Inggris Juara Piala Eropa 2020, Jika ………

Pesta sepakbola antarnegara Benua Biru, Piala Eropa 2020, sudah dimulai sejak 12 Juni 2021 kemarin. Para konstestan pun menyiapkan dirinya sejak jauh-jauh hari. Tak terkecuali negara yang akan menggelar laga puncak, Inggris.

Sudah menjadi rahasia umum bila Inggris selalu punya ekspektasi besar setiap kali beraksi di sebuah turnamen akbar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa.

Ekspektasi menjulang itu bukan tanpa dasar karena skuad The Three Lions selalu dijejali banyak pesepakbola kelas wahid dengan performa gahar dan merumput di liga terpopuler sedunia, Liga Primer Inggris.

Sebagai kubu yang mendaku diri sebagai penemu sepakbola, memang ada keangkuhan yang senantiasa muncul dari Negeri Ratu Elizabeth.

Hal itu sendiri diperkuat oleh media-media Inggris yang senang sekali gembar-gembor tentang kemampuan tim nasional mereka atau anggota skuadnya.

Pemain A disebut punya teknik tinggi dan jenius. Kemampuannya setara dengan legenda sepakbola dunia, Franz Beckenbauer atau Pele.

Sementara pemain B, karena penampilannya ciamik di satu atau dua laga bareng klubnya, dinilai sebagai titisan dari kiper legendaris Inggris, Peter Shilton.

Produksi cerita-cerita semacam itu bak sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan Inggris. Rasanya seperti menu makanan sehari-hari yang selalu tersedia di meja makan.

Ironisnya, segala klaim yang disebutkan tak pernah memunculkan prestasi gemilang. Praktis, selain titel Piala Dunia 1966, belum ada gelar mayor yang pulang ke pangkuan Inggris.

Keangkuhan Inggris itu bikin mereka jadi lelucon bagi negara lain. Ya, prestasi tak ada, tetapi terlalu banyak bicara. Tak ada hal lain yang bisa dijual Negeri Ratu Elizabeth, dalam ranah sepakbola tentunya, selain sensasi.

Pasalnya setelah merengkuh gelar Piala Dunia 1966, Inggris sering tampil semenjana kala beraksi di turnamen megah. Dalam satu dekade terakhir misalnya, The Three Lions tak pernah menembus laga puncak.

Penampilan terbaik tim yang kini ditukangi Gareth Southgate itu adalah menembus semifinal Piala Dunia 2018. Selebihnya, mereka acap terhenti di babak perempatfinal atau bahkan rontok cepat di penyisihan grup.

Menurut saya, perjalanan Inggris menuju Piala Eropa 2020 sendiri tak lepas dari sejumlah keraguan. Keraguan pertama datang dari Southgate yang pengalamannya masih dianggap minim.

Sebelum menjadi pelatih Inggris, eks bek tengah selama aktif bermain itu cuma membesut Middlesbrough dan Inggris U-21. Bersama kedua tim tersebut, tak ada prestasi yang mampu ditorehkan Southgate.

Keraguan kedua muncul dari skuad pilihan sang pelatih. Menurut saya pribadi, ada beberapa nama yang tak sepatutnya mengisi skuad. Dari 26 nama pemain yang didaftarkan asosiasi sepakbola Inggris (FA), ada sembilan penggawa dengan usia 23 tahun ke bawah.

Mereka adalah Jude Bellingham (17 tahun), Phil Foden (21), Reece James (21), Mason Mount (22), Marcus Rashford (23), Declan Rice (22), Bukayo Saka (19), Jadon Sancho (21), dan Ben White (23).

Menurut saya, skuad yang didominasi banyak pemain muda dapat membawa dua efek sekaligus yakni positif dan negatif.

Positifnya, pemain muda mempunyai gairah yang tinggi dalam bermain sehingga mereka total saat beraksi di atas lapangan agar dijadikan andalan.

