Memperbincangkan Media Komunitas Bersama Sleman Fans

Jogja kerap dilanda hujan di bulan Januari ini. Pun dengan Jumat (3/2) sore. Tapi, guyuran hujan tak menyurutkan minat ratusan Sleman Fans untuk hadir di acara yang dihelat oleh salah satu komunitas Sleman Fans, Campus Boys.

Diskusi seputar media komunitas yang diselenggarakan di salah satu cafe di seputaran Ring Road Utara Jogja itu berlangsung hangat.

Di Sleman memang bermunculan banyak media komunitas yang memberitakan PSS Sleman, maupun tentang suporternya. Selalu ada pro dan kontra terkait pengelolaannya. Juga ada efek positif maupun negatif yang timbul dari kehadiran banyaknya saluran yang berkicau mengenai Super Elang Jawa itu.

Oleh Ardi, salah satu pengelola Sleman Football, disebut bahwa pertikaian yang kerap terjadi di media sosial antarakun pseudonim kerap memberi ekses negatif ke dunia nyata. Adu pendapat yang tidak sehat di media sosial seperti Twitter atau Facebook bisa menyulut pertikaian di kehidupan nyata.

Pun pemberitaan tentang klub yang tanpa mengindahkan kaedah cek dan ricek atau klarifikasi kerap menimbulkan situasi simpang siur di masyarakat. Tidak selalu buruk, tapi yang jelas memberi pekerjaan tambahan bagi manajemen klub untuk memberi respons.

Hal tersebut lantas menjadi materi bahasan yang menarik. Di era teknologi informasi seperti saat ini, tidak ada hambatan bagi siapa pun untuk membangun sebuah media. Hanya bermodalkan jaringan internet, kita bisa dengan mudah membuat blog dan media sosial gratisan.

Persoalannya kemudian, apakah media komunitas tersebut menganut atau setidaknya memahami apa yang menjadi kode etik jurnalistik? Pilihan redaksi seperti apa yang digunakan oleh pengelola media komunitas tersebut?

Menjadi penting kemudian untuk secara bersama-sama melakukan edukasi kepada siapa pun yang sedang mengelola media komunitas guna bersedia mempertanggungjawabkan konten yang diproduksi. Salah satunya dengan memajang nama-nama pengelola.

BACA JUGA:  Mutualisme Irfan Bachdim dan PS Sleman

Redaksi yang bisa diketahui oleh publik ini setidaknya akan membuat awak redaksi lebih berhati-hati ketika menyiapkan berita atau memberi pernyataan di saluran yang dikelola. Karena apa pun dampak dari berita itu juga bisa berdampak pada personalnya.

Bagi publik sendiri, ketika mereka tak setuju dengan pemberitaan atau ada sanggahan terhadap berita yang dimuat, bisa memiliki hak jawab yang disampaikan kepada redaksi.

Hal ini sangat penting untuk disikapi, karena media komunitas sepakbola menguasai hajat hidup orang banyak. Kekeliruan pemberitaan atau berita yang provokatif bisa menimbulkan pertikaian antarsuporter di kehidupan nyata.

Sudah ada banyak contoh perkelahian dengan korban nyawa yang salah satu penyebab utamanya adalah perang kata-kata di dunia maya.

Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyinggung perlunya pengelola media komunitas atau yang memiliki ide untuk membangunnya mengikuti Pedoman Pemberitaan Media Siber yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.

Pedoman tersebut bukan untuk membatasi kreativitas, justru sebaliknya, bisa menjadi payung hukum bagi redaksi media komunitas ketika melakukan kerja-kerja jurnalistik. Tidak ada hal-hal yang memberatkan untuk memahami dan melakukan yang diamanatkan.

Bahkan, pedoman tersebut bisa bermanfaat untuk media komunitas yang tidak memiliki legalitas hukum.

Persoalannya kemudian, apakah kita mau untuk menyisihkan waktu guna memahami pedoman tersebut? Ataukah tetap lebih nyaman berlindung di balik nama pseudonim dan tak peduli ekses negatif dari konten yang kita produksi?

Jurnalisme yang baik bagi media sepakbola sebaiknya tidak hanya menjamin adanya informasi yang cepat bagi teman-teman suporter, melainkan juga akurat dan semestinya tidak memperpanjang konflik antarsuporter.

Tantangan media komunitas ke depan akan semakin berat jika kita tak berusaha membenahi diri. Wacana Dewan Pers untuk menerbitkan sertifikasi media guna menanggulangi hoax yang menyebar bak jamur di musim penghujan itu pastinya akan berdampak pula pada media komunitas yang umumnya tak memiliki legalitas hukum.

BACA JUGA:  Terlahir Kembali

Jadi, sebelum hal-hal buruk terjadi pada media komunitas kita, ada baiknya untuk merapatkan barisan, membenahi internal redaksi masing-masing. Ini demi kebaikan media yang kita kelola, juga untuk sepakbola Indonesia.

Mengapa? Karena kita tahu pemberitaan sepakbola lokal masih minim dan klub tak semuanya menyadari keberadaan media resmi klub yang dikelola secara profesional.

Media komunitas bisa menjadi oase di tengah keringnya informasi yang berkualitas. Juga bisa menjadi rujukan bagi suporter untuk mendapatkan informasi terkait klub kebanggaannya.

Satu yang tak boleh lupa , yang kerap menjadi penyakit media komunitas adalah konsistensi. Kemudahan membuat tak dibarengi dengan semangat mengelola secara berkelanjutan.

Ada banyak media komunitas yang hanya berusia kurang dari satu tahun. Karena pengelolanya kehabisan nafas, kesulitan melakukan regenerasi, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, ketika membangun media, anggaplah bahwa media itu serupa dengan adik atau anak kalian. Rawat-rawatlah ia dengan penuh kasih sayang dan berkorbanlah jangan sampai ia lenyap ditelan derasnya arus informasi.

Komentar
Akrab dengan dunia penulisan, penelitian, serta kajian populer. Pribadi yang tertarik untuk belajar berbagai hal baru ini juga menikmati segala seluk beluk sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.