Masangin dan Sepak Bola: Menutup Mata, Membuka Batin, Melupakan Sampiran

Jika berkunjung ke Alun-alun Kidul, kota Yogyakarta, pembaca bisa mencoba melakukan laku masangin. Masangin adalah laku berjalan melewati dua pohon beringin kurung dengan mata tertutup kain. Mitosnya, bagi yang bisa berjalan lurus melewati dua pohon beringin artinya mempunyai hati yang bersih. Jika direnungkan barang sejenak, laku masangin sendiri merupakan paradoks sepak bola Indonesia saat ini. “Mata dan batin tertutup, sekaligus menegaskan sampiran”.

Laku masangin adalah mitos yang terjaga, dan saat ini boleh dibilang menjadi komoditi wisata kota Yogyakarta. Masangin sendiri tidak menegaskan syarat yang sulit-sulit amat. Pembaca hanya butuh kain penutup mata (di Alun-alun Kidul ada yang menyewakan), dan keikhlasan hati untuk menutup mata, membukan batin, sekaligus melupakan sampiran. Tidak sulit, bukan? Tidak ada yang sulit dengan berjalan lurus. Namun beda cerita jika pembaca berjalan lurus dengan mata tertutup dan tidak tahu arah.

Masangin dan Sepak Bola Indonesia

Di artikel “Percik-percik Pemahaman: Menyoal Negative Space di Luar Lapangan”, penulis berbicara soal visi yang menjadi negative space di luar lapangan bagi sepak bola Indonesia. Salah satu makna dari visi adalah melihat inti persoalan, bukan yang lain. Perhatikan kutipan berikut:

“Melihat inti permasalahan memang bukan tugas ringan karena ada banyak aspek yang musti dibedah. Namun, dari dua laga melawan Thailand dan Vietnam, sering kita melihat pemain terlalu sering menggocek bola. Bukan hanya di dua laga tersebut, timnas U-23 juga sering terlalu lama menggoreng bola ketika masih di babak kualifikasi.”

Kalimat di atas memang tidak bisa dijadikan justifikasi, namun bisa menjadi gambaran bahwa “sampiran” masih terlalu molek ketimbang “isi” bagi sepak bola Indonesia. Alasannya, ketika U-19 masih diasuh Indra Sjafri, timnas mampu menunjukkan bentuk permainan modern dan efisien. Artinya, ada visi (mau memahami) perkembangan sepak bola dunia. Inti masalahnya: kenapa pemikiran demikian tidak dilanjutkan dan justru timnas U23 bermain dengan bentuk yang berbeda dan justru dengan sistem yang “terasa” kuno?

BACA JUGA:  Stadion Kebogiro: Stadion Kecil dengan Rumput Bertaraf Internasional

Begitulah, sepak bola Indonesia bagai melakukan laku masangin. Sayangnya, yang terjadi justru seperti menutup mata, enggan membuka batin, lalu mementingkan sampiran. Di dalam kutipan tersebut tergambar dengan gamblang dua dunia yang bertentangan. Timnas U-23 (sepak bola Indonesia) seperti menutup mata dengan kenyataan yang terjadi (sepak bola ala Indra Sjafri dan perkembangan taktik dunia). Sepak bola Indonesia enggan membuka batin (baca: angkuh) untuk mengakui mana pilihan terbaik dan cenderung stagnan dengan ego pribadi. Ditambah lagi, sampiran selalu lebih elok ketimbang isi, misalnya alibi Aji Santoso.

Maka yang terjadi adalah sifat paradoks dengan laku masangin. Ketika menutup mata untuk memulai laku masangin, pembaca harus benar-benar ikhlas dan fokus. Ikhlas dan fokus artinya melihat ke dalam diri sendiri, menemukan tujuan positif, membuang ego pribadi, dan berjalan di jalan Tuhan. Di sepak bola, kita harus rela menutup mata, khususnya untuk hal-hal yang sifat mendistraksi. Namun, menutup mata tidak sepenuhnya mengacuhkan, melainkan tetap memahami dan mencari dalam keadaan damai. Seperti masangin, kita tidak sekadar berjalan, tetapi menutup mata dan menenangkan gemuruh pikiran.

Untuk menghindari distraksi dan meredakan gemuruh pikiran, sepak bola Indonesia harus senantiasa membuka batin. Kondisi membuka batin artinya menerima bahwa diri kita adalah hanya fragmen kecil dan rendah hati. Penerimaan kondisi tersebut akan menjadi modal ketika belajar memahami dan menerapkan perubahan konsep sepak bola modern dunia. Membuka batin juga meredam rasa angkuh bahwa apa yang sepak bola Indonesia pelajari sejauh ini sebenarnya tidak jauh dari titik nihil. Seperti masangin, kita tidak sekadar berjalan, tetapi membuka batin, tekun belajar menerima dan berjalan dengan rendah hati.

BACA JUGA:  Secercah Harapan dari Timnas Indonesia

Belajar dengan modal rendah hati merupakan berkah ideal untuk menarik saripati sebuah ilmu. Saripati artinya murni, tidak mengandung unsur-unsur lain yang tidak penting. Penulis menyebutnya sebagai sampiran. Di dalam sepak bola, ada banyak unsur modern yang saat ini berkembang, misalnya soal sport science. Banyak klub yang berlomba mengintegrasikan sport science ke dalam kehidupan sepak bola mereka supaya dibilang kekinian. Namun, untuk Indonesia, akan lebih ideal apabila mengembalikan sepak bola ke moda aslinya, yaitu menguatkan taktik dan teknik. Terdengar kuno, namun tanpa isi taktik dan teknik, mau dibawa ke mana sepak bola Indonesia? Apa guna sampiran (Tur Nusantara I dan II misalnya), tanpa mengasah teknik dan taktik.

Akhir kata, sepak bola adalah masangin. Menutup mata mengalahkan ego, membuka hati untuk terus belajar, dan membuang sampiran yang mengganggu perkembangan. Penulis menyebut modal tersebut sebagai mata visi, sebuah penjuru untuk berjalan, bahkan dengan mata tertutup. Pada ujungnya, sepak bola Indonesia membutuhkan mata visi yang bersih dan tegas sebagai guideline menuju sepak bola yang lurus dan penuh berkah.

#COYI #ComeOnYouIndonesia

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.