewujudkan itu.
Andai kembali gagal, ada baiknya PSSI bermuhasabah guna mengingat-ingat kembali kesalahan mereka dan belajar agar tak mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Syukur-syukur setelah itu mau (sungguh-sungguh) berbenah.
Kalau ogah, mungkin sebaiknya, PSSI langsung bermetamorfosis saja menjadi koperasi simpan pinjam.
Momen krusial pencarian jodoh Timnas Indonesia sudah di depan mata. Sukses atau tidak, masyarakat Indonesia akan kembali jadi saksinya.