Marina Granovskaia, Perempuan Adidaya di Jagad Sepakbola

Pedri memang sukses menuai sorotan sehabis memenangi penghargaan ‘Golden Boy’ pada Senin (22/11) lalu. Namun guyuran pujian juga tak henti menghampiri Marina Granovskaia yang memperoleh anugerah sebagai direktur klub terbaik Eropa.

Dalam seleksi pemenang penghargaan, ia mengalahkan sosok-sosok yang wajahnya lebih akrab dengan kamera televisi seperti Thomas Tuchel dan Pep Guardiola.

Kepiawaian Granovskaia dalam mengelola Chelsea menghadirkan persepsi baru tentang demonstrasi kekuatan perempuan yang sebelumnya hanya bisa diejawantahkan lewat kekuatan super Sailor Moon atau lesatan panah-panah Putri Srikandi.

https://twitter.com/ChelseaFC/status/1462857944173797376

Granovskaia yang menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Chelsea sejak tahun 2014 lalu adalah tangan kanan kepercayaan Roman Abramovich, pemilik Chelsea, di dunia bisnis sejak dekade 1990-an.

Kontribusi terbesarnya bagi The Blues adalah menjaga neraca keuangan klub tetap stabil meskipun mereka menghabiskan banyak uang untuk belanja pemain.

Selain itu, yang membuat Abramovich amat menyukai kinerja Granovskaia adalah naluri pengambilan keputusan yang brilian dan kemampuan negosiasi yang dipunyai sosok berkewarganegaraan Rusia dan Kanada tersebut.

Keputusan definitif terbaik yang dilakukan Granovskaia dalam setahun belakangan, di antaranya adalah mengganti Frank Lampard dengan Tuchel untuk menjadi arsitek Chelsea.

Keberanian perempuan 46 tahun tersebut menendang Lampard di tengah musim sempat mendatangkan pro dan kontra. Terlebih, Super Frank merupakan legenda klub yang dicintai hampir seluruh fans Singa Biru dari London.

Akan tetapi, Granovskaia berhasil membuktikan ketajaman instingnya buat mempekerjakan Tuchel yang kemudian sukses menghadirkan trofi Liga Champions di akhir musim sekaligus gelar kedua sepanjang sejarah klub dari ajang tersebut.

Hasrat Granovskaia untuk menghadirkan prestasi bagi klub yang mengaryakannya memang tak perlu diragukan lagi.

Selama tujuh tahun kepemimpinannya di London Barat, Chelsea sukses merengkuh dua trofi Premier League, serta masing-masing satu Piala FA, Liga Champions, Liga Europa, Piala Liga, dan Piala Super Eropa.

Berkat prestasi tersebut, Goal menempatkan Granovskaia sebagai sepuluh perempuan paling berpengaruh di dunia sepakbola bersama dengan sosok hebat lain seperti Fatma Samoura, Sekretaris Jenderal FIFA asal Senegal, dan Alex Morgan, ujung tombak Tim Nasional Putri Amerika Serikat.

Forbes bahkan menobatkan Granovskaia sebagai salah satu dari lima perempuan paling berpengaruh di dunia olahraga internasional.

Meski predikat yang disandangnya begitu mengundang decak kagum, apalagi ia meraihnya di sektor yang sudah lama didominasi laki-laki, figur lulusan Fakultas Bahasa Asing Universitas Negeri Moskow tersebut tak secara ujug-ujug duduk di level tertinggi.

Perkenalannya dengan Abramovich pada tahun 1997 silam adalah fondasi dari kedudukan yang saat ini ada dalam genggamannya.

Saat itu, Granovskaia dipercaya oleh Abramovich sebagai asisten pribadi di sebuah perusahaan minyak, Sibneft, yang baru saja diakuisisi oleh sang bos.

Saat Abramovich mengambil alih kepemilikan Chelsea dari Ken Bates pada 2003 lalu, ia turut memboyong Granovskaia ke London untuk kembali menjadi asisten pribadinya.

