Mari kesampingkan debat bebal dan banal ala suporter medioker mengenai siapa lebih baik antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Ketika puja-puji akan Messi mengenai kemampuan gemilangnya saat menghajar Arsenal tengah pekan lalu (24/2), sang rival abadi, memiliki cerita lain yang menarik untuk dinikmati.
***
Jelang laga melawan AS Roma di lanjutan babak 16 besar Liga Champions (17/2), Ronaldo yang datang bersama Zinedine Zidane melakukan aksi walk out dari konferensi pers dan menunjukkan kekesalan kepada wartawan usai disinggung mengenai puasa golnya di laga tandang dalam empat pertandingan terakhir Real Madrid.
Bukan berita kemarahan Ronaldo dan jawaban ketusnya mengenai klaim sebagai pemain tersubur perihal gol tandang di La Liga yang menarik. Tapi, sikap dan perilaku Ronaldo ini jauh lebih menarik untuk dikupas karena itu adalah wujud ego dan kesadaran tinggi si pemain tentang kemampuan dan kapasitasnya sebagai pemain bintang yang tidak hanya hebat, tapi juga super.
Ronaldo adalah megalomaniak sejati. Ia paham dan sepenuhnya sadar akan potensi dirinya. Ia tahu ia tampan dan atletis, tidak heran ketika kemudian ia merambah bisnis pakaian dalam dan menjadi model untuk pakaian dalamnya sendiri. Ini bukan aji mumpung. Ronaldo tahu betul cara menjadi enterpreneur hebat walau tak mengenyam pendidikan ekonomi dan bisnis jenjang tinggi di Enterpreneur University di Kota Malang itu.
Dengan ego seluas kompleks latihan Real Madrid di Valdebebas itu, Ronaldo menjadi salah satu bintang dan magnet sepak bola hebat di abad 21 ini. Ia arogan, angkuh dan sombong.
Tapi jangan lupa, ia berhak seperti itu. Ia pemain besar dengan catatan gol yang luar biasa mentereng. Total 246 gol dalam 224 laga sejak datang di tanah Iberia, dengan 102 di antaranya dicetak di laga tandang.
Data statistik itu adalah fakta sahih yang bisa digunakan barisan loyalis-loyalis pribadi sang megabintang untuk menghajar jurnalis sinting yang berani mempertanyakan keringnya rekening gol Ronaldo dalam empat laga tandang sebelum melawat ke Roma dua pekan kemarin (17/2).
Hanya orang gila dan kehabisan akal sehat berani mendebat catatan gol pemain sekelas Ronaldo atau Lionel Messi. Ketika striker-striker hebat daratan Eropa lainnya kesulitan menemukan momentum mencetak gol yang rutin, dua makhluk ektraterestrial ini konsisten mencetak gol di atas 20 bahkan 30 gol dalam satu musim. Di titik ini, kita semua harus sepakat, Ronaldo (dan Messi) memang satu bangsa dengan Picolo yang berasal dari Planet Namec.
Kalau kebetulan Anda menggeluti studi keilmuan tentang sosiologi atau antropologi, fenomena megalomaniak ala Ronaldo cocok betul dijadikan kajian penelitian untuk skripsi.
Dibanding sifat megalomaniak ala Jose Mourinho, Ronaldo memiliki hal yang lebih hebat dari pria paruh baya berstatus pengangguran itu. Jose memang spesial, tapi Ronaldo luar biasa. Jose bergelimang gelar, tapi Ronaldo bertabur gelar bahkan rekor yang jauh lebih banyak dari Jose. Bukan Ronaldo yang mencari rekor atau gelar, tapi sebaliknya, dua hal tersebut yang mencari Ronaldo.
Di titik ini, angkuh dan arogannya Ronaldo adalah cara terbaik untuk memuja dan mencintainya setinggi langit. Ia berhak menjadi megalomaniak dengan deretan prestasi dan rekor yang susah dilewati pencapaiannya dalam beberapa musim mendatang. Realistis saja, selain Lionel Messi, Neymar atau Luis Suarez, siapa contoh pemain yang paling bisa mendekati kapabilitas superhuman pria Madeira ini?
