Liaoning FC: Raja yang Kehilangan Singgasananya

Selama beberapa tahun terakhir, Liga Super Cina menggeliat. Penyebabnya apalagi kalau bukan kemampuan para kontestan di liga tersebut dalam menarik banyak sekali pemain bintang.

Misalnya saja Guangzhou Evergrande yang mendatangkan Paulinho, Jiangsu Suning dengan Eder Citadin dan Joao Miranda, Shanghai Shenhua yang dihuni Stephan El Shaarawy, sampai Shanghai SIPG yang memboyong Hulk serta Oscar.

Kondisi perekonomian Cina yang terkatrol naik secara global bikin tim-tim tersebut ketiban untung. Ya, mereka jadi punya kemampuan merekrut pesepakbola kelas wahid lantaran sang pemilik klub memiliki dana untuk itu.

Tak heran kalau mereka cukup dominan di Negeri Tirai Bambu. Namun tahukah kamu, sebelum klub-klub di atas jadi pusat pemberitaan, ada kesebelasan bernama Liaoning FC yang amat perkasa di dataran Cina.

Liaoning mulai menikmati masa jayanya dalam konstelasi sepakbola Cina saat masih berstatus kompetisi semi-profesional. Dalam ajang bertajuk Jia-A League, klub berjuluk The Northeast Tigers mereguk titel kampiun pada tahun 1987, 1988, 1990, 1991, 1992, dan 1993. Tak cukup sampai di situ, mereka juga menggondol sepasang Piala FA Cina di tahun 1984 dan 1986.

Di tatanan Asia, Liaoning merupakan kesebelasan pertama yang sukses jadi kampiun. Hal itu terjadi saat mereka menjuarai Asian Club Championship 1990 (cikal bakal Liga Champions AFC) usai menekuk wakil Jepang, Nissan Yokohama (kini menjadi Yokohama F. Marinos).

The Northeast Tigers bisa saja menambah gelarnya andai tak keok dari klub Iran, Esteghlal, dengan skor 1-2 kala bertemu di final Asian Club Championship 1991.

Nasib Liaoning berubah drastis justru di saat asosiasi sepakbola Cina (CFA) mengubah Jia-A League sebagai kompetisi profesional per tahun 1994. Berbarengan dengan itu, CFA mulai mengizinkan pembelian klub-klub sepakbola oleh perusahaan. Tak ayal, ada banyak sekali tim sepakbola di Negeri Tirai Bambu yang diakuisisi kepemilikannya.

Kenyataan ini jadi awal keruntuhan Liaoning. Perubahan status dari semi-profesional ke profesional tidak berjalan mulus di tubuh tim. Akibatnya, mereka malah kesulitan bersaing.

Di musim pertama Jia-A League berstatus profesional, The Northeast Tigers sanggup finis di empat besar. Namun pada musim keduanya, mereka mengakhiri kompetisi di posisi buncit dan terpaksa turun kasta ke Jia-B League. Dominasi Liaoning pun patah di awal kiprah profesionalnya.

Cao Guojun, seorang investor bersama beberapa perusahaan besar seperti Liaoning Sport Technology College dan Beijing Jiahua Group, coba meningkatkan nilai investasinya di tubuh klub seraya merekrut mantan pelatih tim nasional Cina, Su Yongshun. Semua itu dilakukan demi mewujudkan ambisi promosi dan kembali berkiprah di kasta teratas. Malangnya, cita-cita tersebut kandas lantaran problem finansial usai para investor menarik diri dari klub.

Barulah di tahun 1998, Liaoning berhasil meraih tiket promosi setelah memuncaki Jia-B League dan beberapa investor baru mau menginjeksikan dananya ke klub.

Tanpa disangka-sangka, sekembalinya ke Jia-A League pada musim 1999, klub yang berkandang di Stadion Tiexi ini langsung finis di peringkat kedua. Berkat capaian itu pula, Liaoning berhak tampil di ajang Piala Super Cina 1999 karena kampiun liga dan Piala FA Cina adalah tim yang sama, Shandong Luneng.

Bertanding di Stadion Hongkou, The Northeast Tigers berhasil mempecundangi sang lawan dengan kedudukan akhir 4-2. Penyerang andalan tim saat itu, Qu Leheng, menjadi bintang utama setelah menceploskan trigol ke gawang Luneng yang dikawal Wang Jun.

Kendati demikian, performa ciamik di tahun 1999 itu tak membuat perjalanan Liaoning semakin mulus di era Jia-A League maupun Liga Super Cina yang dimulai sejak tahun 2004. Mereka begitu inkonsisten dan lebih banyak berkutat di papan tengah serta bawah. Status mereka pun berubah jadi klub semenjana.

