Jose Mourinho dan Kestabilan Psike

Jose Mourinho kembali ke London dengan kepercayaan diri yang meletup. Ia punya rekam jejak yang jelas. Klaimnya sebagai The Special One tentu bisa dijustifikasikan hingga tahap mikroskopis. Mulai titel liga domestik hingga titel interkontinental, semuanya terekam dengan ajek.

Saat pertama kali menangani Chelsea pada 2004/2005, Mourinho langsung mengantar tim kaya London tersebut meraih titel Liga Primer Inggris pertama. Secara keseluruhan, kedatangan suami dari Matilde Faria ini mengubah paradigma bermain klub-klub Inggris ketika itu. Sebagai sebuah negara yang orang-orangnya mengklaim sebagai penemu olahraga Si Kulit Bulat, mereka justru ditelanjangi sedemikian rupa oleh Mourinho.

Dalam satu kesempatan wawancara, Mourinho mendedah kelemahan formasi 4-4-2, dengan empat gelandang sejajar, secara gamblang. Ia dengan jemawa mengatakan bahwa formasi usang seperti itu jelas bukan lawan dari formasi 4-3-3 miliknya–yang dalam perkembangannya kerap bertransformasi menjadi 4-4-2 berlian. Mourinho menyentil para status quo, seperti Sir Alex Ferguson dan tentu saja, teman sekaligus seterunya hingga saat ini, Arsene Wenger.

Secara khusus, pragmatisme ala Mourinho pun berhasil mengubah cara pandang seorang Alex Ferguson. Ketika memenangi titel Liga Primer Inggris pada musim pertamanya, Mourinho dicap sebagai manajer tanpa imajinasi karena Chelsea jarang menang dengan skor mencolok. Ia berkilah bahwa menang dengan skor berapa pun nilai yang diperoleh tetap tiga, tidak kurang, tidak lebih. Ferguson pun disadari atau tidak mengadopsi paham tersebut dan mempraktikannya dengan sempurna.

Pada Juni 2008, Mourinho pindah ke Milan. Ia mencoba peruntungannya di negeri yang kental dengan paham Machiavellianisme-nya tersebut. Menggantikan Roberto Mancini di Internazionale dengan kontrak tiga tahun, ia sukses menorehkan sejarah dengan meraih dua titel domestik dan satu titel kontinental pada musim kedua, melengkapi dua titel yang ia raih pada musim pertamanya. Di tengah sukacita, ia memutuskan mundur dan memenuhi guratan sejarah untuk menangani tim terbesar di dunia, Real Madrid.

BACA JUGA:  Bisa Apa Indonesia Tanpa Irfan Bachdim?

Targetnya jelas, memenangi titel Liga Champion ke-10 untuk Real Madrid. Namun, hasil memalukan di El Clasico ketika kalah lima gol tanpa balas dari tuan rumah Barcelona seakan menjadi pertanda bahwa Spanyol bukan tanah yang ramah untuknya. Mourinho hanya bertahan tiga musim di Madrid. Ia bisa dibilang gagal memenuhi target yang diberikan oleh Florentino Perez. Namun, bukan Mourinho jika tak bisa berkelit dan menolak untuk dicap gagal.

“Saya membawa Real Madrid menjalani musim di mana kami berada di atas siapa pun. Hal tersebut membuat kami (Real Madrid) menjadi tim pertama yang meraih 100 poin dan mencetak 121 gol. Selain itu, semifinal Liga Champion dalam tiga tahun berturut-turut bukanlah hal yang buruk,” ucap Mourinho dalam sebuah sesi wawancara khusus dengan FourFourTwo di salah satu ruangan kompleks Stamford Bridge pada September 2013. Ia berkata seolah dunia berada di dalam genggamannya.

Di balik segala gelimang kesuksesan dan kerikil kegagalan yang Mourinho rasakan, sedikit yang memahami bagaimana metode yang digunakannya ketika menangani sebuah tim bisa bekerja dengan efektif. Tidak banyak yang mengetahui bahwa dirinya selalu menjadi sosok pria yang disayangi oleh para pemain maupun eks pemain yang ia tangani.

“Seorang pelatih harus mampu melakukan segalanya. Pelatih harus menjadi ahli taktik, motivator, sekaligus memiliki pemahaman mendalam tentang psikologi. Mentor saya di universitas mengatakan bahwa pelatih yang hanya tahu tentang sepak bola secara teknis bukanlah apa-apa. Banyak yang paham tentang sepak bola. Namun, perbedaan terjadi karena aspek-aspek lainnya. Saya meyakini apa yang ia katakan. Ia sangat filosofis dan saya paham maksudnya,” ucap Mourinho dalam sebuah sesi wawancara bersama BBC Radio.

BACA JUGA:  Jose Mourinho dan Anomali Pelatih di Chelsea

Hal tersebut menegaskan kenapa Mourinho begitu peduli dan tak pernah abai terhadap aspek-aspek nonteknis. Ia selalu mencatat banyak hal, mencoba memahami semuanya dari sudut pandang yang lain. Bagi Mourinho, kestabilan psike adalah segalanya.

Tidak banyak pula yang tahu bahwa ketika memulai karier kepelatihannya bersama sebuah klub sepak bola tak terkenal di Portugal, Uniao de Leiria, Mourinho sampai meminta bantuan seorang pastur untuk menjadi stafnya. Pastur bernama David Barreirinhas itu ditugaskan khusus oleh Mourinho untuk menyelami keadaan psike para pemainnya. Tujuannya hanya satu, untuk mengeluarkan seluruh potensi terbaik yang dimiliki oleh para pemainnya.

“Banyak cara untuk menjadi pelatih hebat, tapi saya percaya kesulitan terbesar adalah memimpin sekumpulan pria dengan kultur, kemampuan, serta kualitas yang berbeda. Saya pikir kecermatan dalam mengelola hal tersebut adalah hal paling penting,” ucap Mourinho menambahkan.

*****

Catatan kaki:

Kini, dalam periode kedua kariernya di Chelsea, Mourinho tampak kepayahan. Titel Piala Liga yang baru diraih musim ini jelas bukan sesuatu yang memuaskan Roman Abramovich. Mungkin ada baiknya jika Mourinho menepi sejenak, menyelami keadaan psike miliknya dan mulai memahami bahwa saat ini dirinya tak lagi menggenggam dunia.

 

Komentar