Setelah memutuskan pensiun dari tim nasional Indonesia medio 2013 silam, Bambang Pamungkas atau akrab disapa Bepe menyatakan berhenti bermain sepakbola secara profesional sekitar setengah tahun yang lalu. Di hadapan The Jak, suporter Persija yang memadati Stadion Gelora Bung Karno, perpisahan yang menghadirkan rasa haru itu terjadi.
Jujur, saya tidak pernah menunggu momen itu. Setiap tahun, paling tidak sekali saat beliau ulang tahun, saya selalu berdoa:
Panjang umur legenda. Selama kaki masih kuat untuk menendang dan napas masih kuat untuk berlari, jangan dulu berhenti. Nomor 20 masih kunanti. Selebrasi khas itu masih bermagi. Jangan dulu berhenti!
Hampir dua tahun setelah desas-desus kabar pensiunnya menyeruak, doa yang saya layangkan itu kehilangan relevansinya. Bepe telah menggantung sepatunya bersama segala kisah yang tercipta sepanjang 20 tahun karier di kancah sepakbola profesional. Cerita yang hebat maupun kontroversial dan dibumbui beberapa pencapaian luar biasa sehingga belum ada pemain lain yang menyamai, lebih-lebih melewati.
Sosok Bepe, selama dua dekade terakhir, adalah sosok yang paling sering menghampiri dan menjadi objek imajinasi setiap anak di negeri ini. Coba tanyakan pada anak-anak yang bermain sepakbola dengan bola plastik seadanya di gang-gang sempit perumahan atau pada mereka yang beruntung bisa merasakan rumput Sekolah Sepak Bola (SSB). Siapapun mereka, di manapun posisi mereka bermain, sosok idolanya seragam, Bambang Pamungkas.
Suami dari Tribuana Tungga Dewi ini sudah menginspirasi jutaan anak setidaknya bermain sepakbola, meski hanya menjadi permainan selepas mengaji di sore hari. Lebih jauh, ada juga yang akhirnya menyeriusi dengan masuk sekolah sepakbola dan menggantungkan mimpinya di situ.
Tidak muluk-muluk untuk menjadi juara karena sebagaimana faktanya, Bepe tidak pernah memberi ingatan di kepala mereka tentang menghantarkan Indonesia meraih trofi bergengsi. Beliau juga mengakui kala menyebut dirinya sebagai generasi gagal di level timnas.
Kendati demikian, publik sepakbola mengakui ketajamannya dalam hal mengoyak jala lawan. Itu terbukti saat lini masa dibanjiri ucapan selamat ketika Bepe melakukan perpisahan emosional di laga terakhirnya. Tidak hanya dari publik dalam negeri, federasi tertinggi sepak bola, FIFA, bahkan ikut mengucapkan selamat untuknya.
Apresiasi kepada Bepe terbilang wajar, lebih dari 200 gol telah beliau lesakkan sepanjang perjalannya menjadi pemain sepakbola. Beliau juga masih tercatat sebagai penampil terbanyak untuk timnas Garuda dengan turun di 92 laga (1999-2012).
Namun tetap saja, dalam pikiran anak yang mengikuti sepak terjangnya, tidak ada visual Bepe tengah mengangkat trofi juara bagi Indonesia untuk dijadikan bayangan sebelum berangkat tidur. Mereka hanya menyaksikan sosok setinggi 170 sentimeter tersebut berlarian di rumput lapangan, menyundul atau menendang guna menjaringkan bola ke gawang lawan.
Bila terjadi gol, beliau akan berlari dengan penuh semangat dan diliputi kegembiraan ke pojok lapangan diikuti rekan-rekan setimnya sembari meninju udara dengan tangan terkepal.
Meski begitu, bisa jadi dari sana pula imajinasi anak-anak itu berkembang. Sebut saja Bagus Kahfi, penyerang andalan timnas Indonesia U-19 yang terang-terangan menyebut Bepe sebagai idolanya, bahkan memutuskan mengenakan nomor punggung yang sama dengan lelaki kelahiran Getas itu.
Bagus yang tumbuh bersamaan dengan masa jaya Bepe adalah salah satu contoh anak yang menyulam imajinasinya lebih jauh, dari sekadar bermain sepakbola jadi bermimpi membawa Indonesia ke Piala Dunia. Dan saya yakin, masih banyak anak dengan mimpi yang sama dengan Bagus.
Kemarin, sehari sebelum ulang tahun mantan pemain yang juga saya idolakan sebagai penulis buku itu (Bepe merayakan ulang tahun pada tanggal 10 Juni), saya sedang membayangkan penerus-penerusnya yang lahir bersama imajinasi ingin menjadi seperti dirinya.
Walau secara terbuka Bepe mengungkapkan kekhawatirannya akan penyerang lokal yang kian tersisih dari panggung kompetisi Indonesia, kita tetap harus yakin bakat alami yang terjalin bersama imajinasi dan mimpi itu dapat menumbuhkan Bepe-Bepe yang baru, atau bahkan lebih sang legenda, di kemudian hari.
Bambang Pamungkas adalah pemain langka. Terlepas dari talenta, sikapnya di dalam dan di luar lapangan tidak seperti pemain kebanyakan. Sikapnya tegas sebagai pribadi, keberpihakannya pada hal-hal lurus jelas tanpa bias, dan pengendalian dirinya sangat rapi beliau tata.
Bepe adalah pemain langka, tapi bukan berarti satu-satunya. Sosok ‘Bambang Pamungkas’ dapat diturunkan terus-menerus meski dalam diri yang berbeda nantinya.
Beliau kini sudah berumur 40 tahun dan tengah menjabat sebagai manajer Persija. Namun saya dan mungkin, banyak penggemar sepakbola Indonesia yang menerka-nerka apakah Bepe bersedia menjadi pelatih sepakbola di masa yang akan datang? Berdiri di tepi lapangan seraya memberi instruksi kepada anak asuhnya. Mengantar timnya memenangkan laga demi laga serta menjadi kampiun sebuah kompetisi.
Ah, tapi itu hanya rekaan saya belaka. Semua pun tahu, keputusan ada di tangan Bepe seorang. Namun yang pasti, saya takkan pernah berhenti membayangkan figur penerus beliau yang dapat diandalkan oleh timnas Indonesia. Penyerang yang berkemampuan komplet dan haus gol seperti Bepe. Semoga saja jawaban dari itu tidak membutuhkan waktu yang lama.