BACA JUGA:  Saatnya Menikmati Perjalanan Heroik Getafe (Lagi)

Bersama Chelsea, karier Granovskaia terus menanjak dan ia diberi kedudukan sebagai representasi Abramovich sebagai pemilik klub pada 2010.

Pada tahun 2013, perempuan berambut coklat itu masuk ke jajaran board Chelsea, dan puncaknya ia diangkat sebagai CEO tatkala pemangku jabatan sebelumnya, Ron Gourlay, memutuskan untuk pensiun.

Untuk menggapai kedudukan setinggi itu dalam bidang yang didominasi oleh figur pria, tentu saja Granovskaia telah membuktikan jika dirinya adalah sosok yang teramat spesial.

Tak hanya dalam bidang penjualan pemain, keputusan-keputusan yang sering dianggap remeh ternyata punya pengaruh besar bagi keberlangsungan Chelsea sebagai klub sepak bola.

Dari segi sponsorship, Granovskaia telah mengamankan kontrak dengan apparel asal Amerika Serikat, Nike, dengan kerja sama sejak tahun 2017 hingga 2032 mendatang dengan kesepakatan senilai 60 juta Poundsterling per musim.

Menurut Sports Pro Media, Chelsea saat ini mengantongi kesepakatan dengan sponsor utama, Three, sponsor lengan jersei, Hyundai, serta Trivago sebagai sponsor kostum latihan, dan bersama Manchester City dan Manchester United, The Blues menjadi klub dengan pendapatan terbanyak dari jalur sponsor.

Perempuan berumur 46 tahun ini juga berjasa dalam segi pembangunan infrastruktur klub.

Pada tahun 2007, ia menjadi orkestrator pembangunan kompleks latihan Chelsea yang digunakan hingga kini, Cobham. Saat itu, Cobham didesain untuk menjadi pusat latihan kelas dunia yang mengorbitkan bakat-bakat mumpuni.

Cita-cita itu terwujud dalam beberapa tahun terakhir ini tatkala banyak pemain orbitan tim muda Chelsea yang menunjukkan taji di level tertinggi dan jadi tulang punggung tim seperti Reece James, Mason Mount, Trevoh Chalobah, Andreas Christensen, Ruben Loftus-Cheek, dan Callum Hudson-Odoi.

Fikayo Tomori yang “diekspor” ke AC Milan, sejauh ini juga bermain gemilang di Serie A.

Berbicara bakat muda Chelsea, tak lengkap rasanya jika tidak membahas kebiasaan Chelsea dalam menyekolahkan pemain mereka ke klub Belanda, Vitesse Arnhem.

Ternyata, status Vitesse sebagai feeder club bagi Chelsea juga diorganisasi sendiri oleh Granovskaia sebagai sarana belajar bagi talenta-talenta muda milik The Blues seperti Mount dan Nemanja Matic yang sempat menimba ilmu di Belanda lalu kembali ke Chelsea sebagai pemain jadi.

Usut punya usut, pemilik Vitesse, Alexander Chigirinsky adalah teman lama dan rekanan bisnis Abramovich.

Granovskaia punya peranan menjaga relasi tersebut dengan cara mengupayakan terjadinya kesepakatan antara Vitesse dengan Trufone, sebuah perusahaan telekomunikasi kepunyaan Abramovich.

Walaupun beberapa kali terpeleset dalam hal pengelolaan sumber daya kepelatihan, Granovskaia tetap mampu menunjukkan kelihaiannya dalam beberapa kesempatan.

Selain keberhasilannya merekrut Tuchel pada awal tahun ini, beberapa keputusan yang dibuatnya berhasil bikin Chelsea meraup untung dari segi prestasi maupun finansial.

Pertama, ketika Chelsea berniat untuk kembali mendekati Jose Mourinho pada musim panas 2013 lalu yang sebelumnya dipecat pada tahun 2007 akibat berselisih dengan Abramovich.

