Sejak pertama kali menjabat sebagai presiden klub Real Madrid, Florentino Perez sudah menghamburkan uang sedikitnya 663,7 juta euro untuk pemain-pemain dengan label galactico. Jumlah ini belum termasuk uang yang ia keluarkan untuk Michael Owen (8 juta euro plus Antonio Nunez) dan pemain-pemain substandar yang ia beli untuk menambal kesalahan fatalnya melego Claude Makelele (Thomas Gravesen, Carlos Diogo, dan Pablo Garcia).
Dengan uang sebesar itu, Perez tentu mengharapkan gelar Liga Champions ̶ sebagai gelar juara paling prestisius di Eropa, khususnya, menjadi gelar yang dengan mudah diraih setiap musimnya. Sialnya, selama 14 musim ̶ yang dibagi dalam dua periode berbeda ̶ ia berkuasa, hanya dua kali Si Kuping Besar berhasil dibawa pulang.
Real Madrid adalah klub yang identik dengan pemain-pemain berteknik olah bola tinggi nan glamor. Sebelum Perez, presiden klub yang namanya diabadikan menjadi nama stadion Los Blancos, Santiago Bernabeu pun sudah menerapkan kebijakan serupa, khususnya pada dekade 1950-an s/d 1960-an.
Kala itu, Bernabeu berhasil mendatangkan pemain-pemain kelas dunia dalam diri Alfredo di Stefano, Ferenc Puskas, Raymond Kopa, Jose Santamaria, dan Francisco “Paco” Gento. Pada periode ini, hasil yang diperoleh Real Madrid jauh lebih fenomenal dibanding era Perez. Enam trofi Piala Eropa (sekarang bernama Liga Champions) berhasil dipersembahkan oleh generasi galacticos pertama ini.
Meski identik dengan pemain-pemain glamor dan flamboyan, ada suatu masa di mana Real Madrid justru identik dengan pemain-pemain lokal yang lebih mengandalkan otot ketimbang teknik: dekade 1980-an.
Pada masa itu, klub berseragam putih-putih ini identik dengan sepak bola yang kurang lebih mirip dengan apa yang saat ini menjadi ciri khas Atletico de Madrid. Alih-alih flamboyan, mereka suka bermain cepat, agresif, dan keras.
Asal muasal nama
Pada musim 1983/1984, Castilla berhasil menjadi jawara Segunda Division. Berada di bawah asuhan legenda klub, Amancio Amaro yang juga merupakan bagian dari tim galacticos era Bernabeu, Castilla berhasil mengungguli Bilbao Athletic, Hercules Alicante, Racing Santander, dan Elche untuk meraih gelar Segunda Division.
Tim tersebut dipimpin oleh seorang pemuda yang kelak akan menjadi salah satu penyerang terbaik Real Madrid sepanjang masa, Emilio Butragueno.
Butragueno tidak sendirian. Seperti halnya Class of ’92, Class of ’84 ala Real Madrid ini juga beranggotakan beberapa pemain. Ada empat pemain lain yang menjadi tulang punggung tim kala itu.
Empat pemain tersebut adalah Manuel “Manolo” Sanchis (sweeper), Michel (winger), Rafael Vasquez (gelandang), dan Miguel Pardeza (penyerang). Oleh Julio Cesar Iglesias, seorang wartawan suratkabar El Pais, kelima pemain tersebut diberi julukan La Quinta del Buitre, dengan Butragueno yang berjuluk El Buitre (Si Burung Nasar) menjadi pemimpinnya.
Nama tersebut sedianya akan digunakan sebagai judul artikel oleh Iglesias. Namun, oleh editornya, ia disarankan untuk menambahkan nama Amancio karena menurut sang editor, menulis artikel in-depth tentang segerombolan bocah tanpa menyertakan nama Amancio rasanya terlalu berlebihan. Kemudian, jadilah artikel yang terbit pada 14 November 1983 tersebut diberi judul Amancio y La Quinta del Buitre. Amancio dan La Quinta del Buitre.
Melihat dari tanggal terbitnya, artikel tersebut jelas ditulis pada awal musim. Meski ada kesan perjudian dan prediksi di dalamnya, namun perjudian dan prediksi Iglesias itu terbukti tepat. Kecuali Michel, semua anggota La Quinta del Buitre menyicipi debut bersama tim utama Real Madrid yang diasuh Alfredo di Stefano pada musim tersebut.
Kiprah La Quinta del Buitre
Sanchis dan Vasquez menjadi dua nama pertama dari grup ini yang melakoni debut tim senior. Pada laga tandang kontra Real Murcia, Di Stefano memutuskan untuk menjajal kedua pemain muda ini.
