Orang Indonesia, khususnya pencinta sepak bola, tentu tidak akan pernah lupa dengan SEA Games 1987 yang digelar di Jakarta. Di even multi cabang inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah sepak bola nasional, timnas Garuda berhasil meraih medali emas.
Hari itu tanggal 20 September 1987. Senayan begitu riuh, baik di dalam stadion maupun di luar stadion. Tidak ada angka resmi berapa jumlah penonton yang menyaksikan secara langsung, tetapi banyak yang menyebut tidak kurang dari 100 ribu orang memadati stadion yang dibangun saat era presiden Soekarno tersebut.
Sejarah mencatatnya sebagai salah satu pertandingan sepak bola yang paling banyak disaksikan di negeri ini.
Animo masyarakat yang teramat tinggi jelas tidak tertampung oleh kapasitas stadion. Beruntung bagi mereka yang tidak bisa secara langsung datang ke Senayan atau yang tidak kebagian tiket, bisa menyaksikannya melalui layar kaca. Televisi Republik Indonesia (TVRI) menyiarkan pertandingan puncak cabang olahraga sepak bola ini.
Pertandingan melawan Malaysia itu berlangsung sengit. Kedudukan 0-0 bertahan hingga usai pertandingan sehingga laga pun harus dituntaskan dengan perpanjangan waktu.
Saat perpanjangan waktu inilah, Ribut Waidi tampil sebagai pahlawan. Pemuda kelahiran Pati, 5 Desember 1962, ini mencetak gol pada menit 91. Gol-nya menjadi satu-satunya di pertandingan tersebut dan memastikan Indonesia untuk pertama kalinya meraih medali emas. Sekaligus menghentikan dominasi Thailand dan membenamkan negara tetangga, Malaysia.
Pembentukan timnas Garuda
Pemusatan Latihan (Puslat) untuk membentuk timnas, dulu dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama. Ini demi menciptakan kekompakan tim dan pemantapan strategi yang diterapkan oleh pelatih.
Bertje Matulapelwa mulai membentuk tim ini pada akhir tahun 1985. Targetnya adalah berprestasi di Asian Games 1986 dan SEA Games 1987. Jelas ini beban berat bagi Bertje, lantaran proyek Garuda 1 selesai dengan cara yang tidak mengenakkan. Timnas gagal di SEA Games 1985 setelah takluk tujuh gol tanpa balas dari Thailand. Mental pemain timnas ketika itu hancur.
Tidak hanya itu, ketika itu sedang ada isu tidak sedap adanya ketidakharmonisan pemain yang berbeda liga. Saat itu memang sepak bola memiliki dua liga, yakni liga Perserikatan dan Galatama yang merupakan liga semiprofesional.
Walaupun demikian, Bertje berani ambil resiko dengan tetap memilih memadukan pemain handal dari kedua liga. Pemain-pemain terbaik dari kedua liga dipanggil.
Dari Perserikatan, dipanggil nama-nama tenar seperti Robby Darwis dan Ribut Waidi. Ricky Yakobi dan Nasrul Koto mewakili kebintangan Galatama. Bertje pun tetap menyertakan alumni Garuda 1, seperti Patar Tambunan dan Marzuki Nyak Mad. Di bawah Bertje, semua pemain sama, tidak ada yang lebih punya kebintangan, semuanya punya peran penting dalam tim.
Sebelum terjun ke Asian Games, timnas melakukan latih tanding ke Brasil. Saat itu, Bertje memilih formasi menyerang, 4-3-3 dengan Ricky Yakobi sebagai striker utama. Keberanian Bertje ini berbuah manis di Asian Games 1986.
Timnas berhasil menapaki babak semifinal Asian Games. Timnas kandas di semifinal setelah menyerah 0-4 dari Korea Selatan. Walaupun gagal ke partai final, inilah prestasi tertinggi dalam lembaran sejarah sepak bola nusantara yang belum bisa diulangi hingga kini.
