Kegagalan Berlapis di Stade Velodrome, Marseille

Eropa sedang berada dalam ujian berat, dan kita tidak hanya berbicara soal negara per negara, melainkan soal Eropa, sebagai sebuah identitas tunggal.

Segala permasalahan yang melanda Eropa boleh jadi dimulai sejak krisis Eurozone mulai melanda pada 2009. Hal ini kemudian disusul oleh berbagai macam isu krusial lain mulai dari melonjaknya angka pengangguran, kemunculan gerakan-gerakan ekstrem kanan, invasi Rusia ke Ukraina, gelombang pengungsi yang tak kunjung berhenti dan telah menimbulkan masalah, aksi teror banal di Paris, hingga yang paling baru, soal Brexit.

Euro 2016, sebagai salah satu event paling dinanti di Eropa pun tak luput dari masalah. Diselenggarakan di Prancis, banyak pihak yang sedari awal telah memperkirakan bahwa masalah akan terjadi pada gelaran kali ini.

Wajar, karena umur teror Paris pun belum genap satu tahun. Hingga kini pun, negara yang melahirkan Voltaire tersebut masih berada dalam state of emergency atau kondisi darurat nasional. Puluhan ribu aparat keamanan, mulai dari polisi, gendarmerie, hingga tentara, disiagakan untuk mengamankan acara empat tahunan ini.

Namun, siapa sangka bahwa alih-alih dari “luar”, serangan terberat yang menimpa gelaran Euro 2016 kali ini justru datang dari “dalam”. Alih-alih teroris, mereka yang menodai turnamen ini justru musuh laten sepak bola itu sendiri: hooliganisme. Dan di sini, Prancis kecolongan.

Sudah sejak jauh-jauh hari, otoritas keamanan Inggris menyuarakan kegelisahan mereka akan jadwal pertandingan antara Inggris dan Rusia yang diselenggarakan pada akhir pekan.

Menurut mereka, menyelenggarakan partai berisiko tinggi pada Sabtu malam adalah bunuh diri, mengingat kultur minum-minum para suporter Inggris yang amat kuat, khususnya pada akhir pekan.

Benar saja. Sehari sebelum laga, masalah sudah bermunculan di jalan-jalan Marseille.

Singkatnya begini. Bentrokan terjadi antara suporter Inggris dengan aparat keamanan dan suporter Inggris dengan warga lokal (di mana ultras Olympique Marseille, entah dari faksi mana juga turut serta). Provokasi dilakukan baik oleh maupun terhadap suporter Inggris, hingga akhirnya keributan pun pecah.

Keesokan harinya, situasi Marseille justru bertambah panas di mana kali ini, suporter Rusia-lah yang menjadi pelakunya. Sejak sebelum laga dimulai, para fans Rusia sudah mulai memburu dan menyerang para fans Inggris di jalanan.

Mereka, pada umumnya memang sudah berencana untuk melancarkan serangan tersebut, terlihat dari “lengkapnya perlengkapan tempur” mereka. Hal ini kemudian memuncak seusai peluit akhir pertandingan ditiup Nicola Rizzoli, ketika suporter Rusia menyerbu kedudukan fans Inggris di dalam stadion.

Ketika menyaksikan sebuah foto yang menunjukkan sekawanan suporter Inggris berusaha melarikan diri dengan memanjat pagar, saya tidak bisa mengenyahkan gambaran Tragedi Heysel dari pikiran.

Bagaimana korban jiwa bisa dengan mudahnya jatuh ketika ratusan orang terhimpit dalam kepanikan. Bagaimana jika ada bagian stadion yang runtuh dan menimpa mereka yang coba menyelamatkan diri. Bagaimana itu semua bisa saja dihindarkan jika saja ada segregasi yang layak antara suporter Inggris dan Rusia.