Di lain hal, sifat angkuh Ronaldo juga tercermin ketika ditanya perihal harmonisnya hubungan trio MSN Barcelona yang membuat mereka menjadi deret penyerang tajam di Eropa.
Jawaban Ronaldo yang mengatakan bahwa sepak bola adalah soal prestasi dan tidak perlu relasi harmonis antarpemain adalah wujud ekspresi megalomaniaknya yang lain.
Ketika Messi melakukan operan saat eksekusi penalti guna memberi jalan bagi Suarez untuk mencetak hattrick, Anda sebaiknya tidak perlu membayangkan Ronaldo akan melakukan hal yang sama untuk rekannya di Madrid.
Untuk ukuran pemain yang uring-uringan ketika rekan setimnya menyerobot bola tendangannya untuk dikonversi menjadi gol, Anda harus sadar bahwa basa-basi tentang keharmonisan dan relasi humanis antarmanusia di tim sepak bola adalah omong kosong bagi mantan ikon Manchester United ini.
Ronaldo dengan enteng bilang ia tak perlu mengundang Gareth Bale atau Karim Benzema main ke rumahnya dan melakukan pesta tiap malam untuk menjaga relasi harmonis.
Yang terbaru, usai kekalahan dalam Derby Madrileno (27/2), Ronaldo yang ditemui jurnalis di mixed zone berujar satu kalimat yang syahdu benar sekaligus menegaskan status kebintangannya di Real Madrid, “If we were all at my level, we would be a leaders”.
Jelas sudah kenapa ini bisa dipahami sebagai wujud super ego Ronaldo yang terlampau tinggi. Lihat ekspresi muka kapten Portugal ini tepat ketika Antoine Griezmann menjebol gawang Real Madrid semalam.
Ada kekecewaan. Ada raut muka kesal yang terlampau dalam. Ada gerak badan dan mimik muka yang menyiratkan sebuah kata. “Apa yang saya lakukan bersama kumpulan orang-orang idiot ini, ya?” Ronaldo sangat kompetitif. Dia tahu kapasitasnya. Dia tahu ia hebat. Dia tak peduli ujaran orang tentang dahsyatnya trio Barcelona atau rekor gol Lionel Messi. Ronaldo sangat profesional, angkuh, dan satu fakta lagi yang teramat jelas, bahwa ia adalah salah satu pemain yang sangat hebat dalam satu dekade ini.
Saya membayangkan Arnold Schwarzenegger di aktingnya saat menjadi Terminator ketika melihat Cristiano Ronaldo di lapangan. Ia dingin dan tanpa basa basi. Datang, membunuh musuh, dan pergi dengan santai. Hasta la Vista, baby.
Di titik inilah Ronaldo berada. Ia dikritik, lalu pergi meninggalkan ruangan pers dengan pernyataan yang angkuh dan sombong, untuk kemudian membuktikan omongannya di lapangan dengan gol manis yang membantu mengantarkan Real Madrid memetik kemenangan tandang atas Roma dua pekan lalu. Sebuah sikap angkuh dan sombong yang memesona sehingga membuatnya berbeda dari pemain-pemain angkuh nan tolol macam Mario Balotelli atau Nicklas Bendtner.
Dibandingkan Lionel Messi yang potongan rambutnya itu-itu saja dan bersikap santun, Ronaldo jelas bukan sosok yang diidamkan. Ia bukan pria baik-baik.
Tanpa mengesampingkan sifat dermawan dan jiwa sosialnya, Ronaldo tergolong pesepak bola dengan kelakuan liar dan nakal. Mengumbar foto syahwat bercelana dalam untuk endorsement bisnisnya di media sosial yang bisa membuatnya berpotensi diblokir Kominfo. Menggoda wanita-wanita seksi di Instagram. Memiliki anak di luar nikah. Berselingkuh dari Irina Shayk yang keseksiannya bahkan bisa membuat pria baik-baik jadi kafir.
Dengan mengacu pada adab kesopanan khas bangsa Timur, jelas Lionel Messi lebih unggul. Tapi orang lupa satu hal, terkadang, bad boys itu jauh lebih menantang untuk digemari ketimbang pria baik-baik, begitu bukan?