Mimpi buruk bagi The Northeast Tigers muncul pada musim 2008. Setelah finis di posisi kedua dari bawah, mereka kudu terelegasi ke China League One (nama anyar Jia-B League semenjak Jia-A League juga diubah menjadi Liga Super Cina).

Beruntung, perubahan cepat di musim 2009 mengantar mereka balik lagi ke Liga Super Cina. Ma Lin yang saat itu duduk sebagai pelatih dinilai sebagai aktor kunci kesuksesan Liaoning promosi. Bahkan, performa klub meningkat drastis saat berkiprah di kasta tertinggi. Pada musim 2011, mereka mampu menyegel posisi ketiga dan berhak tampil di ajang Liga Champions AFC.

Dengan performa konsisten yang diperlihatkan klub, asa lebih mulai meletup-letup di dada pihak manajemen. Ketika tim-tim Liga Super Cina bikin heboh dengan memboyong pemain baru berharga tinggi, Liaoning coba menceburkan kakinya di bursa transfer gila-gilaan itu.

Penggawa Werder Bremen berpaspor Nigeria, Anthony Ujah, dicomot via nominal 13 juta Euro. Harapannya, Ujah dapat memberi perubahan radikal pada skuad.

Akan tetapi, hal tersebut cuma ada di benak manajemen Liaoning saja. Realitanya, kedatangan Ujah menjadi senjata makan tuan sebab ia tak mampu tampil baik selama merumput di Stadion Tiexi. Dari 39 pertandingan yang dilakoninya, Ujah cuma membukukan 10 gol dan 7 asis. Catatan itu tentu jauh berbeda dengan apa yang diukir Elkeson, Hulk maupun Oscar.

Di sisi lain, kebijakan mendatangkan Ujah juga mengubah struktur gaji di tubuh klub. Jika sebelumnya Liaoning membayar para pemainnya dengan nominal yang sesuai dengan kas keuangan klub, semenjak Ujah masuk mereka justru mengeluarkan duit lebih masif untuk seisi skuad.

Penampilan tim yang buruk di musim 2016 berujung pada terdegradasinya mereka ke China League One sekali lagi. Gara-gara itu pula, mereka menanggung kerugian signifikan. Penjualan Ujah ke FSV Mainz dengan harga 3,8 juta Euro tak membereskan problem keuangan yang mendera.

Bak jatuh tertimpa tangga, bermain di divisi kedua bikin suplai dana yang mereka terima tak semasif kala berkompetisi di kasta tertinggi. Gara-gara itu pula, masalah finansial yang menjerat jadi semakin parah. Alhasil, gaji para pemain sering terlambat dibayarkan. Hal ini terjadi pada tahun 2018 dan berlanjut ke tahun-tahun selanjutnya.

Jacob Mulenga, salah satu rekrutan The Northeast Tigers pada tahun 2018, pernah mengeluhkan hal tersebut secara terang-terangan dalam sebuah wawancara.

“Selama tahun 2019, saya belum menerima gaji dari mereka. Saya sudah bermain di Cina selama lima tahun dan klub saya sebelumnya (Shijiazhuang Ever Bright) sangatlah profesional dan semuanya dilakukan tepat waktu. Lalu saya pergi ke Liaoning dan masalah pun dimulai.” keluh pemain asal Zambia tersebut kepada Reuters.

Drama terus berlanjut, mulai dari teguran dari CFA untuk segera melunasi gaji, pemalsuan dokumen oleh Liaoning yang menyatakan bahwa beberapa pemainnya telah menerima gaji beserta bonus, laporan Mulenga dan kawan-kawan kepada induk organisasi sepakbola dunia, FIFA, terkait status kontrak mereka yang masih mengambang sehingga tak bisa pindah dan bermain untuk klub lain.

Problem yang menumpuk itu berujung pada bubarnya Liaoning per 12 Maret 2020 kemarin lantaran bangkrut. Alhasil, sejumlah pemain asing seperti Mulenga bisa menjalani karier di klub baru. Sementara penggawa lainnya memilih bergabung dengan Shenyang Urban, klub yang didirikan eks pemain Liaoning, Zhuang Yi, dan sempat ingin melakukan merger dengan The Northeast Tigers.

Urban sendiri sudah berganti nama menjadi Liaoning Shenyang City Club beberapa waktu lalu dengan harapan kota Shenyang dan provinsi Liaoning bisa kembali merajai sepakbola di Negeri Tirai Bambu serta Asia seperti yang dilakukan oleh The Northeast Tigers di tahun 1980-an dan 1990-an silam.

Apa yang terjadi pada Liaoning merupakan efek dari salah urus sebuah klub profesional. Sebanyak apapun uang yang dimiliki takkan berguna jika manajamen klub tak mampu mengelolanya dengan baik. The Northeast Tigers, bak seorang raja, harus kehilangan singgasananya usai terhunus di medan perang.

Komentar

This website uses cookies.