Pada Tragedi Heysel, 39 jiwa melayang sia-sia setelah sekelompok hooligans Liverpool menyerbu tempat pendukung Juventus berada menyusul perang suar yang terjadi beberapa menit sebelumnya.

Permasalahannya adalah, tribun yang ditempati sebagian besar pendukung Juventus tersebut seharusnya merupakan area netral, namun, panpel kecolongan karena jatah tiket tersebut justru kemudian dijual kembali kepada para pendukung Juventus. Padahal, area netral tersebut berbatasan langsung dengan para suporter Liverpool. Alhasil, tragedi pun tak terhindarkan.

Apa yang terjadi di Velodrome memang (syukurnya) tidak sama persis dengan Heysel. Meski begitu, insiden tersebut menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi oleh tuan rumah.

Sebelum peluit pertandingan Inggris kontra Rusia dibunyikan misalnya, ada satu insiden yang banyak luput dari perhatian, yakni ketika tembakan pistol suar meluncur dari tribun pendukung Rusia ke arah tribun suporter Inggris.

Ini jelas merupakan tanda tanya besar. Bagaimana bisa benda seperti pistol suar bisa masuk ke dalam stadion?

Selain itu, masalah tindakan polisi yang berada di dalam stadion juga dipermasalahkan. Ketika para suporter Rusia telah memasuki area suporter Inggris, para polisi tidak melakukan apa-apa untuk mencegah aksi kekerasan berlanjut.

Mereka justru hanya bereaksi dengan menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Hal ini, selain tidak membedakan mana pelaku mana korban, juga terbukti tidak mampu membubarkan massa.

Alih-alih bubar, gas air mata justru membuat kepanikan dan risiko munculnya korban karena terinjak-injak bertambah. Tanya saja Rebekah Vardy kalau tak percaya.

Memang harus diakui bahwa suporter Inggris bukan malaikat. Mereka sudah pernah mengacau di Marseille 18 tahun silam dan di Charleroi, Belgia, dua tahun sesudahnya. Dengan rekam jejak yang penuh noda hitam, mudah memang untuk membenci dan mendiskriminasi mereka.

Bagaimana mudahnya polisi di Marseille memukuli dan menembakkan gas air mata kala fans Inggris mulai mengacau di jalanan menjadi bukti. Memang benar bahwa fans Inggris melakukan provokasi dengan menyebut-nyebut ISIS, akan tetapi, tidak selayaknya aparat keamanan bertindak sereaktif itu. Lagipula, kebanyakan dari suporter Inggris hanyalah orang-orang mabuk yang gagal mengontrol bicara.

Jika aparat keamanan sudah mendiskriminasi para suporter Inggris sejak dalam pikiran, bagaimana bisa kemudian mereka berlaku adil ketika para suporter Inggris diserang oleh kelompok suporter lain?

Jika dipikir-pikir, tindakan aparat keamanan di dalam stadion tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa tidak masalah jika suporter Inggris diserang, toh mereka suporter Inggris.

Lho, kalau memang hooligans melawan hooligans ya mungkin tidak apa-apa kalau dibiarkan, tetapi bagaimana dengan mereka yang datang dengan niat murni untuk menonton sepak bola? Bagaimana dengan wanita, anak-anak, dan orang tua?

Prancis dan UEFA memang kecolongan kali ini. Mereka sepertinya lupa bahwa sepak bola tidak akan pernah murni tentang sepak bola itu sendiri.

Pada fase kualifikasi lalu, UEFA sebenarnya sudah diingatkan akan hal ini, yakni ketika suporter Kroasia mengacau di Genoa dan ketika laga Serbia kontra Albania berakhir ricuh akibat insiden drone.

Memang betul bahwa fokus utama pengamanan Euro 2016 kali ini terletak pada operasi antiteror, akan tetapi, seperti yang juga telah terjadi pada Euro 2012, suporter sepak bola juga merupakan sumber ancaman yang tak sepele.

