Jangan Ada Lagi Dualisme Kompetisi

Tim Transisi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mengundang klub anggota PSSI pada Jumat (11/3) di Gedung Wisma Kemenpora, Jakarta. Pertemuan ini membahas mengenai kompetisi baru yang rencananya akan digulirkan di bawah Tim Transisi.

Kompetisi yang rencananya akan digulirkan pada Agustus 2016 mendatang ini menjadi menarik bukan karena akan diikuti oleh seluruh klub. Melainkan dikemukakan kepada klub dan publik setelah ada inisiasi untuk menggulirkan Indonesia Soccer Championship (ISC).

PT Gelora Trisula Semesta (GTS) yang dipimpin oleh Joko Driyono berniat untuk menggulirkan ISC A dan B. ISC A adalah liga untuk klub Indonesia Super League (ISL) yang rencananya bergulir pada 15 April hingga 18 Desember 2016. Sementara ISC B untuk klub Divisi Utama mulai bergulir 23 April 2016.

Apakah ini berarti akan ada dualisme liga kembali? Seperti ketika era ISL dan Indonesia Premier League (IPL). Kita pernah punya pengalaman buruk mengenai begulirnya dua liga dalam waktu yang bersamaan dan proses penyatuannya tak pernah mudah.

Persoalan di tubuh federasi membuat adanya dualisme induk organisasi sepak bola, PSSI dan KPSI. Kemudian diikuti dengan adanya dua tim nasional dan dua kompetisi yang digulirkan oleh kedua belah pihak. Jika kita sepakat bahwa timnas adalah produk kompetisi dan hasil dari sebuah pembinaan, maka dualisme bukanlah solusi yang baik.

Kekalahan terbesar sepanjang sejarah timnas Garuda terjadi saat dualisme terjadi. Kekalahan 10-0 dari Bahrain jelas tragedi besar bagi sepak bola dan sekarang kita sedang berusaha untuk mengulanginya kembali.

Saya tahu bahwa PSSI itu busuk. Sulit kita untuk percaya pada federasi yang punya banyak masalah dan semaunya sendiri. Tapi, bapak Imam Nahrawi yang terhormat, saya sarankan Anda fokus untuk membenahi federasi. Kuncinya ada di situ, bukan pada pengguliran kompetisi.

Jika nantinya ada dua kompetisi yang berjalan ini justru akan menjadi beban bagi Anda, Tim Transisi, dan pengurus federasi berikutnya. Saya sulit membayangkan betapa kompleksnya masalah yang akan muncul jika ada dualisme kompetisi kembali.

Jadi, mari kita fokus saja pada persoalan pokok. Semua kegiatan sepak bola Indonesia baru akan benar jalannya jika induknya beres. Dalam hal ini PSSI.

Pertanyaan pertamanya, apakah kita akan lanjut dengan PSSI atau justru memilih untuk #suntikmatiPSSI seperti yang belakangan mulai dikemukakan lalu menggantinya dengan federasi yang baru. Tentu ini bukan persoalan mudah, semudah menjawab pertanyaan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah.

Oleh karenanya, dibanding berpikir tentang menggulirkan kompetisi, waktu satu dua bulan ini kita gunakan untuk menelaah tentang nasib sepak bola Indonesia ke depan. Fokus pada pembenahan federasi bisa dengan cara menggantinya dengan yang baru atau melakukan reformasi menyeluruh.

Kalau opsi pertama yang diambil, apa langkah berikutnya? Jika opsi kedua yang dipilih, maka mari siapkan program dan langkah strategis untuk melakukan reformasi.

Jadi, mari kita bersama fokus pada pembenahan sepak bola Indonesia. Fokus pada federasinya. Sudah setahun ketidakjelasan ini perlu segera diperjelas dan tentu solusinya bukan dengan menggulirkan kompetisi yang tak jelas muaranya itu.

Di lain pihak, PT GTS atau pun apalah nama operator yang berniat untuk memutar kompetisi itu ikut pula memikirkan tentang masa depan. Berpikir panjang tentang sepak bola Indonesia lima sepuluh tahun mendatang, bukan hanya tentang yang terjadi sekarang. Tak perlu buru-buru memaksa memutar kompetisi jika tak siap benar daripada nanti ada masalah di tengah jalan.

Ingat ya, fokusnya adalah pembenahan federasi. Jika sudah ada kejelasan mengenai nasib federasi, baru selanjutnya kita berpikir tentang kompetisi, pembinaan usia muda, dan lainnya. Karena semua hal yang terkait dengan sepak bola di negeri ini bagaimana pun merupakan tanggung jawab federasi sepak bolanya, bukan operator yang memutar kompetisi.

Kita memang sudah rindu liga. Rindu untuk bernyanyi di tribun. Tapi, liga yang kita rindukan adalah liga yang transparan, tak menunggak gaji pemain, tak ada pengaturan skor, dan tentunya yang bisa membentuk timnas yang kuat nan disegani di level internasional.

Itu semua mungkin tercapai jika federasi yang mengurusnya amanah dan punya wawasan kebangsaan. Bukan yang hanya berpikir tentang kepentingan kelompoknya.

 

Komentar

This website uses cookies.