Regenerasi dan menghadapi permasalahan internal
Walaupun punya prestasi bagus di Asian Games, timnas tetap berlatih intensif. Kali ini targetnya medali emas SEA Games. Komposisi pemain dipertahankan dengan sedikit perubahan.
Ada satu perubahan yang menyita perhatian kala itu, saat Bertje dengan berani menunjuk Ricky Yakobi menjadi kapten menggantikan Herry Kiswanto. Padahal saat itu Ricky Yakobi masih berusia 23 tahun, selisih delapan tahun dengan Herry Kiswanto. Bertje beralasan bahwa dia ingin melakukan regenerasi dan hal tersebut dihormati oleh Herry.
Timnas kembali diguncang dengan masalah uang saku yang dianggap terlalu minim. PSSI memberi uang saku pemain “hanya” 750 ribu per bulan. Jumlah yang dipandang terlalu mepet untuk memenuhi kebutuhan.
KONI sendiri menjanjikan akan memberi hadiah 1 juta per pemain untuk medali emas yang bisa diperoleh. Pemain pun menuntut kenaikan uang saku, sayang ketika itu permintaan tersebut tidak digubris oleh PSSI.
Beruntung, kondisi tim bisa dijaga. Berkat Bertje, suasana tim sangat kondusif. Bertje mampu menyuntikkan semangat “kibarkan Sang Merah Putih di langit internasional”. Sutan Harhara, asistennya pun memuji peran Bertje, “Bertje adalah pelatih hebat. Prinsip open management yang diterapkannya mampu menciptakan iklim tim yang kondusif.”
Tidak salah memang jika kemudian Bertje dijuluki “pendeta” lantaran berhasil memadukan talenta sepak bola tanah air dan meredam berbagai permasalahan yang menghinggapi.
Regenerasi dan manajemen tim yang dilakukan Bertje pun akhirnya terbukti cemerlang. Indonesia berhasil melaju ke semifinal setelah menempati peringkat kedua di grup B. Pada 12 September 1987, Indonesia mampu mengalahkan Brunei 2-0.
Pada 14 September 1987, Indonesia bermain imbang tanpa gol menghadapi Thailand. Indonesia pun akhirnya berada di peringkat kedua di bawah Thailand yang unggul produktivitas gol (Thailand menang 3-1 atas Brunei).
Di semifinal, Indonesia mampu mengkandaskan perlawanan Burma (Myanmar) dengan skor 4-1. Dan saat partai final seperti yang sudah diceritakan sebelumnya berhasil mengalahkan Malaysia 1-0.
Lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Senayan. Puluhan ribu penonton histeris menyambut kemenangan ini. Euforia pun tidak hanya terjadi di stadion melainkan di luar stadion, di jalanan Jakarta, dan di berbagai daerah lain di Indonesia.
Pada saat itu, nasionalisme dan rasa kebanggaan sebagai warga Indonesia tentunya membuncah. Siapa pun yang memiliki paspor dan KTP Indonesia pasti berani sedikit mengangkat kepalanya.
Indonesia yang secara resmi mengikuti SEA Games pada 1977 hingga kini baru meraih medali emas cabang sepak bola dua kali, pada tahun 1987 dan 1991. Prestasi sepak bola Indonesia selalu mengalami pasang surutnya.
Skuat inti timnas peraih medali emas SEA Games Jakarta 1987:
Ponirin Meka (Kiper), Jaya Hartono, Robby Darwis, Herry Kiswanto, Marzuki Nyak Mad (Bek), Patar Tambunan, Nasrul Koto, Rully Nere (Tengah), Budi Wahyono, Ricky Yakobi, Ribut Waidi (penyerang)
Tulisan ini didedikasikan pada Ribut Waidi, pencetak gol tunggal kemenangan di final SEA Games 1987 dan pahlawan PSIS Semarang di Liga Perserikatan 1987 yang lahir di Pati 5 Desember 1962 dan meninggal pada 4 Juni 2012, di Semarang.
Pernah tayang di Fandomagz edisi kelima.