Selain itu, dibawanya sejumlah pemain muda ini juga dapat menambah jam terbang mereka di level internasional sekaligus memperlihatkan bahwa regenerasi di tubuh Inggris berjalan baik.

Akan tetapi, di sisi berlawanan para pemain muda seringkali terlalu bergairah. Alih-alih fokus terhadap taktik yang diterapkan, mereka malah merusaknya karena ingin unjuk gigi.

Di luar itu, para penggawa muda juga tak memiliki mental yang tangguh sehingga saya khawatir mereka malah keteteran menghadapi tekanan tinggi di sebuah pertandingan.

Saya pribadi kecewa karena Southgate tidak memanggil Fikayo Tomori. Padahal pemain pinjaman AC Milan dari Chelsea tersebut tampil cukup prima di musim ini.

Mengacu pada data WhoScored, ia memiliki rating 6,96 alias lebih baik ketimbang Tyrone Mings (6,81) dan White (6,60). Impresifnya lagi, Tomori menorehkannya cuma dalam 16 laga bersama I Rossoneri.

Selain Tomori, nama lain yang saya sesalkan karena tidak dibawa ke Piala Eropa 2020 adalah James Ward-Prowse. Sebetulnya, gelandang Southampton ini punya kemampuan cukup apik, terutama dari bola-bola mati. Namun dibanding dirinya, Southgate lebih mempercayai nama-nama lain.

Di luar keraguan-keraguan tersebut, Inggris punya modal cukup mumpuni kali ini. Lini depan mereka dihuni striker berkelas dalam wujud Harry Kane. Selain penggawa Tottenham Hotspur itu, ada juga Dominic Calvert-Lewin dari Everton.

Kedua mesin gol di atas punya performa yang mengagumkan sepanjang musim kompetisi 2020/2021. Kane menorehkan 33 gol dan 17 asis, sedangkan Calvert-Lewin bikin 21 gol dan 4 asis.

Duo tersebut akan disokong oleh Foden, Jack Grealish, Mount, Rashford, hingga Saka. Mereka adalah pemain yang piawai menciptakan peluang sehingga diharapkan bisa memanjakan Kane atau Calvert-Lewin.

Sementara di sektor pertahanan berdiri Harry Maguire, Mings, John Stones, sampai Kyle Walker. Mereka akan melindungi salah satu dari Jordan Pickford, Dean Henderson dan Sam Johnstone, tergantung siapa yang dipercayai Southgate buat mengisi pos kiper.

Skuad yang dibawa Southgate kali ini juga cukup serbabisa. Beberapa pemain dapat dimainkan di sejumlah posisi berbeda. Misalnya saja Saka yang dapat turun sebagi winger kanan, gelandang sayap kanan, maupun bek kanan. Versatilitas itu coba dimaksimalkan Southgate yang ingin timnya bermain dengan cair, tetapi tetap kokoh.

Kampanye The Three Lions di Piala Eropa 2020 dimulai kemarin malam (13/6) saat bersua Kroasia. Bermain di hadapan suporternya yang mengisi tribun Stadion Wembley, Inggris menang tipis 1-0 lewat gol yang dibukukan Raheem Sterling.

Tiga angka yang didapat merupakan modal berharga untuk menyongsong laga berikutnya. Inggris sendiri akan menghadapi Skotlandia (19/6) dan Republik Ceko (22/6) dalam lanjutan penyisihan Grup C Piala Eropa 2020.

Bila Inggris sukses memenangkan laga itu dan melenggang ke fase gugur, asa melihat Grealish dan kolega untuk melaju jauh pun bisa terwujud.

Namun untuk menjadi juara, masih ada banyak faktor lain yang mesti dipertimbangkan. Apalagi selama ini Inggris acap diganggu oleh ekspektasi publik mereka sendiri yang hobi menyebut kalimat, “Football is coming home.”

Mungkin, jika ekspektasi publik bisa sedikit diturunkan, ada kemungkinan Inggris akan merajai di Benua Biru sekaligus mengangkat Piala Eropa pertamanya sepanjang sejarah.

Komentar

This website uses cookies.