Laga klasik antara Real Madrid melawan Barcelona tak sekadar pertandingan sepak bola. Keduanya adalah representasi pertarungan antara pemerintah Spanyol dengan Catalunya yang berniat untuk memisahkan diri.
Catalunya punya sejarah panjang, bahkan disebut lebih panjang daripada Spanyol sendiri. Catalunya sudah ada sejak abad ke-6 hingga ke-9 sebelum masehi (SM) di bawah pemerintahan Romawi. Mereka sempat menjadi kerajaan maritim pada abad 12 dan pernah jadi negara merdeka pada 1810 berkat “bantuan” Napoleon Bonaparte.
Tapi, hal itu hanya berlangsung dua tahun dan akhirnya dikuasai Spanyol. Publik Catalunya kerap tak merasa sebagai bagian dari Spanyol karena identitasnya tak dihargai. Penggunaan bahasa, lagu, dan bendera Catalan dibatasi. Apalagi ketika era kepemimpinan Fransisco Franco.
Untuk itulah Catalan berniat untuk melepaskan diri. Pilihan untuk menjadi negara merdeka tentu punya dampak yang besar, baik untuk Catalan maupun bagi klub Barcelona.
LFP, federasi sepak bola Spanyol, sudah menyatakan tak akan mengizinkan Barcelona berkompetisi di La Liga sesuai dengan hukum olahraga yang berlaku. Jika itu terjadi, tentu itu kehilangan bagi Barcelona, La Liga, dan sebenarnya, kehilangan seluruh pencinta sepak bola, termasuk yang ada di Indonesia.
Tanpa Barcelona di La Liga, berarti tak akan ada pertarungan antara Real Madrid melawan Barcelona yang setidaknya terjadi dua kali dalam setahun.
Laga antara El Real melawan Blaugrana selalu menyita perhatian publik sepak bola dunia. Meski untuk menyebutnya sebagai pertandingan paling panas di sepak bola akan memicu perdebatan, nyatanya pertarungan keduanya adalah salah satu yang paling ditunggu.
Pengelola La Liga sudah menyatakan bahwa selain 80 ribu orang yang akan memadati stadion Santiago Bernabeau di kota Madrid, akan ada 400 juta orang menyaksikan melalui layar televisi.
Jumlah itu jauh lebih besar dibanding laga Liga Primer Inggris yang disebut sebagai liga paling populer di dunia. Juga lebih ramai daripada pertandingan Super Bowl, final American Football yang bertanding memperebutkan Piala Vince Lombardi.
Tentu bisa dibayangkan ada perputaran uang dalam jumlah besar. Pertandingan itu juga jadi daya tarik utama bagi televisi untuk bersedia merogoh kocek demi membeli hak siaran langsung La Liga.
Di Indonesia, musim ini La Liga tak disiarkan sejak awal. Penggemar Liga Spanyol pun cemas kenapa kompetisi kesayangannya tak disiarkan. Di sisi lain, pihak televisi berhitung untung rugi jika membeli hak siar La Liga.
Hanya laga bertajuk El Clasico yang memiliki nilai jual tinggi. Hal ini berbeda dengan Liga Inggris yang meski tak punya prestasi gemilang di kancah Eropa, klub besarnya selalu menjadi daya tarik dan punya fans paling banyak.
Jika tanpa El Clasico, hak siar La Liga tentunya makin tak diminati. Sulit membayangkan Liga Spanyol tanpa rivalitas antara Real Madrid dengan Barcelona, meski ya ada klub lain yang bersinar dan mulai konsisten seperti Atletico Madrid, Villareal, dan lainnya. Tapi, pesonanya masih terlalu jauh jika dibandingkan dua klub besar itu.
Apabila nantinya Catalan merdeka dan tak ada lagi El Clasico, hampir bisa dipastikan tak ada lagi siaran langsung Liga Spanyol di Indonesia. Ini jelas kerugian bagi bangsa ini, bangsa yang dikenal sebagai bangsa penonton sepak bola.