Granovskaia berhasil mendamaikan keduanya, dan Mourinho kemudian kembali mengabdi di Stamford Bridge dan menyumbangkan gelar Premier League serta Piala Liga.

BACA JUGA:  Kultur Pop, Fesyen dan Sepakbola ala Paris Saint-Germain

Selanjutnya, ketika Chelsea ingin memecat Maurizio Sarri pada musim panas 2019, manajemen The Blues ogah mengeluarkan uang pesangon sebagai syarat pemecatan Sarri.

Akhirnya, Granovskaia turun tangan dan bernegosiasi dengan Juventus yang baru saja ditinggal Massimiliano Allegri supaya mau mempekerjakan Sarri.

Usaha tersebut membuahkan hasil, Granovskaia sukses memulangkan Sarri kembali ke Italia tanpa harus mengeluarkan dana pesangon.

Malahan, Juventus yang harus menebus Sarri dari Chelsea dengan mahar 4 juta Poundsterling.

Keahlian Granovskaia yang paling fenomenal adalah kemampuannya dalam bernegosiasi soal transfer pemain. Pembelian Fernando Torres dari Liverpool pada musim dingin 2011 bisa terjadi karena ada campur tangannya.

Walaupun pembelian tersebut jauh dari kata sukses, memboyong pemain dengan nama tenar seperti Torres di bursa transfer musim dingin sama sekali bukan hal yang mudah. Terlebih, Liverpool merupakan saingan Chelsea di Premier League.

Selanjutnya, Granovskaia terus belajar dari yang awalnya hanya berorientasi untuk mendatangkan pemain bagus, pola pikir tersebut kini berubah menjadi pemain yang datang dan pergi wajib dibanderol dengan harga bagus.

Chelsea pun sukses mengubah citranya yang dulu dikenal sebagai klub boros yang sembrono dalam urusan jual-beli pemain.

Pemain yang bisa Granovskaia jual dengan harga bagus antara lain Eden Hazard yang dilego ke Real Madrid dengan banderol 89 juta Pounsterling yang berpotensi meningkat jadi 150 juta Poundsterling pada musim panas 2019 lalu.

Padahal, kontrak Hazard di Stamford Bridge hanya tersisa satu tahun saja sehingga ia bisa saja terjual dengan harga yang jauh lebih murah.

Selain Hazard, Granovskaia juga melakukan beberapa penjualan yang memberi keuntungan buat Chelsea.

Diego Costa dan Alvaro Morata ke Atletico Madrid, Matic ke Manchester United, Oscar ke Shanghai SIPG, serta yang paling fenomenal penjualan David Luiz ke Paris Saint-Germain dengan mahar 65 juta Pounsterling pada 2014 lalu yang menyebabkan klub ibu kota Prancis tersebut tak dapat membeli Angel Di Maria dari Madrid akibat tersandung regulasi financial fair play (FFP).

Menurut data yang dihimpun dari Football 365, Chelsea menjadi klub dengan pemasukan terbanyak lewat penjualan pemain sejak musim 2015/2016 di Premier League, dengan total penjualan mencapai 652,96 Poundsterling.

Liverpool yang berada di peringkat kedua berjarak cukup jauh dengan total penjualan sebesar 448,4 juta Poundsterling saja.

Walaupun transformasi yang dilakukan Granovskaia tampak begitu nyata, uniknya, ia sama sekali tak suka bersolek di depan kamera.

Bahkan, jurnalis-jurnalis sepak bola sampai tak tahu bagaimana suara dari sosok berjuluk The Iron Lady.

Sama seperti bosnya, Abramovich, Granovskaia lebih senang menutup erat-erat kehidupan pribadinya.

Mungkin, Granovskaia memang lebih senang untuk mengaktualisasikan diri lewat hasil kerjanya yang nyata sebagai pengambil keputusan yang dominan di Chelsea.

Keberhasilan Granovskaia jadi bukti aktual sekaligus inspirasi jika perempuan mampu berprestasi dalam bidang apapun, termasuk dalam bidang olahraga.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06