Kaki Kiri Brandi Chastain

17 Juni 1994, lebih dari 94 ribu orang di stadion Rose Bowl, Pasadena, California menjadi saksi salah satu momen paling dramatis sekaligus memilukan dalam sejarah sepak bola. Ketika itu, di bawah terik mentari musim panas California yang menyengat, Roberto Baggio yang diharapkan mampu kembali menjadi penyelamat Italia gagal mengeksekusi penalti kelima dalam babak adu penalti final Piala Dunia 1994. Gli Azzurri pun akhirnya harus pulang dengan tangan hampa dan merelakan Brasil menjadi negara pengoleksi empat gelar juara dunia pertama.

Lima tahun setelah final dramatis tersebut, stadion yang dibangun pada tahun 1922 itu kembali sesak oleh nafas yang tertahan. Sudah 120 menit laga antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok berjalan namun papan skor tetap bergeming. Di bawah terpaan matahari bulan Juli yang terik, butir peluh yang meluncur ke tanah pun sudah tak terhitung, namun kedua kesebelasan terus menegasi satu sama lain hingga akhirnya pemenang harus dicari (lagi-lagi) lewat adu penalti.

Laga tersebut merupakan partai puncak turnamen Piala Dunia Wanita edisi ketiga. Amerika Serikat yang diperkuat tujuh veteran Piala Dunia 1991 – ketika mereka menjadi juara – di starting line-up melaju ke final setelah pada babak-babak sebelumnya menyingkirkan Denmark, Nigeria, Korea Utara, Jerman, dan Brasil. Sementara itu, Tiongkok yang mengandalkan Sun Wen – top skorer turnamen – menyisihkan Swedia, Ghana, Australia, Rusia, dan Norwegia.

Untuk menghadapi babak tos-tosan tersebut, Lauren Gregg, asisten pelatih Tony DiCicco pun menyiapkan daftar penendang yang akan disiapkan untuk menjadi eksekutor. Lima nama utama yang diajukan Gregg kepada DiCicco adalah sang kapten Carla Overbeck, Joy Fawcett, Kristine Lilly, Mia Hamm, dan Julie Foudy. Kelima pemain ini merupakan merupakan anggota skuat juara dunia 1991 di Tiongkok.

DiCicco, yang pada 1991 merupakan asisten pelatih Anson Dorrance, setelah melihat daftar yang diberikan Gregg berkata, “Aku suka dengan daftar (yang kau buat) ini, tetapi coba kau tukar Julie (Foudy) dengan Brandi (Chastain).” DiCicco menganggap, Chastain adalah seorang pemain yang mampu mengatasi tekanan tinggi dan akan bersedia apabila diberi tanggung jawab menjadi eksekutor pada babak adu penalti.

Brandi Chastain, wanita asal San Jose, California, kala itu ditempatkan Gregg sebagai penendang nomor enam. Alasannya adalah, pada tahun tersebut, rekam jejak eksekusi penalti Chastain sedang tidak bagus. Malah, pada bentrokan dengan Tiongkok sebelumnya pada ajang Piala Algarve 1999, wanita yang sempat berkuliah di University of California-Berkeley ini gagal menyarangkan bola dari titik putih ke gawang Gao Hong. Tiongkok pun keluar sebagai pemenang pada laga tersebut dengan skor 2-1.

Dalam wawancara dengan Deadspin, Chastain, kini berusia 47 tahun, mengakui bahwa ia terintimidasi oleh sosok Gao Hong.

“Ia (Gao Hong) berdiri tepat di depanku dan seperti mengonfrontasi diriku, seperti dua petinju di atas ring. Itu benar-benar melemahkanku. Ia memiliki keunggulan psikis kala itu,” tutur Chastain.

Kegagalan tersebut, menurut DiCicco, dikarenakan oleh mudahnya kiper lawan memprediksi arah tendangan Chastain. Dalam wawancara yang sama, DiCicco mengatakan bahwa Chastain selalu menendang dengan kaki kanan ke arah kanan dari penjaga gawang lawan dan hal itu membuat eksekusi alumnus Santa Clara University menjadi mudah dibaca. Akhirnya, DiCicco pun menyarankan Chastain untuk melatih tembakan kaki kirinya, karena menurut DiCicco, pemain bernomor punggung enam tersebut harus menunjukkan sesuatu yang berbeda kepada kiper lawan.

Brandi Chastain adalah sosok pemain yang mampu beradaptasi dengan baik. Ketika ia menjadi anggota skuat juara Piala Dunia pada 1991, ia masih berposisi sebagai penyerang. Saat itu ia memang belum menjadi andalan di lini depan karena masih ada sosok April Heinrichs dan Carin Jennings yang bersama Michelle Akers menjadi tridente maut lini serang Amerika Serikat.

Cedera lutut kambuhan yang sudah ia derita sejak masih di bangku universitas kemudian memperlambat gerak Chastain hingga akhirnya ia beralih posisi menjadi seorang bek, meski kadang, ia juga sesekali dimainkan sebagai gelandang. Adaptasi posisi ini sempat membuat dirinya menbuat gol bunuh diri dalam laga perempatfinal Piala Dunia 1999 kontra Jerman, meski akhirnya ia membayar tuntas kesalahan tersebut lewat gol penyama kedudukan pada laga yang sama. Selama 16 tahun membela timnas Amerika Serikat, 192 caps berhasil dikumpulkan wanita bertinggi 170 cm ini dengan 89 di antaranya ia lakoni sebagai pemain belakang.