Hasilnya tak mengecewakan. Bahkan, pada pertandingan tersebut, Sanchis juga mencetak gol debut bagi klub yang tak pernah ditinggalkannya ini. Beberapa pekan kemudian, giliran Pardeza menyusul untuk melakoni debut tim senior, meski hanya bermain selama tujuh menit.
Pada 5 Februari 1984, sang pemimpin grup, Butragueno akhirnya mendapat kesempatan di tim utama. Debut Butragueno pun menjadi salah satu debut terbaik yang pernah ada. Ia masuk saat Los Merengues tertinggal 0-2 dari tuan rumah, Cadiz. Butragueno pun mengamuk. Dua gol dan satu asis ia torehkan untuk memberi kemenangan bagi Real Madrid.
Memasuki musim 1984/1985, pos kepelatihan Real Madrid diambilalih oleh Amancio. Di bawah pelatih yang membesarkan mereka inilah La Quintra del Buitre dipersiapkan untuk menjadi tulang punggung tim.
Sayang, hanya empat dari lima anggota yang pada akhirnya benar-benar mampu menjadi tumpuan tim. Miguel Pardeza kesulitan untuk bersaing hingga akhirnya dipinjamkan ke Real Zaragoza pada musim 1985/1986. Dua musim berselang, Pardeza hijrah secara permanen ke Zaragoza dan menjadi legenda di sana.
Pada musim 1984/1985, Real Madrid tak berkutik menghadapi Barcelona asuhan Terry Venables yang sudah lebih mapan. Menjelang akhir musim, Amancio pun digantikan oleh legenda klub lain, Luis Molowny.
Di bawah Molowny, Real Madrid berhasil membawa pulang trofi Piala UEFA setelah mengalahkan klub Hungaria, Videoton pada partai puncak. Musim berikutnya, gelar Piala UEFA berhasil dipertahankan serta melengkapi trigelar (bersama gelar La Liga dan Piala Raja) Real Madrid musim itu.
Sampai tahun 1990 di mana Vasquez memutuskan untuk hengkang ke Torino usai Piala Dunia, Real Madrid meraih 10 gelar domestik (lima gelar juara liga, satu Piala Raja, satu Piala Liga, dan tiga Piala Super Spanyol) serta dua gelar Eropa (dua gelar Piala UEFA).
Sayangnya, tak sekali pun mereka berhasil meraih gelar juara Liga Champions. Hal ini menjadi cacat besar generasi ini yang membuat mereka seringkali agak terlupakan.
Dari lima anggota La Quinta del Buitre, hanya Sanchis-lah anggota grup yang berhasil meraih gelar Liga Champions, yakni pada tahun 1998 (mengalahkan Juventus) dan tahun 2000 (mengalahkan Valencia). Selain itu, Sanchis juga menjadi satu-satunya anggota La Quinta del Buitre yang menjadi one man club.
Butragueno meninggalkan El Real pada musim 1995/1996 untuk bergabung bersama klub Meksiko, Celaya. Pada musim berikutnya, Michel pun menempuh jejak serupa.
Warisan sejarah
Meskipun pada awalnya nama La Quinta del Buitre hanya digunakan untuk menjuluki para pemain tersebut, pada akhirnya nama ini melekat dan menjadi identitas bagi tim Real Madrid pada paruh kedua dekade 1980-an. Di bawah Luis Molowny, Leo Beenhakker, dan John Benjamin Toshack, Real Madrid menjelma menjadi kekuatan domestik mengerikan dengan ciri khas permainan keras.
Ketika tim galacticos milik Perez sedang memble, para pendukung Real Madrid seringkali membawa-bawa nama generasi ini sebagai bentuk kritik dan pengingat bahwa bermain bagi Real Madrid adalah kebanggaan yang tak ada duanya.
Selain itu, generasi yang didominasi pemain-pemain homegrown ini juga merupakan simbol kebanggaan identitas sebagai warga kota Madrid. Identitas yang jelas tak dimiliki para megabintang impor era galacticos Perez.
La Fabrica sebenarnya tak pernah berhenti menghasilkan pemain-pemain hebat. Setelah generasi La Quinta del Buitre, misalnya, ada nama-nama besar lain seperti Raul Gonzalez, Guti Hernandez, Iker Casillas, Esteban Cambiasso, Juan Manuel Mata, sampai Alvaro Morata.
Barangkali, ketika kelak Perez sudah tak mampu mau lagi memimpin Real Madrid, akan ada generasi yang bertumpu pada alumni akademi seperti ini lagi.