Sudah lebih dari 30 tahun rumah sepak bola Kota Jogja tidak pernah dijamah perubahan. Sosoknya yang oval dengan empat menara lampu berwarna merah setia mengawani manusia-manusia lapangan hijau di jantung Kota Gudeg. Mandala Krida, sanctuary PSIM Jogja, sedang bersolek menyambut zaman baru.
Tertanggal 30 November 2011, Teguh Raharjo, Kepala Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat itu, mengungkapkan rencana renovasi stadion Mandala Krida. Konon, BPO berinisiatif mengambil alih pengelolaan dari Yayasan Mandala Krida yang dipandang kurang memberikan kasih sayang yang selayaknya kepada stadion yang menjadi kandang PSIM Yogyakarta ini.
“Dahulu periode tahun 1976 hingga 1980-an, setiap orang di DIY memimpikan bermain di Stadion Mandala Krida. Tetapi sekarang, stadion ini malah kurang pamor dibandingkan stadion lain di wilayah DIY karena tidak adanya pembangunan selama kurang lebih 30 tahun,” ungkap Edy Wahyudi kepala BPO DIY yang baru.
Pertengahan tahun 2013, renovasi Mandala Krida mulai dikerjakan. Total, renovasi ini membutuhkan dana hingga Rp158 miliar. Kapasitas stadion akan ditingkatkan menjadi 35 ribu penonton dari yang sebelumnya 25 ribu jika penuh. Selain itu, beberapa sarana pendukung tidak lepas dari proses make-up ini. Mulai dari ruang transit VIP, ruang ganti pemain, ruangan khusus wasit dan panitia penyelenggara, mushala, gudang, hingga kamar mandi.
Untuk tribun tertutup, kapasitas akan ditingatkan dari 5 ribu penonton menjadi 10 ribu dengan tempat duduk terbuat dari papan dengan palisan busa. Tribun di sayap timur yang dahulu berupa tribun terbuka akan disulap menjadi tribun tertutup dua tingkat. Sementara itu, untuk tribun terbuka dapat menampung hingga 20 ribu penonton. Tidak lupa, lintasan lari yang memisahkan lapangan dengan tribun rencananya akan diganti dengan alas karet dari yang saat ini masih beralaskan tanah dan beratap langit.
Selain cabang olahraga (cabor) sepak bola, Mandala Krida akan menjadi rumah bagi cabor olahraga prestasi lainnya, seperti bola voli dan panjat tebing. Bahkan, saat ini bangunan untuk bola voli indoor dan panjat tebing di sebelah selatan stadion sudah selesai dibangun dan sudah dimanfaatkan. Rumah penduduk yang berada di dalam kompleks stadion akan diubah menjadi open space, lapangan basket, dan taman.
Rencananya, arena balap motor akan diperpanjang hinga ke utara dan dapat dimanfaatkan untuk olahraga sepatu roda. Akan ditambahkan juga ruang untuk kafetaria untuk menggelar lapak UKM dan cenderamata khas Jogja. Dari paparan di atas, Mandala Krida akan menjadi lokasi olahraga dan ruang sosial terpadu. Sebuah gerak pembangunan yang seharusnya menjadi penanda zaman baru.
[Best_Wordpress_Gallery id=”7″ gal_title=”Stadion Mandala Krida”]
Zaman baru
Pembangunan stadion yang representatif merupakan langkah positif. Jika pembaca mempunyai waktu luang, silakan berkunjung ke stadion Mandala Krida.
Masuk dan berdirilah di sisi tribun terbuka sebelah selatan yang kebetulan belum direnovasi. Berdirilah persis di tengah-tengah, di belakang gawang dan lintasan lari. Coba sapukan pandangan Anda dari kiri ke kanan. Tampak tribun sebelah barat yang belum direnovasi dan tribun sebelah timur yang sedang dalam tahap renovasi.
Tribun barat nampak bersahaja, klasik, dan di setiap gurat tangganya menyimpan berbagai kenangan lama. Sebuah jejak alur zaman tercetak di tempat itu.
Sementara itu, di sisi timur, di titik tribun bertingkat dua yang nampak megah tergambar wajah baru sepak bola Kota Jogja. Sebuah monumen masa depan yang benar-benar harus disyukuri.
Sapukan pandangan Anda perlahan. Nikmati suara berat derak roda zaman yang berputar di dalam Mandala Krida.
Ketika menyapukan pandangan dari kiri ke kanan, dari sisi “negatif” ke “positif”, coba renungi kembali gejolak sepak bola Indonesia. Mulai dari prestasi yang sudah terukir, angan-angan yang digantung setinggi Gunung Merapi, alunan sorak membahana Indonesia Raya ketika tim nasional berlaga, krisruh suap, pengaturan skor, mafia judi bola, kekerasan suporter, gaji pemain yang tidak dibayar, hingga terhentinya liga.
Kini, sari pati apa yang bisa Anda peras dari jejak sepak bola Indonesia tersebut? Perubahan positif apa yang benar-benar menjadi kenyataan? Zaman seperti apa yang hendak dilukis bola lokal?
Dari renungan sederhana tersebut, Mandala Krida “kebetulan” menyajikan nasihat terbaik bagi pelaku sepak bola lokal. Perubahan pasti terjadi, baik hanya karena gengsi, kebutuhan akan sarana yang mumpuni, atau terbentuknya sebuah visi ekonomi yang “suci”. Perubahan selayaknya menuju pembaharuan. Dari sebuah kekurangan, menuju keadaan yang lebih baik.
Para penentu kebijakan seharusnya paham bahwa melakukan hal negatif untuk menutupi atau mengatasi hal negatif sama saja mengubur sampah lama dengan sampah baru. Jelas, seharusnya sampah lama harus dihancurkan atau setidaknya didaur ulang. Jika hanya dibenamkan dengan sampah baru, yang ada justru melahirkan penyakit baru. Jelas kan.
Dari “sekadar” renovasi stadion, sepak bola Indonesia ternyata bisa belajar banyak. Seperti yang penulis singgung di atas, kompleks Mandala Krida kelak akan menjadi ruang sosial yang terpadu. Di dalamnya, banyak sarana yang saling membutuhkan dan melengkapi secara ideal dengan stadion sepak bola sebagai pusatnya. Situasi ini akan melahirkan rasa keterikatan yang positif dan melahirkan banyak peluang baru. Tentu, cetak biru untuk ruang sosial ini digambar dengan kebijaksanaan dan visi akan masa depan.
Setelah rampung kelak, tantangan bagi Mandala Krida adalah membuat stadion selalu penuh setiap sebuah pertandingan digelar. Intinya sebenarnya, bukan masalah besar atau kecilnya sebuah stadion, namun bagaimana caranya membuat stadion yang “hanya” berkapasitas 35 ribu penonton bisa selalu penuh?
Bukan perkara mudah karena kapasitas 35 ribu penonton akan “terlihat” besar apabila tidak ada “minyak yang melicinkan”. Apa itu? Tentu liga yang sehat, bersih, dan profesional. Sebuah liga yang saat ini masih terasa seperti Neverland.
Pada akhirnya, renovasi Mandala Krida harus disambut dengan senyum tersungging. Sebuah landmark yang kelak diharapkan menjadi panggung perubahan zaman. Perubahan menuju zaman sepak bola Indonesia yang lebih modern dan manusiawi.
Inilah derak roda zaman yang terdengar dari sayup tembok dan pilar Mandala Krida yang baru. Dengarlah deraknya yang lambat. Meski tertatih, perubahan (positif) akan selalu terjadi.