Tingginya kemampuan adaptasi Chastain ini membuat dirinya kemudian mampu secara fasih melakukan eksekusi penalti dengan kaki kiri. Ketika kedua tim sedang melakukan persiapan sebelum adu penalti, Chastain yang sedang melakukan peregangan dihampiri oleh Gregg dan ditanya apakah ia mau menjadi eksekutor tendangan penalti. Secara instingtif, Chastain pun menjawab “ya” dan menyanggupi permintaan tersebut.

Gregg pun kemudian melaporkan jawaban Chastain kepada sang pelatih kepala, DiCicco, dan akhirnya kembali mendatangi Chastain. “Kau akan menjadi eksekutor, tetapi kau harus melakukannya dengan kaki kiri,” ujar Gregg kepada Chastain.

Chastain memang sudah sering melatih kedua kakinya dengan berbagai jenis tendangan, akan tetapi, ia belum pernah sekali pun mengeksekusi penalti – apalagi pada partai seketat final Piala Dunia – dengan kaki kiri.

Papan skor menunjukkan angka 4-4 ketika giliran Chastain tiba. Keuntungan, sekaligus tekanan, ada di pihak Amerika Serikat. Setelah eksekutor ketiga Tiongkok, Liu Yin, gagal menaklukkan penjaga gawang Briana Scurry, Amerika Serikat hanya butuh satu gol untuk bisa mengangkat trofi Piala Dunia untuk kali kedua. Bagi Chastain sendiri, eksekusi ini selain akan menjadi penentu hasil pertandingan, juga sudah memasuki ranah personal karena ia harus kembali berhadapan dengan Gao Hong yang sebelumnya sudah mengalahkannya.

Brandi Chastain berjalan langkah pasti dari tengah lapangan menuju kotak penalti. Namun rupanya, kegagalan di Piala Algarve masih sedikit menghantui Chastain. Untuk mengatasi hal itu, ia berulangkali berkata kepada dirinya sendiri untuk tidak melakukan kontak mata dengan Gao Hong, karena ia tak akan mengizinkan hal tersebut untuk terulang kembali.

Setelah meletakkan bola di titik putih, Chastain dengan cepat berbalik badan untuk mengambil ancang-ancang. Ia menghela nafasnya sejenak untuk mengumpulkan keberanian dan keyakinan. Rambut pirangnya yang sempat menutupi pandangan karena tersapu angin ia sibakkan ke balik telinga. Tak seperti Baggio yang mengambil ancang-ancang sampai ke luar kotak penalti, hanya ada enam langkah yang diambil Chastain untuk ancang-ancangnya.

Matanya kemudian mengincar sudut kiri atas gawang Gao Hong. Ia akan menyepak bola ke sana. Ke pojok terjauh yang takkan mampu digapai sang musuh bebuyutan.

Sesaat setelah wasit Nicole Petignat dari Swiss meniup peluitnya, Chastain langsung berlari mendekati bola dan menghajarnya sekuat tenaga.

Gol! Bola bersarang telak di pojok kiri atas gawang Gao Hong yang sebenarnya sudah mampu membaca arah tendangan Chastain. Ketegangan yang selama lebih dari dua jam mengungkung Rose Bowl seketika sirna dan sorak sorai pun membahana.

Chastain yang sadar bahwa ia baru saja mengantarkan negaranya menjadi jawara untuk kali kedua berbalik badan menatap rekan-rekan setimnya yang berlari ke arahnya. Ia pun kemudian mengepalkan tinjunya ke udara dan – tanpa diduga – melepas seragamnya serta meninggalkan sport bra berwarna hitam menjadi pembungkus tubuh bagian atasnya.

Chastain kemudian berlutut seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sebelum larut dalam selebrasi bersama rekan-rekannya. Diiringi gemuruh sorak sorai Rose Bowl, Julie Foudy, pemain yang seharusnya ada di posisi Chastain, memeluk Chastain yang berbaring di rumput. Timnas Wanita Amerika Serikat menjadi juara dunia untuk kedua kalinya sekaligus membalas dendam mereka atas Tiongkok di Piala Algarve.

Wartawan foto Sports Illustrared, Robert Beck mengabadikan momen berlututnya Chastain tersebut dan menjadikan foto tersebut sebagai salah satu foto paling ikonik dalam sejarah Amerika Serikat. Selain muncul di Sports Illustrated, foto tersebut juga menghiasi hampir seluruh kover majalah dan halaman depan surat kabar Amerika Serikat, termasuk Time dan Newsweek.

Itulah gelar juara dunia terakhir Amerika Serikat hingga saat ini. Pada tahun 2011 lalu, Amerika Serikat sebenarnya mampu melaju ke final. Sayang, ketika itu mereka harus takluk 1-3 dari Jepang pada babak adu penalti, setelah bermain imbang 2-2 pada waktu normal dan perpanjangan waktu.

Saat ini, Amerika Serikat kembali ambil bagian pada perhelatan Piala Dunia Wanita yang sedang berlangsung di Kanada. Dari 23 pemain yang dibawa, ada satu veteran Piala Dunia 1999 yang tersisa, yakni Christie Rampone (39 tahun) yang sudah memiliki 306 caps timnas. Akankah Amerika Serikat kembali berhasil membawa pulang trofi Piala Dunia sekaligus membuktikan bahwa anggapan bahwa mereka gagal beradaptasi dengan perkembangan pesat sepak bola wanita salah? Mari kita nantikan!

 

Komentar

This website uses cookies.