Sebagai wilayah dengan sejarah yang berdarah, Eropa sejatinya merupakan sebuah identitas supranasional yang rentan. Sepak bola, sebagai olahraga rakyat, kemudian seringkali digunakan sebagai sarana artikulasi politik jalanan.

Jorge Luis Borges boleh menyebut bahwa sepak bola adalah olahraganya orang bodoh, akan tetapi kenyataan berkata lain. Di balik aksi yang terkesan acak dan bodoh, selalu terdapat penjelasan psikososial yang inheren.

Ketika suporter Kroasia mengacau di Genoa misalnya, Dario Brentin menuliskan bahwa sejatinya hal tersebut merupakan teriakan minta tolong dari para suporter yang merasa bahwa kediktatoran Dinamo Zagreb Zdravko Mamic sudah kelewat batas.

Mereka ingin agar UEFA, sebagai induk organisasi sepak bola di Eropa melakukan intervensi terhadap situasi persepakbolaan Kroasia. Kemudian, jika mau jujur, alih-alih bodoh dan acak, suara-suara sumbang Neo-Nazisme dari tribun stadion sejatinya juga merupakan artikulasi politik, terlepas dari apa pun afiliasinya.

Apa yang terjadi dengan suporter Inggris pun demikian. Racauan soal ISIS, Perang Dunia II, dan Brexit yang mungkin kelewat batas menjadi penyebab mengapa aparat keamanan yang sudah tegang uratnya bisa dengan mudah bertindak represif. Selain itu, hal ini juga bisa disebut sebagai alasan mengapa warga lokal Marseille juga kemudian turut menyerang para suporter Inggris.

Namun, selain isu high politics yang sensitif semacam itu, politik antarsuporter juga menjadi masalah. Dalam hal ini, menyerang suporter Inggris, sebagai the original hooligans, adalah sebuah kebanggaan tersendiri.

Aneh? Mungkin saja, tetapi sebenarnya ini tidak seaneh yang kita bayangkan. Politik, pada dasarnya adalah struggle for power dan di sini, struggle for power yang terjadi adalah perkara pertaruhan reputasi.

Meski telah “melunak”, sinonimitas suporter Inggris dengan hooliganisme masih terus ada hingga kini, dan para suporter garis keras dari negara lain merasa memiliki “kewajiban” untuk menyingkirkan suporter Inggris dari puncak rantai makanan.

Sebagai respons atas peristiwa di Stade Velodrome, UEFA pada akhirnya telah mengambil langkah konkret. Denda sebesar 150 ribu euro dan “suspended disqualification”, yang berarti, Rusia akan langsung didiskualifikasi jika insiden di dalam stadion terulang kembali, telah dijatuhkan.

Hukuman ini, menurut hemat saya, masih terlalu ringan karena, pertama, Rusia adalah serial offender yang punya potensi besar untuk terus mengulangi kesalahan, dan kedua, Piala Dunia 2018 akan dihelat di Rusia.

Akan tetapi, memang sulit bagi UEFA untuk bersikap tegas terhadap Rusia mengingat kontribusi Gazprom (BUMN gas alam milik Rusia) yang tak kecil terhadap UEFA. Menimbang relasi tersebut, barangkali hukuman yang ada sekarang sudah merupakan langkah paling jauh yang bisa ditempuh oleh UEFA.

Meski begitu, masalah keributan antarsuporter ini merupakan masalah laten yang harus ditangani dengan tidak hanya sekadar sanksi, melainkan langkah preventif. Semua pihak yang terlibat, mulai dari panitia penyelenggara, aparat keamanan, hingga federasi sepak bola masing-masing negara harus terus waspada.

Persiapan jelang pertandingan merupakan kuncinya, dan dengan jelasnya terlihat kekurangan di sana sini pada laga Inggris kontra Rusia, seharusnya pembenahan akan lebih mudah dilakukan.

 

 

Komentar

This website uses cookies.